Sedulurku tercinta, ada sebuah lagu dari Broery Pesolima: bermacam kisah di jalanan/insan membina kehidupan/tak sudilah gayanya yang berangan-angan mimpikan kejayaan/ada yang mau jadi kaya/hidupnya mewah dengan harta/tetapi sikapnya tak mau bekerja/akhirnya jadi papa/ada yang unjuk gaya/istri cantik jelita/cintanya tak setia/akhirnya ditertawa.
Lagu ini aku kaitkan dengan ungkapan Kanjeng Nabi saw: pada suatu masa umatku itu bagai makanan diatas nampan yang diperebutkan secara rakus. Kemudian ada sahabat bertanya: apakah nanti jumlah umat itu amat sedikit ya Rasulallah? Tidak--jawab Kanjeng Nabi, jumlahmu amat banyak dan mayoritas tetapi mentalmu nanti seperti buih yang terapung di atas air, hal itu karena mereka kalah dengan musuh-musuhnya dan karena lemah mentalnya. Sahabat lalu bertanya lagi: lemah mental mana yang dimaksud ya Rasulallah? Kanjeng Nabi saw menjawab singkat: cinta dunia dan takut mati.
Penyakit ini bisa kita runut dengan sangat jelas dalam kehidupan sosial masyarakat, misalnya: banyak orang dengan segala cara ingin melampaui hasil yang dicapai orang lain, ada yang ingin mulya hidupnya tetapi tidak siap menempuhnya dengan syarat susah payah itu, ada yang ingin nilai yang tinggi tetapi tidak mau belajar--akhirnya nyontek, ada yang ingin untung besar dengan cara menipu konsumen, ada yang ingin mencapai posisi yang tinggi dengan menyabotase teman kerjanya sendiri atau menfitnahnya, ada yang ingin dikenal dengan mencopy karya orang lain secara tak beradab, ada seorang istri yang ingin dihormati suaminya dengan cara menyakiti dan tak menaruh hormat suami--selalu, ada seorang suami yang ingin disayang istrinya dengan cara meremeh-remehkan dan merendah-rendahkan istri, ada seorang pemimpin yang ingin dicintai rakyatnya dengan cara tidak membikin senyum rakyatnya, ada seorang pimpinan perusahaan ingin dihargai karyawan dengan tidak memenuhi hak-haknya, ada seorang guru yang ingin dita'dzimi murid dengan cara menyakitinya, ada seorang pedagang ingin laris dengan cara menunjukkan ketakramahan dan ketakjujurannya, ada yang, ada yang, ada yang dan seterusnya.
Keinginan akan ketenaran, kejayaan, jabatan, keluhuran hidup seringkali--bahkan banyak--membuat orang lupa diri dan serakah, ujung-ujungnya menempuh dengan jalan "nrabas" atau menghalalkan segala cara demi mencapai obsesi dan ambisinya itu. Inilah penyakit yang disebut Kanjeng Nabi saw: cinta dunia dan takut mati itu. Bila hal ini dilakukan, bisakah orang akan memperoleh sukses sejati yang penuh kebahagiaan? Bisakah? Bisakah? Bisakah?
Rumus dari Kanjeng Nabi saw: tidak akan dicintai bagi orang yang tidak mencintai. Dunia diibaratkan Rumi bagai sebuah gunung itu, dimana suara yang ditatapkan kepada gunung itu akan memantul kepada siapapun gaungnya, kalau baik kembali baik dan kalau buruk kembali buruk, ditelinga mereka "sendiri". Siapa menabur angin maka ia akan menuai badai, barang siapa menabur kejahatan maka ia akan memanennya sendiri kejahatan itu, setiap kebaikan sekecil apapun akan ditampakkan dan keburukan seberat dzarrah pun bila dilakukan seseorang maka ia ditampakkan pula pada diri mereka sendiri--nantinya.
Adakah seorang lahir dalam keadaan 'alim? Adakah jalan pintas dalam menempuh semua kemulyaan dan kesuksesan hidup? Adakah cinta yang bisa dinikmati dengan instan tanpa penempaan? Adakah seruling berbunyi nyaring tanpa peniupan? Adakah biola bersuara tanpa penggesekan? Adakah ketajaman pedang tanpa pengasahan? Adakah gamelan mengalun tanpa penabuhan? Adakah gitar berdenting tanpa petikan? Adakah gendang berbunyi tanpa pemukulan? Adakah, adakah, adakah, adakah....
Kawan-kawan, dalam hal ini Kanjeng Nabi saw mengingatkan dengan adanya penyakit itu, lalu menunjukkan terapinya dengan cara belajar dengan berbagai aspek kehidupan ini, karena semua keberadaan ini wujud melalui "sunnah"Nya, dimana syarat-syarat mencapai kejayaan atau kesuksesan itu harus ditempuh bagi umatnya. Misalnya soal prasangka masuk surga itu boleh-boleh saja tetapi syarat yang harus dibayarnya adalah adanya kesunguhan hidup dan kesabaran itu, atau membayar melalui penempaan sebagaimana yang pernah dialami orang-orang sebelum kita--yakni salafushsholeh itu, sampai-sampai beliau-beliau itu menggesa: kapan datang pertolonganMu ya Allah? Dan Allah pun menjawab: amat dekat.
Ternyata kedekatan dan keterjahuhan itu kita sendiri yang menentukan, sebagai manifestasi hak "ikhtiar" yang sudah di"sunnah"kan itu. Sudah menjadi pengetahuan umum tentang firman Dia: Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang merubahnya. Jangan takut, Cinta akan memandu jalannya para pecinta, segala sesuatu di alam ini memiliki siklus dan waktu untuk tumbuh berkembang sampai sempurna. Kita itu bagai panah, orang tua busurnya, sementara Dia Pembidiknya itu. Jangan takut, Cinta akan berbicara bukan dengan sekedar kata tetapi dengan kenyataan-kenyataan hidup ini, seluruhnya....
Hap!!!
Rabu, 04 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar