Sedulurku tercinta, kalau kita sadari bahwa tersinggung itu bagian dari tanda masih bercokolnya ego atau keberadaan diri. Hal ini menunjukkan bahwa sosok itu masih seseorang yang sadar akan identitas dirinya, lahirlah sikap kesal lalu melakukan perlawanan. Kalau itu dilakukan orang yang bertauhid, berarti menunjukkan keterpisahan dengan Tuhan. Bagi orang yang bertauhid (menyatu dengan Tuhan), maka ia akan pasrah diri kepadaNya dan berpuas diri dengan kehendak Tuhan. Karena akan ada efek negatifnya kalau tidak ridho, maka hakekatnya ia akan menjadi orang yang tidak percaya atas kemenyeluruhan kehendakNya itu.
Bagi yang menapaki jalan Tauhid (kesatuan), apa pun penderitaan yang menimpa, atau apapun kehinaan yang ia terima, dia akan menganggapnya sebagai kado kiriman Tuhan. Pada wilayah lahiriyah, nampak sebagai penderitaan, namun dalam ranah batiniyah penderitaan akan melahirkan keterjagaan hati, ingat selalu denganNya. Aku percaya diantara kita pernah bahkan sering mengalami perlakuan buruk, namun semakin kita punya daya tahan akan perlakuan itu, maka kita akan semakin tidak egois.
Aku pernah mengalami hal kecil yang bisa menjadi tanjakan dalam meruntuhkan ego itu. Ketika aku sedang berpidato di Pondok Pesantren Al-'Asy'ari Ceweng, tiba-tiba nyelonong sms di hapeku: Kiai Budi nDobol. Aku tahan rasa kesal dan amarahku, lalu aku jawab dengan singkat: maturnuwun. Muncul lagi sms: Maturnuwun-maturnuwun nDasmu. Aku nikmati kata kasar itu, aku balas lagi dengan kalimat kerendahan hati: Maturnuwun. Seketika muncul lagi sms susulan: Wong kakean doso, sesuk ra usah poso. Di atas keimananku, aku menanggung celaan itu, aku gembira dalam luka: maturnuwun.
Penghinaan dengan sms itu sampai sebanyak 18 buah, dan 18 buah juga aku menjawab tanpa emosi: maturnuwun. Selebihnya, aku rela sedemikian rupa, tidak ada daya aku melakukan perlawanan atas perlakuan buruk itu. Dan aku tidak mau memburu siapa yang mengirim pelecehan ini. Aku merasa kafirlah kalau sampai tidak ridlo atas kado dari Tuhan ini.
Menurutku, justru kiriman ini menjadi batu pijakan untuk semakin tangguh daya tahanku ketika menerima perlakuan sedemikian kasar. Aku olah dalam samudra cintaku kata-kata kasar itu: kalau kata-kata itu benar, berarti aku tambah bisa meningkatkan kebaikan lagi, namun ketika kata-kata itu tidak benar--biarlah keburukan itu berhenti kepada yang sms. Sampai sekarang aku tidak ingin tahu siapa pengirimnya, aku pun tidak mendongkol.
Pernah aku akan dilantik menjadi anggota DPR di kota semarang--sudah ukur jaz--beberapa hari sebelum pelantikan, ada team yang datang ke rumah, meminta terus terang biar si fulan yang dilantik, tanpa beban aku serahkan semuanya dengan sedemikian entheng. Pernah, aku berkunjung mengisi pengajian di sebuah kampung, ada seorang yang lapor kepada santriku bahwa tokoh di sini pernah bilang: Kiai Budi itu bisa apa! Padahal aku mendengar kata-kata itu, kemudian santri mendekatiku dengan membisiki bahwa tokoh yang ada disebelahku ini pernah mengatakan: Kiai Budi itu bisa apa! Dalam gelombang samudra cintaku, kata-kata penghinaan ini aku olah menjadi kata-kata cinta: Oh, santriku kamu salah dengar, yang aku dengar dari pelapor itu adalah: Kiai Budi ilmunya berkah bisa apa saja....
Kawan-kawan, inilah seni kehidupan yang akan mengikis keegoan dengan palatihan-pelatihan semacam itu. Aku ceritakan ini semua bukan untuk riya', tetapi untuk cermin kita semua, sekelas anjing saja ketika diusir oleh tuannya, anjing itu pergi, ketika dipanggil tuannya lagi, dia datang, tanpa dendam, tanpa kemarahan, tanpa dendam....
Minggu, 04 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar