Sedulurku tercinta, aku pernah menerima tamu, seluruh kalimatnya mengesankan: tidak ada yang lebih utama dan lebih baik dari diriku. Aku ikuti dia, menuju masjid mengajak shalat berjama'ah, do'a-do'anya kuyup oleh airmata, usai shalat bagai Nabi kecil dia: menasehatiku banyak hal dengan dalil-dalil. Aku lihat, tanda-tanda bekas sujudnya yang nampak khusyuk itu, atsarissujud. Kemudian mengajakku tadarrus Al-Qur'an, dengan tartil.
Aku terpesona melihat kesalehan orang ini, nampak kesalehannya dalam beribadat. Ibadah ritualnya sedemikian ketat, mereka lalu bergerombol saling memuji telah merasa mengajak shalat banyak orang, layaknya multilevel marketing. Aku melihat tokohnya mengatakan bahwa hanya kelompoknya yang paling benar, paling utama. Busananya mencerminkan busana Rasul, cara makannya cara Rasul, segala pernik tubuhnya mengesankan kebiasaan Rasul, semuanya disandarkan kepada beliau.
Aku sendiri--untuk sementara--menghindari rokok, baginya haram. Aku pernah mau diajak sampai keluar negri, bergabung dengan kelompok yang mendunia, dengan halus aku tolak karena aku banyak acara kemasyarakatan di kampung.
Aku mengajaknya, bagaimana kalau aku kerumahnya--silaturrahmi dengan keluarganya. Sepertinya--lewat sorot matanya--dia akan menolak, tetapi tidak berani, mana ada sesaleh itu menolak silaturrahmi. Begitu sampai rumahnya, aku merasa ada yang ganjil: anak-anaknya banyak tidak terurus, kebersihan--walau sederhana--tidak nampak sebagai wujud dalil-dalilnya yang disampaikan kepadaku, di masjid itu. Raut muka istrinya, menampakkan derita yang dibungkus dengan senyuman, kepasrahan yang terasa dipaksakan.
Datanglah bakul kampung, yang--maaf--menagih utang yang menumpuk selama dia tinggal pergi--berbulan. Lahan di sekitar rumahnya aku lihat tidak terawat. Istrinya aku lihat, menyodorkan bayak kartu undangan yang sudah kelewat, undangan masyarakat sekitarnya, termasuk saudara-saudara dekatnya. Istrinya mengabarkan, kalau si fulan telah meninggal, bahkan saudara dari istrinya juga sudah meninggal, dibalik itu aku tahu sepertinya istrinya menggugat: dia tidak sempat melayat. Tetapi lelaki yang aku ikuti ini dengan tegas menjawab: semua aku serahkan kepada Allah, titik.
Sebelum pulang, aku menyempatkan mohon maaf, kalau boleh aku menyampaikan sesuatu kepadanya. Dia terlihat belingsatan, sepertinya sudah tidak butuh nasehat, tetapi tetap mengangguk sambil memelototiku dengan tajam. Saudaraku--aku mulai bicara--mohon maaf sebelumnya (nuwun sewu), orang seperti anda ini, kalau boleh aku memberitakan kepadamu: Kanjeng Nabi menyebut orang yang tampak diwajahmu sentuhan setan. Aku menemanimu ini keberanianku hanya menasehati, sebagaimana engkau menasehati aku di masjid itu, saling menasehati dalam cahaya--aku berbisik kepadanya. Cuma--aku berbisik lagi--aku tidak berani membunuhmu. Dia kaget setengah mati, tambah memelototiku: mengapa begini--hardiknya. Kedatanganku meminta ke rumah ini sebenarnya akan menjadi saksimu atas kesalehanmu: sholatmu nampak khusuk, bacaan al-Qur'ammu tartil, busanamu indah, haltemu dari masjid ke masjid, nasehatmu langsung mengambil dari Kanjeng Nabi tetapi--maafkan, aku berbisik--kecintaanmu kepada Allah ini belum kau wujudkan dalam kemesraan menemui umatNya di bumi, termasuk keluargamu dan masyarakatmu sekitarmu ini. Akhlakmu kepada Allah sangat bagus, tetapi belum kau turunkan berakhlak kepada sesama makhlukNya, termasuk keluargamu yang aku lihat sendiri. Ibadahmu dalam memelihara bentuk luar sangat indah, tetapi belum sampai kepada jantung hatimu. Ibadahmu mahdhah ini sebenarnya harus sampai pada membekas dalam kehidupan sosial dan dalam akhlak di tengah-tengah manusia. Boleh jadi--seperti aku--tanda bekas sujudmu sujudku menjadi tanda-tanda sentuhan setan....
Kawan-kawan, orang ini ambruk menyungkurkan kepalanya di lantai rumahnya, semua anak-anak dan istrinya juga menangis, terakhir aku sampaikan: kang, Kanjeng Nabi menyatakan orang yang terlepas dari agama--dengan bukti tidak hadir mengatasi umat--seperti terlepasnya anak panah dari dari busurnya, sekiranya orang ini dibunuh, tidak seorang pun di antara umatku akan pecah. Orang ini tambah memekik, menjerit, gaung jeritannya menghantam juga, dihatiku....
Minggu, 04 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar