Selasa, 27 Juli 2010

Gembira Cinta

Sedulurku tercinta, sebagaimana pernah aku katakan kepada istriku: lihatlah aku tetapi jangan tanyakan tentangku, aku meniti lorong waktu ini bagian dari keterasingan dan pembuangan untuk kembali ke rumah surgawi--sebuah pembuangan spiritual--karena berpisah dengan samudra Cinta, bagai ikan di samudra yang dientaskan ke daratan, menggelepar-lepar diriku bersamamu semua kawan dan teman.

Dunia ini bagiku pembuangan yang nyata, yang disebut Kanjeng Nabi SAW: kepasrahan (Islam) mulai sebagai asing dan akan berakhir sebagai asing pula--lalu disimpulkan--dan berbahagialah mereka yang menganggap dirinya asing.

Aku yakin kondisi ini dimiliki oleh semua orang yang merasa dirinya berada dalam pembuangan di dunia ini. Bisa saja suasana hati itu dialami setiap warga negara yang merasa dirinya dalam pembuangan dari tanah kelahiran mereka sebab pemerintahan yang tidak peduli kepada nasibnya, atau seorang istri yang diremehkan suaminya, atau seorang karyawan yang direndahkan pimpinannya, atau seorang suami yang disia-siakan istrinya, atau seorang anak yang ditelantarkan orang tuanya, atau seorang murid yang diusir gurunya, atau, atau, atau, atau.

Bagiku bukan saja seperti itu, tetapi menanjak kepada pembuangan spiritual ini sehingga meneteskan nyerinya rindu untuk mencercap kembali percikannya percikan dari tetesan samudra Cinta itu, tergerak oleh seruan Sang Ruh yang misteri ini.

Ketergerakan ini--dalam bahasaku keterseretan--menjadi tenaga tak terhingga dalam mencari Dia semata. Bagi kawan-kawan dan saudara semanusia, manakala mengejar dan memuaskan diri dengan kurnia apa saja, atau puas dengan mengejar sifat-sifat--sebagai pengganti DzatNya--aku relakan sedemikian rupa karena apa saja yang ada ini bagiku adalah isyarat Cinta, yang pada akhirnya akan kembali ke samudra Cinta itu lagi.

Maafkan aku kawan, aku ini seolah-olah telah menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatiku, dan dalam harta karun ini telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai harganya, yang bernama Cinta. Selain ini, kalau aku kau pandang memiliki apa-apa --dan kau inginkan--ambillah dan aku tidak akan merasa kehilangan, karena aku tidak merasa memiliki apa-apa. Dan bila ada yang melihat aib-aibku, lalu ada yang ingin menyiarkannya untuk supremasi dirinya, aku relakan sedemikian rupa karena aku bukan siapa-siapa.

Ringkasnya, aku matikan saja diriku--anggaplah tidak ada sebagaimana diriku merasakannya--agar Dia hidup menari-nari di rumahNya ini, toh ujungnya Dia menghidupkan yang mati. Tangisan Kanjeng Nabi saw di perang Badar itu, cukup mewakili jeritanku: Ya Allah, seberat apa pun tanggungan ini Engkau bebankan, akan aku kuat-kuatkan ya Allah, asal Engkau tidak duko (marah) padaku.

Aku tidak berani menyatakan sejauh keintiman kepadaNya, atau merasa bisa dekat denganNya, atau merasa bisa memandangNya, atau merasa kenal denganNya, sebab aku merasa mengenal diriku sendiri membutuhkan kehabisan umurku untuk sampai. Termasuk aku tidak berani mengumumkan mimpi ketemu kekasihNya itu, atau merasa bisa gondelan bajunya beliau itu, atau merasa melampaui salafushshaleh yang yang telah memercikkan cahayaNya melewati mata rantai yang suci ini, sampai padaku, karena aku merasa malu akan silaunya cahaya di mataku yang lemah ini, dan hinanya akhlakku yang tak sembuh-sembuh ini.

Banyak peristiwa dalam goresan hidupku yang aku nikmati sedemikian manis, goresan itu aku prasangkai bagai kado penganten hidupku, ternyata ketika aku buka bungkusnya, berisi sekuntum bunga teratai yang mengelopak, yang bermahkotakan seribu bunga. Jadinya, ketika ada orang menyingkirkanku--siapa pun itu--maka aku relakan sedemikian rupa agar mereka puas, mereka bisa tersenyum atas terpenuhinya keinginan itu. Toh sudah aku sadari sepenuhnya, kehadiran di dunia ini adalah sebuah pembuangan, yang melahirkan kenyerian rindu yang menggetarkan dan mengguncang hati ini....

Kawan-kawan, aku tidak punya derita kecuali derita nyeri rindu kepadaNya, aku tidak punya perlindungan kecuali perlindungan dalam diriNya, dengan ini aku merasa bahagia, aku sangat berbahagia, karena duka dan derita yang datang dari Kekasih, melahirkan keterjagaan hati, penderitaan yang meneteskan anggur kemabukan, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka....!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar