Sedulurku tercinta, ketika dalam suatu pengajian di sebuah Pesantren, aku bertanya kepada para mustami' (pengunjung): bisakah dirimu mencontoh Kanjeng Nabi saw, secara menyeluruh? Lalu aku rinci, tentang Cinta Tuhannya, Ibadahnya, Mu'amalahnya, akhlaknya, tutur katanya, dan lain sebagainya. Serempak mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu setara dengan keluarga Kanjeng Nabi saw? Kompak mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu seperti imanya para sahabat Kanjeng Nabi saw? Mereka serempak menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu memiliki perjuangan seperti tabi'ittabi'in? Mereka menjawab: tidak bisa. Mampukah dirimu mengimbangi ilmunya para Imam-Imam itu? Mereka menjawab: tidak mampu. Bisakah dirimu mengimbangi atau menyamai para wali-wali (kekasih) Allah itu? Mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu mengimbangi perjuangannya ulama' yang amilin itu? Mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu mengenal Tuhan yang cahayanya berbagi di hatimu? Mereka menjawab: tidak bisa.
Lalu aku bacakan senandung syair, yang artinya: Ceritakan atau kisahkanlah sejarah orang-orang shaleh dan sifat-sifat baiknya, dengan menutur sejarah dan kisah itu, engkau akan terpercik wewangian mereka, ceritakanlah fadhilah-fadhilah mereka, engkau akan memperoleh keberkahannya, dan terhadap kubur mereka--ziarahlah--engkau akan mendapat keberuntungan dunia akhiratmu.
Baru setelah ini aku uraikan tentang metodologi cinta kepada Tuhan, sebagaimana yang ditempuh oleh salafushshalihin itu. Beliau-beliau itu memiliki cinta ilahi melalui dua cara pada umumnya : 1) melalui daya tarik Ilahi (jazbah) dan 2) melalui pengembaraan dan kemajuan metodia di atas Jalan Suluk.
Dengan daya trik, cinta Tuhan akan muncul secara langsung, tanpa perantara, sehingga orangnya akan melupakan segalanya kecuali Allah. Realitas ini tidak dapat diketahu oleh metode-metode logis atau rasional. Tuhan harus didekati melalui cinta, dan hanya melaui keagungan dan rahmat Ilahi intimasi bersamaNYa bisa dicapai. Sepanjang dirimu, masih dirimu sendiri, maka siapapun tidak bisa mengenal Tuhan.
Selubung terbesar antara diri kita dan Tuhan adalah: dirimu itu. Hanya api cinta Ilahi yang dapat membakar egosentrisitas. Lebih-lebih, cinta Ilahi bisa muncul secara spontan, ia tidak dapat dipelajari melalui kajian. Sedangkan jalan kedua, yakni pengembaraan dan kemajuan metodis, dimana seseorang harus jatuh cinta pada guru spiritual, yang kemudian mengubah cinta ini menjadi cinta ilahi. Dari genggaman guru ini, di tangannya ada lentera, kemudian sang guru menghidupkan nyala lentera dengan nafas ruh sucinya, yang menyebabkan murid terbakar oleh cinta Ilahi.
Dalam syair tadi disebutkan, akan terpercik wewangiannya, memperoleh keberkahannya. Pada ujungnya sama dengan metode yang pertama: murid akan menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatinya, dan dalam harta itu telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai harganya, bernama Cinta. Setelah memperoleh magma Cinta ini, makanya yang namanya hati tidak hanya segumpal daging saja, cahaya cinta ini akan mewarnai segala sendi jasad dan hidupnya, sehingga seluruh tubuhnya menjadi hati, meluas seluruh semesta menjadi hati: apa saja mengantarkan pada wajah Tuhan....
Kawan-kawan, semesta selalu menanti orang-orang semacam itu, dan ia akan memperoleh belaian kasih sayangnya. Paling tidak diri kita memperoleh percikan dari tetesan samudra Cinta itu, atau percikan dari percikan tetesan samudra Cinta itu, atau percikan dari percikannya percikan tetesan samudra Cinta itu....
Minggu, 04 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar