Sabtu, 03 Juli 2010

Khalwat Cinta

Sedulurku tercinta, munafik itu sifat yang lahir berbeda dengan yang di batin, Gibran bilang: bagusnya pakaianmu tidak bisa menutupi busuknya prilakumu. Rumi dengan nada yang sama menyatakan: nampak dipermukaan air itu tenang tetapi di kedalamannya bertumpuk bangkai-bangkai hewan.

Lihatlah kisah ini kawan: Di sebuah Pesantren Jawa Timur, ada seorang Ibu Nyai yang selalu menjawab pertanyaan setiap orang--termasuk santri muqim dan alumni--manakala sowan ke Kiainya: beliau baru khalwat di kamar, manakala ingin bersalaman, ulurkan tangan lewat lubang itu, beliau nanti menyalaminya. Memang Kiai ini guru sebuah Thariqah, sehingga khalwat adalah bagian dari riyadhah yang mengasyikkan. Biasanya durasi waktunya, 3 hari dalam sebulan, 40 hari dalam setahun, tetapi ini aneh khalwat sudah mencapai 5 tahun.

Memang Kiai ini selama berkeluarga belum dikaruniai anak, umurnya sudah separo abad, tetapi karena kepasrahan hatinya semua hal tidak menjadi masalah, termasuk belum punya anak itu. Semua tamu sedemikian percaya penuh, dengan bukti setiap mereka mengulurkan tangannnya, dari dalam lubang itu ada yang menyalaminya. Adapun Ibu Nyai ini umurnya separuh dari Kiai, setia mengatur semua kegiatan di pesantren ini. Mulai dari pembangunan pesantren, jadwal pengajian rutinan harian, peringatan hari besar Islam, haflah akhirussanah, menghadiri undangan masyarakat yang hajatan--selama suaminya khalwat itu.

Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan pesantren, ada beberapa santri khidmah dalem (melayani kegiatan di rumah Kiainya), semua sedemikian percaya penuh tidak ada yang syu'dhan apa-apa. Termasuk salah satu santri laki-laki dewasa yang selalu menemani Ibu Nyai, kemana pun beliau pergi.

Cinta nafsu bermula dari kebiasaan (tresno jalaran soko kulino). Ibu Nyai ini, yang dimuliakan dari sudut apa saja oleh Kiai--ya suaminya itu--menuruti bisikan tercela dalam bentuk bersilengkuh dengan santri yang rutin mengantarkan kemana ia pergi. Skenario dirancang oleh Ibu Nyai bersama santri dalem itu: Kiai thariqoh itu dibunuh berdua, dengan cara dijerat lehernya dengan tali tambang plastik, seterusnya digali kuburannya dalam kamar itu juga. Sedangkan untuk mengatasi jabat tangan melewati lubang sediameter lengan orang, diatasi santri selingkuhannya itu. Semua nampak beres, tetapi selama lima tahun itu bukan waktu yang pendek.

Ada seorang santri yang shaleh, dalam tidurnya ia bermimpi Kiainya meninggal, malah dialah yang ikut memanggul kerandanya itu. Hal ini disampaikan kepada Ibu Nyai, malah memperoleh dampratan sampai menyumpah serapahi santri shaleh itu. Lagi-lagi santri bermimpi untuk yang ke dua kalinya. Kali ini bukan bicara lagi sama Ibu Nyai, tetapi seluruh santri yang puluhan itu mendobrak kamar yang disebut untuk khalwat, mereka menemukan kerangka Kiainya setelah membongkar kuburnya, di kamar khalwat itu. Kali ini Ibu Nyai dan santri dalem itu gantian yang mondok: di penjara puluhan tahun....

Kawan-kawan, sekelas Ibu Nyai syari'at tentu paham termasuk santrinya itu, tetapi pemahaman ilmu tanpa kehadiran Tuhan di hatinya, justru menjadi selubung cahaya. Gelapnya hati menjadikan seluruh komponen tubuh rusak, penampilan lahiriyah tidak menjamin prilakunya yang bersumber di hati sangat bahimiyah (kehewanan). Akalnya jelas berjalan, tetapi hatinya mati, hatinya mati, hatinya mati, hatinya mati, hatinya mati....di Pesantren yang diberkahi itu, benar adanya Kiai itu khalwat dengan kekasihnya, abadi. Ibu Nyai dan santri itu bagai ayam mati di lumbungnya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar