Minggu, 08 Mei 2011

Mahkota Cinta

Sedulurku tercinta, ketika aku merasa terpercik dari percikan percikannya tetesan Cinta, benar adanya bahwa dunia tak mau menerimaku kecuali sebagai orang asing itu--pesan Kanjeng Nabi, namun dari sinilah aku merasa akan kehadiranNya, kalau boleh disebut bukan aku yang berkuasa tetapi Dia lah yang bermahkota. Bukan aku nahkoda hidup ini tapi Dia yang menahkodai itu. Penggiringan pada titik ini ternyata butuh peranan dari semesta, maka apa dan siapa yang menyingkirkanku seharusnya aku ucapkan terimakasih yang tiada tara kepadanya, ternyata peranan mereka lah--walau pahit--membanting diri, menuju fana itu.

Dalam posisi Dia bermahkota, aku harus menyerahkan seluruhnya bila Dia memerintahkan. Bagaimanapun dunia bukan surga, dan tak mungkin diubah menjadi surga, dunia adalah dunia. Dan di dunia, tiap dua orang atau lebih bertemu, langsung lahir kepentingan dan pamrih-pamrih. Kepentingan dan pamrih-pamrih tak selamanya buruk, tetapi bila upaya meraih atau mewujudkan kepentingan dan pamrih-pamrih tadi orang yang satu berbenturan dengan orang lain, kelompok yang satu dominan atas kelompok yang lain, maka ketegangan pun muncul secara otomatis.

Di altar Cinta, sebenarnya ketegangan adalah bunga-bunga mekar, yang menyemarakkan suasana, bagai memoles kecantikan yang sedang ditata dan dibangun. Makanya di ranah Cinta, manusia mustinya bersitegang dengan semangat Cinta itu. Sederhana persoalannya, bahwa tiap diri kita mungkin perlu, atau malah wajib meneropong diri kembali, adakah kita ini memang benar telah bersikap mulia, dan benarkah orang-orang lain berseberangan dengan kemuliaan kita. Dengan ini, ketegangan demi ketegangan akan dengan sendirinya surut. Kemuliaan kita yang memancar dari kekuasaan yang agung akan bertemu, dan kawin mawin dengan kemuliaan orang lain. Kedamaian pun kemudian muncul, dan kedamaian itulah reposisi Dia bermahkota itu. Sebaliknya kekerasan macam apa--dalam sejarah--yang pernah membawa rasa tenteram, dan makmur bagi alam semesta?

Cinta, kita tahu bukan sekedar satu dua tiga unsur, tetapi Cinta beroperasi pada wilayah kesadaran yang orkrestatif unsurnya, yang kita perlukan, yang kita butuhkan, selalu. Ada kisah--oleh Gibran, seorang raja yang didemo oleh rakyatnya, tetapi sang raja tetap kalem menghadapi mereka, dengan lembut raja berkata: Kawan-kawanku, yang tak akan menjadi kawanku lagi, dengan ini ku serahkan mahkota dan tongkat kerajaanku, aku akan menjadi salah seorang diantara kamu. Suasana senyap, alam penuh ketulusan yang memancar dari Baginda Raja terbaca: Kini, engkaulah yang menjadi raja, aku akan bekerja keras di ladang seperti yang lain agar hidup menjadi lebih enak bagi semuanya, ambillah mahkota ini, untukmu semua. Rakyat lalu menyatakan kekagumannya, tidak disangka, begitu mudah raja menyerahkan mahkota dan tongkat kerajaan, lalu raja bekerja seperti rakyatnya, di ladang.

Ternyata tanpa raja, keadaan tetap muram, kabut kekecewaan tetap menggantung di langit jiwa, kehidupan kacau lagi, rakyat gemuruh lagi, jiwa-jiwa gemuruh lagi. Mereka mencari raja lagi dan menggesa dengan tangis: Naiklah lagi ke tahta wahai Baginda, perintahkan kami dengan kekuasaan dan keadilan. Dunia fajar baru berembus ke seluruh negri dengan jiwa-jiwanya. Rakyat berdaulat suara mereka di dengar, mereka puas. Tapi suatu hari rakyat gemuruh lagi di bawah menara istana, mereka memanggil-manggil Baginda. Dengan anggun Baginda muncul di depan mereka: Apa lagi kehendak kalian? Tahtaku ingin kau cabut lagi? Tidak--jawab mereka dengan suara menggema ke langit, Engkaulah raja kami, Engkau telah membersihkan negri kita dari ular-ular berbisa, dan dari serigala, maka kami menghadapmu buat menghadiahkan lagu terimakasih, mahkotamu mulia, tongkatmu agung!!!

Bukan--jawab Baginda kalem, bukan, Engkaulah sekalian raja sejati, kita sekarang maju, mari, ini semua adalah jerih payahmu, aku hanya sarana bagi cita-citamu, aku cuma lantaran, aku hanya wasilah. Baginda masuk, rakyat bubar tetapi masing-masing merasa memegang mahkota di tangan kiri, sementara di tangan kanan memegang tongkat, tetapi mahkota dan tongkat yang sebenarnya ada di tangan raja....

Kawan-kawan, dari sanalah bisa kita abstraksikan kemana-mana, dalam hubungan manusia ini, kalau bisa demikian maka mimpi tentang suasana surga yang diturunkan Tuhan di Bumi menjadi nyata, bentuknya adalah kerukunan itu, bukan kekerasan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar