Sedulurku tercinta, ada seorng adik mencari kakaknya--keduanya perempuan--selama lima tahun. Pencarian ini bermula ketika setiap lebaran, adik itu menanyakan kepada kakak iparnya: dimana mbakyu itu? Selalu, suaminya ini menjawab bahwa dia pergi tanpa pamit, dia juga mencari--kata suami kakaknya itu. Kejadian ini di Kota Semarang. Ikhtiar adik itu sedemikian melas (kasihan), sampai menunda untuk menikah, meninggalkan kerja, lupa dirinya.
Kota demi kota, orang pintar semua disambanginya, lewat pengumuman media masa, pamplet-pamplet dipasang dengan tulisan tangannya. Aneh, suami kakaknya itu kok santai saja, tidak kemana-mana, tetapi setiap lebaran sowan ke mertuanya juga. Cuma kalau dia ditanya soal istrinya, selalu menjawab minggat (pergi nggak pamit), tanpa beban. Setiap menjelang tidur, adik itu selalu membacakan atau menghadiahi Fatihah untuk kakaknya--selalu itu--dengan harapan kakak perempuannya itu bisa ketemu, kalau dia mati bisa ditemukan kuburnya.
Ketika dia menginap di rumah kakak iparnya itu, ada kejadian aneh dalam tidurnya, dia bermimpi ketemu kakaknya, kakak itu bilang : Dik, engkau jangan mencari aku, berhentilah dari usahamu itu, aku kasihan sama kamu Dik, aku tidak kemana-mana kok, aku tetap di rumah ini, tempatku berada tepat di bawah meja makan itu.
Adik itu begitu bangun menahan nafas, menguatkan emosi, tetapi airmatanya meleleh, kangen sama mbakyunya terbayar walau dalam mimpi. Dua hari dia di situ mengalami mimpi yang sama, dengan kalimat yang sama. Setelah itu dia memberanikan diri bilang sama kakak iparnya atas kejadian dalam mimpi dua malam berturut-turut, bagai Nabi Ibrahim ditagih Tuhan soal mengorbankan anaknya itu. Kakak itu malah menjawab bahwa mimpi itu bunganya tidur, malah ujungnya mengancam, kalau sampai membuktikan mimpi ini lalu membongkar lantai rumah ini, akan dilaporkan ke polisi.
Derita yang panjang dalam pencarian, kerinduan cinta yang panjang atas tali persaudaraan dan kekeluargaan--tali cinta--menjadikan jawaban kakak iparnya itu sebuah tantangan tanpa ketakutan.
Esok harinya, dia tidak pulang ke rumah kampung, tetapi justru mengajak polisi mendatangi rumah kakaknya itu--dengan resiko--kalau tidak benar maka dia akan ditahan sebagaimana ancaman kakak iparnya itu. Betapa kaget kakak iparnya itu, karena kedatangannya kembali ke rumahnya membawa beberapa polisi, adik itu sambil membawa pacul dan linggis, untuk membongkar lantai tepat di bawah meja makan itu, sebagaimana khabar mimpi, mimpi cinta dari kakaknya tersayang yang hilang dengan lintasan waktu yang panjang.
Terjadilah pertentangan hebat, antara adik itu dan kakak ipar, ia dilarang membongkar sejengkal bidang pun di rumah itu. Tetapi polisi menengahi, kalau mimpinya itu tidak benar, adik perempuan itu akan ditahan, pembongkaran berdasar khabar mimpi akhirnya terjadi. Saat tepat adik itu akan membongkar, kakak iparnya lunglai, keringat dingin keluar, mulutnya terkunci. Lelaki itu merebut alat-alat yang dipegang adik iparnya, tetapi polisi lebih sigap mengantisipasi dia.
Ternyata, belum sampai pembongkaran sebegitu dalam, baru terbuka salah satu keramiknya, tepat di bawah meja makan rumah itu, nampaklah lembaran baju yang sudah amat diketahui adik itu, baju kakaknya. Jerit tangis membahama di rumah itu, khabar mimpi itu benar adanya: Dik, aku tidak ke mana-mana kok, aku tetap di rumah ini, tempatku tepat di bawah meja makan....
Kawan-kawan, jangan kau katakan orang yang mati itu mati--kata Tuhan--mereka tetap hidup, sayang kamu semua tidak mengetahui. Akhirnya kakak iparnya itulah yang digelandang polisi. Bagi Rumi, tidur itu sebenarnya mabuk Tuhan, semua panca indera mati, yang menyala ruh itu, Tuhan mengabari sesuatu itu bisa melalui mimpi, bahkan mimpi itu pintunya mukasyafah, tersingkapnya rahasia-rahasia, lagi-lagi tinggal kualitas cermin kita....
Jumat, 02 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar