Sedulurku tercinta, ada seorang gadis cantik berterus terang kepada Kanjeng Nabi saat terbukanya kota Mekah, gadis ini kehilangan kekasih yang karena merasa terancam akan terbunuh, kekasihnya melarikan diri entah kemana asal terhindar mati. Padahal hari itu sudah ada pengumuman--hari kasih sayang--siapapun yang berlindung di Ka'bah dan rumah Abu Sufyan, terbebas dari pembunuhan.
Perjaka ini tidak percaya akan cinta, maka dia lari menuju sebuah pantai untuk menyeberang agar tak terlacak jejaknya. Atas pengaduan gadis itu Kanjeng Nabi memberi perintah: carilah dia, lalu bawalah kesini. Maka dengan serta merta gadis itu mengejar kekasihnya dengan cara mencari jejak-jejak kaki di gurun sahara, tentu tapak-tapak kaki kekasihnya itu. Sejauh mata memandang, hanya padang pasir terhembus angin, semakin menyulitkan dirinya karena tapak kaki itu hilang. Pekik suaranya lenyap oleh desau angin, dan luasnya sahara.
Lapar dan haus ia tahan, nafas ia panjangkan, kaki halusnya bertarung dengan pasir, batu dan kerikil, tidak terasa, sampai berdarah bagai kaki Sayyidina Ali mengejar jejak Kanjeng Nabi menuju Medinah. Bukit demi bukit ia lalui, waktu sudah ia hiraukan, hatinya tertambat kepada kekasihnya, Derita yang ia alami serasa manis, dan memompa tenaga baru tanpa tepi. Seharian mencari kekasih,s enja tiba, melalui temaram cahaya matahari senja, nampaklah dua orang di pinggir pantai mulai mengayuh sebuah perahu kecil. Serasa mau terbang dia untuk menggapai dua sosok di ujung senja itu, di sebuah pantai.
Haiiii, tungguuuuuuuu--jeritnya dengan keperihan rindu. Haiiii, tunguuuuuuuuuu--pekiknya dengan larinya hati sekencang larinya kaki. Ternyata perahu itu semakin menengah ke laut, semakin hilang dalam pandangan gadis itu. Setelah sampai di pinggir pantai gadis itu menjerit, dengan melambai-lambaikan kerudungnya: Yaa Habibyyyyyyyy--gesanya dengan puncak larinya hati yang merindu.
Angin dan gelombang laut sepertinya mengabarkan panggilan itu ke kekasihnya, bukan di telinga tapi di hatinya. Ada semacam komando untuk kembali secara misteri , kembali ke bibir pantai tempat ia berangkat itu. Ternyata jeritan gadis itu tidak berhenti, terus menggema sampai suaranya serak, sampai suaranya habis, lalu memanggil dengan hatinya yang pilu itu. Sementara malam semakit pekat hitam menyelubungi alam, di bibir pantai itu.
Begitu mendekat ke bibir pantai justru perjaka itu ditunjukkan yang punya perahu, nampak di pinggir pantai itu ada sosok bergerak-gerak melambai-lambaikan tangannya, membungkuk-bungkukkan badannya, tanpa suara. Betapa kagetnya itu perjaka begitu tahu bahwa itu adalah kekasihnya, kaget dengan ketakjuban, kaget dengan keharuan, kaget dengan tangisan: keduanya berangkulan tanpa kata, tanpa suara.
Dua badan satu jiwa, kemah tubuh berlainan jenis tetapi hatinya satu, bernyanyi tentang cinta. Lama sekali rangkulan itu, disaksikan tukang perahu, dan temaram malam dan di latar belakangi debur ombak menderu--selalu--bagai nyanyian rindu....
Kawan-kawan, sebenarnya lelaki kekasih gadis itu tidak berani pulang kampung dengan mengingat masa lalunya yang kelam berkenaan dengan penentangannya kepada ajaran kebenaran yang dibawa Kanjeng Nabi, sementara kekuasaan penuh sekarang di tangan beliau. Tetapi gadis itu bisa meyakinkan dengan cara bahwa kalau kekasihnya itu takut mati, dirinya lah yang menjadi tameng hidupnya, tameng cinta.
Begitu dua sejoli ini sampai di depan Kanjeng Nabi saw, beliau tahu ketakutan itu, ketakutan antara hidup dan mati, namun dengan pancaran kawelasannya yang tanpa batas itu, dengan lembut beliau menyatakan: sekarang juga engkau berdua aku nikahkan! Dengan cinta menghidupkan dari kematian, menyatukan hal yang terpisah, memaafkan hal yang salah, memahkotai dengan menikahkannya, menyaudarakan dari permusuhan, abadi....
Jumat, 02 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar