Sedulurku tercinta, sejoli itu pada galipnya dimaknai sepasang atau sejodoh antara laki-laki dan perempuan, tetapi sejoli ini lain karena ada cinta diantara mereka dengan amat kuatnya, sehingga mereka meninggal dalam sepuluh menit selisihnya.
Ada seorang perjaka sampai tua--sekitar 50 tahun--meninggal, sepuluh menit berikutnya Ibunya menyusul, sejoli cinta mati bersama. Perjaka sampai tua itu--dia sedulurku--disebabkan dia merawat Ibunya yang sakit sampai puluhan tahun, Ibu itu umurnya 80 tahun saat meninggal. Aku yakin sedulurku ini menuruti suara dhamirnya, dimana Ibu adalah sosok yang penuh cinta karena dia diwujudkan Tuhan sebagai manifestasi dari jamaliyahNya (keindahanNya), sehinga Kanjeng Nabi menyebut surga itu dibawah telapak kaki Ibunya. Pada sisi yang lain perempuan itu sebenarnya bayang-bayang Tuhan, karena lewat rahimnyalah kita semua ini dititipkan Gusti Allah.
Sedulurku ini orangnya kurus, tinggi badan, sorot mata yang tajam dan punya penyakit bawaan sejak kecil--jantung. Sementara Ibunya punya penyakit misteri, di samping ketuaannya tetapi sakitnya itu misterius karena puluhan tahun tak kunjung sembuh (bersyukurlah bagi yang sehat-sehat saja). Sekandungnya banyak sebenarnya, semua kerja dan berumah tangga di luar kota, luar Jawa. Jadinya dia itu semacam manifestasi cinta Allah kepada Ibunya itu, karena merawat sedemikian rupa, sampai ia matikan syahwatnya sendiri--lupa menikah sampai setua itu.
Aku sendiri ketika menelaah dia, ingat akan seorang pemuda yang menawarkan diri mau ikut hijrah ke Madinah, saat itu Kanjeng Nabi saw bertanya: masihkah kamu punya seorang Ibu? Masih Ya Rasulallah--jawab pemuda itu--malah sekarang baru sakit dan saat aku pamiti beliau menangis. Dengan kearifan cinta beliau, beliau menyatakan: kamu tidak usah ikut hijrah aku, rawatlah Ibumu pahalamu sama dengan hijrahku, buatlah Ibumu tersenyum sebagaimana engkau telah membuatnya menangis.
Kalau aku ketemu dia kala menjenguk Ibunya, memastikan aku ingat akan pemuda yang sowan Kanjeng Nabi saw itu. Ketika aku menatapnya, aku musti yang tertunduk malu--bahkan meneteskan air mata--karena aku lihat dia: memasakkan, mencuci, membersihkan rumah, menyuapi, memandikan, menceboki, memijiti, meminumi dengan sepenuh keikhlasan, kepada Ibunya tersayang itu. Hampir tidak ada waktu berpisah dengan Ibu itu, seluruh jasad dan hatinya dipersembahkan kepada Ibunya, kalau Ibunya tertidur dia tidur juga di sisi ranjang Ibunya.
Sempat berbisik lembut kepadaku Ibu itu: Nak Kiai, anakku ini cintanya kepadaku sedemikian tulus, dengannya aku merasakan kehadiran cinta Gusti Allah, aku menjadi saksi bahwa dialah anak yang sepantasnya memperoleh surga di sisiNya. Aku menangis mendengarnya, aku menangis malu: bisakah diriku semacam anak ini. Soal do'a, bukankah tidak ada do'a yang melebihi keramatnya dari do'a seorang Ibu.
Ternyata yang semakin parah sakitnya itu, anak yang soleh ini, sehingga ia menjemput ajal disisi Ibunya ini, dia telah sempurna melaksanakan cinta. Ketika derai tangis dan airmata di rumah Ibu itu terjadi karena meningalnya anak perjaka tua, selang sepuluh menit berikutnya Ibunya itu tidak menangis, dengan sesungging senyum dibibir tuanya: Ibu itu menyusul anak cinta itu, meninggal juga.
Rumah ini bagai khotbah kepada manusia, khotbah cinta, semua pelayat mulutnya terkatup, andai bicara banyak yang mengeluarkan airmata. Rata-rata aku lihat semua tertunduk malu--termasuk aku--yang didera dan digedor hatinya bisakah aku seperti anak perjaka tua itu, aku malu, aku malu, aku malu!!!!!!!....
Kawan-kawan, prosesi pemakaman sedemikian melimpah, satu rumah meninggal bersamaan, dunia mana hal ini bisa terjadi kalau bukan saat musibah besar melanda. Aku merasa tidak hanya pelayat yang melimpah tetapi para malaikat, ruh-ruh suci bahkan Alllah sendiri tersenyum menyaksikan peradaban agung saat itu. Ketika aku melihat penguburan beliau berdua berdampingan, lalu aku yang diminta menalkinnya, aku tidak kuasa menalkin dengan suara, aku menalkinnya dengan airmata terhadap sejoli cinta ini....
Minggu, 25 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar