Sedulurku tercinta, malam ini malam Jum'at yang memiliki keutamaan bershalawat Nabi SAW. Yang aku maksudkan tidak hanya sekedar berkidung cinta dengan lidah saja, tetapi bershalawat dengan hati, yang rindu menderu itu--bagai Uweys Al-Qorni. Kerinduan ini cara mengalaminya melalui tataran yang tidak sederhana, tetapi harus melewati tahapan penampakan lahiriah, kemudian melampaui ranah pandangan yang sensual, baru merasakan tatapan kerinduan--kepada Kanjeng Nabi itu.
Pada penampakan lahiriah, kita hanya berhenti pada hal-hal yang material: busananya, banyak menyebut namanya, berziarah ke makamnya--ringkasnya--kita cinta kepada Kanjeng Nabi saw karena terpesona pada bentuk-bentuk luarnya. Cara mencinta seperti ini akan menjadi selubung kepekaan pada stimulus ruhaniah, kita akan menjadi tidak bijak dalam menangkap isyarat-isyrat halus yang harus diungkap.
Misalnya, Kanjeng Nabi mencintai tiga perkara: perempuan, parfum, dan shalat. Lalu kita menyibukkan diri dalam pernikahan badani, keharuman tubuh, dan pernik-pernik fiqih dalam shalat. Padahal ketiga perkara itu mengungkapkan secara simbolis pengalaman ruhaniah yang agung. Sama halnya dengan kita--secara lisan bersholawat--seolah-olah sudah menunjukkan cinta secara penuh kepada beliau, umurnya lalu dihabiskan dalam seremonial berkidung shalawat, ke mana-mana. Kemudian pandangan sensual, dimana kita mencintai Nabi saw dengan membayangkan ketampanan wajahnya, sebagai tahapan tanjakan sebenarnya tidak salah tetapi cinta seperti ini akan mandeg dengan bentuk keinginan memiliki, menuntut, merengek, mendesak, mengambil--bukan memberi.
Betapapun rendahnya, cinta model ini akan menjauhkan kita sejengkal dari ego kita. Lumayan, sudah memberikan kehangatan hidup, kerinduan, dan keinginan bergabung dan bersama. Citra cinta ini akan mengantarkan kepada cinta yang lebih tinggi tingkatannya, karena cintanya akan tumbuh menjadi persahabatan yang mendalam.
Me-Muhammadkan aku, mengkitakan aku, mengkamikan aku. Cinta seperti ini akan menunjukkan bukti, tidak menuntut tetapi berbagi. Bentuknya akan jelas, bahwa cinta seperti ini ditandai dengan perhatian yang aktif--tanpa banyak kata--pada orang yang kita cintai: Kanjeng Nabi saw itu. Kita ingin diterima di sisinya, kedambaan untuk memberikan segalanya tanpa syarat pada sang kekasih--bagai Ibunda Siti Khadijah itu. Bukan seperti Siti Zulaikha, yang hanya menggait baju Nabi Yusuf--sampai robek itu, lalu melahirkan fitnah sampai terpenjaranya beliau.
Cinta kerinduan ini adalah cinta spiritual, yang jauh menyelam dari dataran badaniah (alam kadagingan) ke kedalaman ruhaniah. Model cinta seperti ini kita mencari hati dan meninggalkan daging dan tulang. Mencintai Kanjeng Nabi saw yang kita bayangkan bukan sekedar citra fisiknya, tetapi kagungan akhlaknya---yaa kariimal akhlak. Membayangkan akhlak kanjeng Nabi saw, bisa dimulai mengabungkan diri dengan orang-orang shaleh, syuhada', para Nabi, dan orang-orang yang benar--lalu Kanjeng Nabi saw itu.
Melihat kesalehan orang tua, guru-guru, Kiai-kiai, dan salafussaleh saja sudah sedemikian bergetar hati kita, lalu terbayang akan keagungan akhlak Kanjeng Nabi saw itu. Manusia yang membasahi janggutnya--bukan sekedar jenggot--dengan air matanya karena memikirkan derita umat sepeninggalnya, yang merebahkan dirinya di atas tanah dan tidak mengangkatnya sebelum Allah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada umatnya, yang berlumuran dosa ini….
Kawan-kawan, aku merasa pada posisi yang banyak dosa itu, aku merasa berkeinginan memiliki akhlak yang agung itu, yang sudah bertaburan pada orang-orang sholeh itu, aku merasa pada posisi yang ditolong itu, aku malu atas ketidak pengertianku ini, aku malu, aku malu, aku malu, aku malu, aku malu....
Ya Rasullaaah !!!!
Sabtu, 24 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar