Sedulurku tercinta, kesalehan individual ternyata sagat-sangat menghawatirkan sebelum teruji dalam kesalehan sosial. Kanjeng Nabi saw sendiri memakai parameter yang tidak kepalang tanggung: sebaik-baik manusia itu yang lebih bermanfaat bagi sesama manusia. Lagi--dari beliau: Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang lebih bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang lain dicintai oleh Allah adalah orang yang bisa bikin seneng saudaranya.
Pada ujungnya agama diturunkan--lewat para kekasihNya--supaya memandu manusia dan membahagiakan manusia. Termasuk Qur'an sendiri diturunkan sebagai petunjuk buat manusia--hudan linnaas. Alam dicipta, ternyata dipersembahkan untuk memberi kenikmatan kepada manusia. Manusia disamping dicipta sebaik kejadian, dia mendapatkan tugas kekhalifahan di bumi ini, wakil Tuhan di bumi untuk memayu hayuning jagat (merawat alam).
Dalam reposisi ini manusia harus menyerap ajaran-ajaran agama dalam kerangka memegahkan jiwanya, agar sedemikian telaten menghadapi tantangan-tantangan sejarah dunia. Apa yang terjadi? Dalam banyak kasus justru agama dijadikan sarana untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya secara pribadi dan kelompoknya. Keadaan ini sudah disinyalir Kanjeng Nabi: Tahukah kamu orang yang bangkrut itu ? Ada sahabat yang menjawab kala itu: orang yang berdagang tidak menghasilkan duit (dirham). Bukan--sahut Kanjeng Nabi--orang yang bangkrut adalah orang mati membawa pahala shalat, membawa pahala zakat dan membawa pahala puasa tetapi besok pada hari kiamat, pahala-pahala itu akan terkikis oleh dosa-dosa sosialnya.
Orang mengira pahala-pahala ritual ini akan mengantarkan mereka ke sorga, namun kenyataan dalam timbangan nanti mereka pada ujungnya akan dilemparkan ke neraka. Antrean sedemikian panjang minta pengadilan di sisiNya: Ya Allah, orang ini pernah mengalirkan darahku, orang ini pernah menfitnahku, orang ini pernah mengkhianatku, orang ini pernah mengingkari janji kepadaku, orang ini pernah menipuku, orang ini pernah menuduhku, orang ini pernah mengambil hak-hakku, orang ini pernah, pernah, pernah, pernah.
Setelah pahala ritual dihabiskan untuk menebus dosa sosial, sementara masih banyak antrean panjang pengaduan atas kedhaliman yang pernah dilakukan sepanjang hidupnya. Lihatlah kisah penjual cendol di pematang sawah, tepatnya di bawah pohon randu, ibadahnya biasa-biasa saja, kehidupan rumah tangganya sangat-sangat sederhana. Pagi-pagi ketika sedang memulai jualan, datanglah Kiai kampungnya ingin membeli dengan cara memborong cendol pagi itu dengan alasan ada tamu rombongan dari kota, kalau mau dikasih teh botol sudah kebiasaan kota, maka spesial akan disuguhi cendol itu.
Kiai ini kaget ketika ditolak kalau membeli seluruhnya, kalau sedikit boleh--diborong jangan. Kiai ini--dengan seluruh keilmuannya dan ibadahnya--tidak habis mengerti kepada penjual cendol itu, mustinya kalau beliau borong penjual cendol ini tidak usah seharian seperti biasanya. Ternyata alasan ketidakbolehan itu sangat menakjubkan di hati Kiai: Punten Kiai, bukannya aku tidak taat kepada panjenengan (anda), sekali lagi maafkanlah aku, kalau cendol ini Pak Kiai borong maka aku akan membikin banyak orang kecewa karena cendolku ini konsumsi bagi mereka para pekerja di sawah itu….
Kawan-kawan, Kiai kampung itu membeli sedikit terus ngeloyor pulang, beliau tidak menemui tamu dulu, namun langsung masuk kamar menyungkurkan kepalanya ke sajadah untuk sujud syukur dengan derai airmata: Ya Allah, pagi ini Engkau tunjukkan orang kecil yang berjiwa besar, dia tak silau rejeki nomplok dariku, namun kemesraan hidup itu yang disetiai, sementara keilmuan dan ibadahku belum memercik kesadaran sampai kesana, ampuni aku, kalau Engkau tidak mengampuni aku, sungguh aku akan menjadi orang yang bangkrut itu….
Sabtu, 24 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar