Sedulurku tercinta, sebuah amanat mengisyaratkan tentang Cinta, karena ia berurusan dengan keilahiyahan, antara sampai atau tidak Dialah saksinya itu, wakafaa billahi syahiida. Aku merasa ngeri melihat barang bantuan bencana ditilap pengantarnya, aku merasa ngeri kabar-kabar tentang ketidak amanahan dengan berbagai bentuk di manapun juga--termasuk di negri kita ini. Kengerian ini berdasar atas perbandingan dalam kesaksianku terhadap sosok yang sederhana: bukan pejabat, bukan polisi, bukan hakim, bukan apa-apa dan siapa-siapa.
Sosok yang aku maksud adalah Simbah Arwani Kudus itu, yang menjadi panutanku dalam pelayanan kepada masyarakat, dimana aku tidak mau berbicara amplop, karena Cinta tidak bisa dibayar dengan lembaran kertas itu, aku hanya ingin mengabulkan undangan siapa pun--termasuk anda, tanpa transaksi. Aku amat bodoh dalam hal ini--biarlah--tanpa mau merendahkan siapapun yang memiliki kecanggihan manajemen itu, aku hanya memandang tanpa mau komentar, amalku amalku amalmu amalmu, selesai kan?
Kalau aku menerima amplop dari siapapun itu aku pandang sebagai hadiah, dimana besar kecilnya tidak menjadi perhatianku atas perhitungan jauh dekatnya, atau susah tidaknya perjalanan, dan penerimaanku ini hanyalah bagian dari adab bahwa aku tak akan mengecewakan yang memberi itu, titik [kalimat ini biasanya banyak yang menertawai bahkan ada yang meledek: sama saja, hehe]. Ketika orang mengulurkan tangannya kepadaku dengan mengatakan: ini untuk sekedar transportasi, aku pun masih menerima dan aku pakai untuk belanja anak istri, tanpa menyadari kata untuk "transportasi" itu.
Lain halnya dengan Simbah Arwani itu [Allahu yarham], kata untuk transportasi beliau pahami sebagai amanat bahwa uang dalam amplop itu untuk diberikan kepada siapa pun yang mengantarkan sampai ke Kudus itu, seluruhnya, ya seluruhnya. Kisahnya begini kawan: orang Jepara ada yang mengundang semaan Simbah Arwani itu, jarak antara Kudus dan Jepara 40 kilometer, kalau naik angkot [pada saat itu hanya seribu rupiyah].
Semaan itu sebuah perhelatan, dimana beliau membaca Al-Qur'an dengan hafalan seharian penuh dan di semak banyak orang, untuk hajatan tertentu. Sorenya, begitu beliau pamit pulang, si pengundang itu dengan ketawadlu'an menyerahkan amplop kepada Simbah Arwani [yang didampingi santrinya] dengan kalimat: meniko kangge transpot mBah [ini untuk beaya transportasi mBah]. Di mata beliau kalimat ini dipandang sebagai amanat itu, yang harus di sampaikan kepada sopirnya nanti--seluruhnya. Ternyata benar adanya, begitu sampai gang menuju Pesantren beliau [Yanbu'ul Qur'an], mobil berhenti lalu beliau menyerahkan "amanat' itu kepada kernetnya. Begitu sampai terminal Kudus, kernet itu bilang kepada sang sopir: ini aneh biasanya dibayar uang ribuan, ini diserahkan amplop. Segeralah sang sopir merobek amplop dan alangkah kagetnya bahwa amplop itu berisi uang ribuan sebanyak 200 lembar [sebulan gaji dia menyopir itu], saat itu tahun '60an.
Langsung sopir itu tancap gas menuju Pesantren yang masyhur itu, begitu sampai Pesantren disambut langsung orang yang terkenal ketawadlu'annya itu [bahkan beliau tak pernah mendongakkan kepala]. Dengan tawadlu' juga sopir matur [bilang]: mBah, menopo mboten klentu meniko arto sementen kathahe, kan namung setungal ewu, meniko dalem aturaken panjenengan malih [mBah Arwani, apa tidak salah ini, uang sedemikian banyak membayarnya, kan cuma seribu beayanya, maka aku sampaikan mBah kembali sisanya].
Tidak Nak--jawab mBah Arwani lembut, itu sudah rejekimu, ambillah semuanya Nak, aku ikhlas semoga menjadi rejeki yaqng berkah dalam hidupmu, ambillah Nak....
Kawan-kawan, sopir dan kernetnya berbalik dengan linangan airmata, sambil bergumam: masih ada manusia yang sebagus ini ya Robb. Setelah peristiwa ini, sopir dan kernet mendaftarkan diri sebagai jama'ah thoroqoh khalidiyahnya mBah Arwani, dengan meliburkan sehari untuk bersimpuh di pesantren beliau dalam seminggu, pada hari Jum'at itu. Begitu melihat wajah sedehana nan tawadhiu' itu, mereka menemukan kedamaian dan pengayoman hidupnya, mereka sepertinya punya ayah baru dalam hidupnya selain kedua orang tua dan mertuanya itu.
Begitu pamitan dalam setiap pengajian, mereka sempat berjabat tangan dengan tangan yang lembut itu, sedalam hatinya mereka berdua mencium tangan beliau, dan pasti dengan airmata menetes. Selalu beliau menyapa dengan lembut: sae Nak? [semua baik-naik saja, Nak?]. Mereka tak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya, surut dengan langkah mundur sebagai sikap tak berani membelakangi wajah yang teduh itu.
Dan ketika ada khabar bahwa sopir itu meninggal, mBah Arwani menyempatkan mensholati dia, yang diikuti oleh ribuan santri thariqahnya. Sekarang kernetnya yang masih hidup, dihatinya cemburu pada sopirnya itu, nanti kalau dia mati tentu tak seindah suasana kematian sopirnya, karena mBah Arwani telah tiada....
Selasa, 03 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar