Rabu, 28 Juli 2010

Srabi Cinta

Sedulurku tercinta, aku harus menjawab bagaimana ketika ada banyak orang menanyakan soal pekerjaan, mereka nganggur di tengan wewangian keberadaan yang diperuntukkan bagi hamba-hamba--sebagai kekasihNya ini. Kita sudah di dunia (Jawa--donyo), ternyata masih menanyakan dunia, bagai sudah di WC kok tanya tinja--dawuh Kiaiku dulu.

Dari penggambaran guruku itu, aku ditunjukkan betapa kalau hanya soal rejeki itu melimpah melalui instrumen semesta, semua jadi uang--jadi duit. Aku saksikan sendiri dalam realitas kehidupan: ketika aku pulang pengajian dari Bojonegoro jam 4 pagi sampai Cepu, ada seorang perempuan menyeret barang-barang pakai gerobak sendirian, sementara jalan sepi dan orang-orang masih terlelap kecuali bakul-bakul pasar yang berangkat menyongsong pembeli dengan hasrat fajar jiwanya.

Begitu sampai di emperan toko perempuan tua itu sendirian membongkar barang berwujud meja kecil terbuat dari kayu-kayu sederhana, tiga tungku, tiga lepek, sebongkah arang dalam plastik, adonan santan dan tepung beras, sewakul ketan sudah matang, beberapa kupasan kelapa muda, lembaran dau-daun pisang untuk bungkus, plastik kresek hitam--semua dipersiapkan sedemikian rupa--kala menyongsong subuh itu, yang tentu dipersiapkan di rumahnya dini hari kala banyak manusia mengeja mimpi-mimpi.

Usai subuhan datanglah Ibu tua itu dengan seorang anaknya perempuan yang masih gadis--tentu tidak sama dengan gadis2 yang hanya berpangku tangan--mengelar dan memethik wewangian karunia Allah yang namanya uang atau duit itu. Anak gadis itu menyalakan arang dan mengipasinya, lalu menuangkan adonan santan dan tepung itu, dan jadilah serabi yang menyengat wangi gosongnya itu, sungguh amat wangi.

Sementara Ibunya menyongsong srabi di meja yang dilambari daun pisang itu dengan parutan kelapa muda. Aku mewancarainya sambil memesan sepuluh bungkus untuk anak-anakku yang aku ajak keliling, transit di tempat Kiai Lilik Cepu--seorang Abul yatama--sukanya merawat anak yatim. Ternyata hanya setia berjualan srabi selama 25 tahun ini bisa membesarkan anak tiga, termasuk yang gadis itu, Keuntungan bersih setiap pagi bisa lima puluh ribu rupiyah, dan itu disyukuri habis-habisan, Alhamdulillah--desisnya sambil tersenyum.

Sambil berjalan pagi aku tenteng sepuluh bungkus srabi, karena mobil aku suruh duluan sejak aku menyaksikan drama cinta ini, aku terseret oleh keluasan karunia, dan kerelaan atas kesahajaan kehidupan. Andai saja penduduk negri ini memiliki kemegahan hati kayak Ibu dan anaknya ini, tentu kehidupan akan sangat terasa indah adanya. Terbayang olehku akan penjual nasi kucing yang rata-rata masih muda, terbayang olehku akan penjual siomay yang anak-anak muda imut itu, terbayang olehku akan kemandirian-kemandirian menyongsong wanginya rejeki melewati pertarungan nan pasrah ini, terbayang olehklu akan keterjagaan bakul-bakul yang membayar dengan Cinta, sementara pembeli menghargainya dengan hanya duit, lembaran-lembaran kertas itu, terbayang olehku akan petani-petani yang bergelepotan lumpur di sawah dan malamnya masih menyediakan waktu untuk mengaji sampai larut malam....

Kawan-kawan, diam-diam mataku meleleh airnya, aku menangis bahagia pagi kemarin bukan oleh gema wirid dan shalawat, tetapi aku menangis bahagia oleh gema Cinta yang genderangnya dibayar dengan seluruh dirinya itu, dan ketika aku sampai di transit, srabi yang dimasak dengan Cinta itu disongsong anak-anakku dengan harapan yang penuh, begitu lahap makan mereka makannya seperti hasrat Ibu dan anak yang membikinnya itu, aku tersimpuh di depan anak-anakku, dan mereka ada yang menanyakan kenapa Abah menangis, aku tak bisa menjawab kecuali derasnya air mataku ini....

Allahumma bariklana fiima rozaktana waqinaa adzaabannar....

1 komentar: