Sedulurku tercinta, ketika orang mengalami sekaratul maut sebenarnya rasa sakit yang dideritanya itu--dawuh Kanjeng Nabi saw--bagai angin yang merontokkan daun-daun kering, maknanya dosa-dosa tersisa terakhir hilang dan musnah--bereslah dia. Orang rata-rata menghindari penderitaan dan kesusahan karena belum memahami fadlilahnya, sehingga maunya hidup tanpa derita dan keprihatinan.
Kekasih Allah itu mengabarkan: barang siapa yang masih dikehendaki baiknya oleh Allah maka Dia menaburkan padanya musibah atau kesusahan itu. Memaknai musibah jangan sekedar: kena tsunami, tertimpa gempa, jatuh dari kendaraan, kena goresan pisau, tak punya kerjaan, putus cinta, dan berbagai kesusahan lainnya yang tak terhingga. Punten sebelumnya, ini semua kalau orang Jawa mengatakan: baru mendapat ganjaran atau hukuman, yang dipahami ujungnya adalah sebagai penebusan kesalahan--atau kafarat itu.
Jadinya kalau kita mengalami apapun musibah di luar sekaratul maut itu bagian dari kado Tuhan yang pada ujungnya, ada hikmah yang tak terhingga juga bagi yang terkena. Di sinilah, kita harus memahami bahwa Cinta akan menyucikan segala yang kotor atau najis itu, dan bila tak ada yang kotor--seperti para KekasihNya--namun tetap mendapatkan musibah dan penderitaan, maka urgensinya adalah untuk mencemerlangkan iman yang dimilikinya sampai beliau-beliau itu mendapat anugrah titel: ulul azmi.
Makanya Dia mengabarkan dalam kalam sucinya: apakah manusia itu mengira bahwa setelah mereka mengucapkan: aku beriman, lalu mereka itu tidak diuji? Ujian selalu bertujuan untuk meningkatkan kelas dan level spiritual manusia menuju tataran demi tataran yang tiada bertepi itu, yang dinyatakan Dia dalam Al-Qur'an: sungguh kamu akan menanjak setingkat demi setingkat.
Aku punya seorang guru da'i, namanya K.H. Mukhlisin Semarang [Allahu yarham], beliau seorang orator yang sangat aku kagumi karena kesederhanaan hidup dan kesederhanaan ungkapan-ungkapannya itu, mempesonaku. Sejarah beliau menjadi muballigh ternyata sejak beliau masih di madrasah awaliyah Qudsiyah Kudus, sampai beliau mendirikan pesantren Al-Uswah di Gunungpati Kodia Semarang Jawa Tengah hingga meninggal dunia.
Tugas menjadi muballigh tentu tidak ringan, disamping mengabulkan panggilan-panggilan yang tak terhingga, beliau masih harus mengurus keluarganya [anaknya juga banyak], hal ini dialami semua kiai-kiai. Dari gang-gang kampung, lorong-lorong kota, sampai ke pelosok luar jawa, hal itu sudah menggiring kepada aspek kefanaan diri sampai kesehatannya kadang tidak terurus itu karena ingin rasanya umat tidak kecewa atas undangannya.
Pada usia yang ke 57 tahun, beliau menderita sakit gula dan dirawat di Rumah Sakit Sultan Agung Semarang dalam peringgkat keparahan sehingga koma tak sadarkan diri. Gurunya, Romo K.H. Sya'roni Kudus berkesempatan menjenguknya di Sultan Agung itu dan berdo'a agar beliau cepat sembuh. Apa yang terjadi? Setelah Simbah Kiai Sya'roni pamit pulang, baru sepuluh menit kemudian, istri Kiai Mukhlisin menelpon Simbah Kiai Sya'roni dengan menangis: Romo Kiai, Abah sudah tiada. Kemudian Simbah Kiai Sya'roni menjawab lembut: ohh, kalau begitu Muhlisin sudah "sembuh" beneran, beres sudah.
Ketika aku melayat di pesanten beliau dengan ribuan pelayat itu, Simbah Sya'roni memberikan sambutan, kalau aku pahami sebagai kesaksian cinta dalam pelayanan itu, nampak aura wajahnya tersenyum dengan tutur kata yang lembut : para ta'ziyin semua, ketahuilah bahwa Kiai Mukhlisin ini aku sebut waladun mubarok [anak yang diberkahi] karena sejak dia masih di pesantren Qudsiyah kelas awaliyah, dia sudah melayani umat untuk berbicara dalam urusan agama, kalau aku pahami karena saking sibuknya dengan melewati rentang waktu yang teramat panjang dia itu sebenarnya "kesel" [lelah], makanya kematian dia ini aku sadari sebagai istirahatnya, cinta telah dia tunaikan dengan sepenuh kesetiaan, yang namanya manusia itu tetap punya dosa dan kesalahan, makanya derita sakit yang dialaminya itu bagian dari pembersihan dari Allah swt, dan dia menjadi khusnul khatimah [gemuruh diamini para hadirin yang ta'ziyah], beres dia....
Kawan-kawan, tulisan ini dikedepankan sebenarnya menjadi refleksi bahwa ketika kita masih hidup juga jangan bangga, karena boleh jadi itu merupakan kebelum beresan dari kita, sehingga Dia masih "menolaknya" makanya masih diberi waktu dan kesempatan. Namun kita juga dilarang dengan segera meminta mati saja, seolah kita merasa cukup atas pembekalan hidup ini dalam perjalanan menujuNya. Disinilah syair Abu Nawas yang melegenda itu layak untuk dicermati: Ilahi, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, namun aku juga tidak kuat menjadi ahli neraka jahiim, terimalah tobatku ini, sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa yang besar sekalipun [Ilahii lastu lilfirdausiahla, walaa aqwa 'alannaaril jahiimi, fahablitaubatan waghfir dzunuubi, fainnaka ghofirudz dzambil'adziimiiii].
Pada ujungnya aku ingin mengatakan bahwa kalau derita lahiriyah saja bisa merontokkan dosa-dosa, bisa dibayangkan kalau derita ruhaniyah yang bentuknya adalah rasa nyeri rindu yang tiada terperi atas keterpisahan dariNya itu, kita ini kesana-kemari bagai tangis panjang seorang pengembala di gurun sahara karena rindu itu: Ya Allah, dimanakah Engkau, dimanakah Engkau, dimanakah Engkau....
Selasa, 03 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar