Sedulurku tercinta, sebenarnya aku ini amat sangat bodoh, cuma aku merasa punya dorongan dari dalam untuk menutupi kebodohan itu dengan cara membangun dan menyambung persaudaraan tanpa batas, maka aku tertuntun menuju agak tahu sedikit tentang sedikit hal, bukan tahu banyak tentang sedikit hal, apalagi tahu banyak tentang banyak hal—mukhal bagiku.
Demikian saja sudah aku syukuri habis-habisan, karena tahu sedikit tentang sedikit hal bagiku merupakan percikan cahaya—yang aku rangkul—lalu percikan cahaya itu menyeret diriku pada lapisan-lapisan cahaya yang tak bertepi ini, dari saudara-saudaraku itu—termasuk anda semua.
Misalnya, pada suatu senja—selepas Ashar—aku menyaksikan di antara anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah, yang sedang latihan menari. Ada di antara mereka, seorang anak yang benar atau salah dalam gerakan itu, selalu tersenyum—ya selalu tersenyum. Aku seketika terbayang kepada siapa saja yang pernah aku temui, memiliki senyum yang indah seperti itu, yang bersumber dari langit jiwa yang sama—senyum keikhlasan. Senyum kayak gitu yang Kanjeng Nabi saw menyatakan sebagai sedekah. Anak perempuan itu bernama Putti Kaya Hati Imanni, sebuah nama yang diijabahi oleh Allah yang sepadan dengan keindahan senyuman itu.
Selayang pandang aku membayangkan bahwa di dada anak perempuan itu ada matahari hati bersinar, hingga menumbuhkan taman dalam wujud keindahan senyum itu—itulah senyum cinta. Sepantasnya senyum itu dimiliki oleh seorang Ibu, yang dipercaya oleh Tuhan atas titipanNya dalam wujud setia penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya, walau dalam keadaan suka maupun duka, menjadi sandaran kuat digelayuti jiwa-jiwa. Bukan saja anak-anak yang pernah dilahirkan melalui rahimnya, namun juga anak manusia yang menjadi suaminya itu.
Bukankah setua apapun lelaki itu hakekat jiwanya adalah anak-anak abadi? Tidak aneh manakala sembilan akal laki-laki, tidak mampu mengendalikan satu nafsu yang dimilikinya, sementara sembilan nafsu yang dimiliki oleh perempuan mampu dikendalikan dengan satu akal bagi perempuan, perempuan yang shalekhah tentu. Bagi perempuan yang tidak memiliki jiwa seperti Ibu, minimal rumah tangganya dihiasi bentrok ujungnya menunggu perceraian, hanya soal waktu saja.
Aku yakin—dengan do’a—anak dengan senyum indah itu kelak manakala punya suami, bila diajak bicara, suami itu pasti akan menggunakan dengan tutur kata yang indah, karena kata yang kotor dan jorok akan mencemari keindahan senyum itu. Manakala suaminya menyajak bergaul secara seksualitas, maka ia akan menggunakan akhlak sebaik-baiknya, karena sifat kebinatangan akan terbakar oleh senyum indah itu, dan senyum itu menyadarkan bahwa dirinya bukan seonggok daging saja, bukan. Kalau suaminya menyuruh-nyuruh—sebagai istri—pasti perintah itu akan disongsong sepenuh cinta dan hasrat yang menggelora—walau dibayar derita—asal suaminya itu tersenyum gembira. Kalau suaminya andai rewel dan nakal, maka akan ia pandang persis seperti memandang anak-anaknya, maka ia akan tegar dan megah, semua diterima sebagi kado dari Tuhan, yang pasti didalamnya berisi hadiah yang tak ternilai harganya, namanya Cinta itu, pasti. Pada ujungnya hanya kematian yang akan memisahkan, sebelumnya hanya akan dibayar dengan kesetiaan, ya kesetiaan.
Hari ini aku sekeluarga, setelah sejak dua hari yang lalu menjalankan Ziarah ke mBah Priuk lalu ke Habib Luar Batang kemudian subuhan di Masjid Kubah Emas beserta satu bus jama’ah Maiyah lingkungan pesantren—atau penghuni Rumah Cinta—terakhir silaturrahmi ke Kandang Jurang Doank. Rombongan ziarah sudah sampai rumah dengan selamat pagi ini, tinggal aku sekeluarga diizinkan oleh Allah untuk masih di KJD ini.
Kandang Jurang Doank adalah wahana kreatifitas yang disebut Cak Nun merupakan kelembagaan memuat empat departemen dalam ranah negara: departemen agama, departemen pendidikan dan kebudayaan, departemen pariwisata dan departemen sosial. Tempat ini merupakan Rumah Cintaku yang ada di Jakarta, selamat datang bagi siapa saja, ke Kandang Jurang Doank.
Ternyata anak perempuan yang aku amati dengan abstraksi seperti di atas adalah anak ketiga dari Raden Rizky Mulyawan Kertanegara Hayang Denda Kusuma, orang mengenal Dick Doank. Anak yang pertama, Ratta Billa Baggi, yang kedua Geddi Jaddi Membumi, yang ketiga tentu yang punya senyum yang indah itu, semua ini keluar dari rahim seorang Ibu bernama Myrna Yuanita, istrinya Dick Doank atau Om Gantheng itu.
Perempuan ini, saat Ibunya Om Dick meninggal selang tiga harinya aku mahkotai dengan kerudung sutra milik istriku—yang juga punya senyum yang sama—sebagai rasa syukur atas bayang-bayang Tuhan ini. Hari ini dia ulang tahun ke-42 dan aku hadiahi catatan di facebookku ini, sebagai larut hatiku sekeluarga atas syukur tiada tanya Om Dick punya istri bernama Myrna Yuanita ini, catatan Cinta....
Kawan-kawan, sapalah dia di facebook ini biar menjadi saudara, teriring do’aku kepadamu semua semoga Allah menganugerahimu anak-anak yang punya senyum indah itu yang dilahirkan dari Ibu yang punya senyum indah juga, hati orang tua bernyanyi pada anak-anaknya, salam buat istrimu semua, salam calon istrimu semua kawan-kawan....
Selamat Ultah mBak Ayu Myrna Yuanita....
Rabu, 28 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar