Sedulurku tercinta, ada seorang tamu semangat bercerita tentang nasib dan penderitaan kemanusiaan, aku sangat suka karena melahirkan tingkat kekhudhuran hati yang ujungnya meneteskan empati, lalu aksi mengatasi. Pada saat berbicara tentang kegembiraan hati, aku suka karena akan memercikkan wewangian kepadaku, agar aku bisa meniru sebab percikan itu. Tetapi ketika berbicara bahwa hanya Allah yang ada di hatinya, ternyata ujungnya adalah mengedepankan supremasi dirinya, berbicara ruang dan waktu, aku bertanya-tanya: Allah yang mana itu, ternyata Allahnya, bukan Allah kita semua itu--yang sejati itu.
Tuhan pun bertanya: apakah kamu melihat orang yang mengAllahkan hawa nafsunya? Inilah kekhawatiran Rumi, tahanlah nafas, isyaratkan telunjuk jarimu bila orang berbicara sesuatu, berbisiklah dengan: sssstt, agar pesona ilahiyah yang bagai burung indah hinggap di kepalamu tidak terbang meninggalkanmu. Inilah diam Cinta.
Dahulu--kata Rumi--ketika semua makhluk diciptakan Allah, semua diberi kemampuan mengeluarkan suara. Ketika mereka mengeluarkan suara pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Tuhan, kecuali keledai. Keledai hanya mau bersuara, jika lapar atau ingin memuaskan hawa nafsunya.
Model orang yang katanya Allah bermahkota di hatinya--tamuku itu--aku pancing dengan bicara tentang kelaparan, tentang pengangguran, tentang krisis moral, tentang ketidak adilan, tentang hutan terbakar, tentang kebodohan, tentang krisis moneter, tentang gejolak dunia, tentang politik, dia tidak menunjukkan minat kepedulian.
Tetapi begitu bicara tentang ambisi dan ego pribadinya, ia bagai keledai yang kelaparan itu, kata-katanya sudah tidak bisa dikendalikan, meluncur terus. Bicara benar yang sejati itu faktanya ada, yakni bicara hal-hal yang universal, turun sedikit bicara benarnya orang banyak itu bersifat kelompok, terakhir benarnya sendiri itu masuk ke ranah ego dan ambisi pribadi itu.
Ketika kita jagong dengan mendialogkan urusan universal itu berarti juga memuji Tuhan sebagaimana diciptakan pertama kali itu, tetapi ketika kita bicara ego maka kebaikan yang terpercik pasti akan pergi. Jadi diam cinta itu tidak lantas tanpa kata-kata, kita tetep jagong tapi yang dibicarakan adalah pemikiran dan pemecahan atas problem-problem universal itu.
Sementara yang diam itu tidak musti benar juga, manakala melihat penindasan berlangsung dalam kehidupan, tidak ada tindakan membebaskannya. Secara tauhid, membicarakan tentang ketercerabutan atas rahmatNya--dalam banyak jenis--itu berarti memuji kepadaNya, karena mana alam semesta ini yang tidak mengabarkan tentang Dia.
Tetapi begitu masuk ke dalam ranah ego, maka kita akan melupakan banyak tanggungan yang menjadi sarana mengagungkan Tuhan itu, dalam bentuk tindakan nyata. Lihatlah ketika ketika gaji tidak dinaiikkan mereka geger, begitu dikabulkan kembali sunyi, sementara banyak orang miskin menangis dalam sunyi. Lihatlah singa-singa mimbar itu, bersuara keras, sangat vokal, dan sangat kritis--biasanya disebut garis keras--kemudian suaranya hilang ketika sudah memperoleh sesuatu yang diharapkan: menduduki jabatan orang-orang dulu yang dikecamnya itu. Rupanya suara kerasnya itu, banyak omongnya itu bukan pemecahan masalah yang universal--padahal cinta itu universal--tetapi suara kerasnya itu hanya suara keledai. Suara yang keluar karena lapar itu....
Kawan-kawan, memang diam adalah tanda orang yang memperoleh hikmah, tetapi bagi yang bicara dalam mencari solusi universal itu bisa disebut memuji Tuhan, ini bentuk diam yang lain, bukan seperti keledai itu....
Minggu, 25 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar