Sedulurku tercinta, ada sebuah syair yang maknanya: wahai anak cucu Adam ingatlah ketika engkau dilahirkan dalam keadaan menangis sementara lingkunganmu tertawa, maka beramallah untuk dirimu, pada saat dimana orang datang dengan menangis di hari kematianmu, jiwamu tersenyum. Sepertinya kehidupan ini kalau begitu, diawali tangis dan ditutup dengan tangis. Sungguh--firman Tuhan--Aku ciptakan manusia itu serba ketemu ruwet. Ruwet jalan macet, ruwet anak-anak nakal, ruwet istri cerewet, ruwet suami silengkuh, ruwet kendaraan mogok, ruwet tubuh didera sakit, ruwet jadi pengangguran, ruwet barang-barang naik, ruwet telambat kereta, ruwet pesawat ditangguhkan, ruwet menagih hutang, ruwet membayar hutang, ruwet hukum tidak adil, ruwet pejabat korupsi, ruwet perbedaan faham, ruwet perpecahan parpol, ruwet, ruwet, ruwet, ruwet, ruwet.
Keruwetan ini bisa dilacak, sumbernya adalah keinginan-keinginan kita, keinginan telah memperbudak manusia. Derita yang menyeret manusia tidak pernah sempat menyapa jiwanya--sangat sibuk katanya. Manusia menjadi terkapar dalam kebosanan, lunglai dalam menuruti dan mengatasi keinginannya itu.
Manusia memiliki dua ujung--kata Kanjeng Nabi saw, ujung lidah dan ujung bawah. Ujung yang pertama membawa petualangan makan sehingga perutnya menjadi bak sampah, sementara ujung kedua membawa petualangan selera seksualitas, keinginan mengicipi semua perempuan dunia. Iblis pun melambai-lambai bisikannya pada dua tempat--maaf bukan salah perempuan lho, pertama payudara dan kedua pantatnya.
Jadilah, mata lelaki kalau berpapasan dengan perempuan, yang dipelototi adalah payudaranya, sementara kalau perempuan itu sudah lewat yang dikomentari adalah bokongnya. Mengambil jarak dengan derita ini semua, sudah sangat susah, sangat susah. Akhirnya manusia menjadi lunglai, terhempas di kerak bumi ini. Dalam ketakberdayaan seperti inilah, Tuhan mengutus para kekasihNya, sebagai hidayah bagi manusia menuju kebahagiaan sejati, abadi.
Sebenarnya juga merupakan derita, tetapi derita yang terasa manis, derita yang melahirkan kebahagiaan. Wujudnya adalah derita berpisah dengan keinginan itu, lalu biar Tuhan yang bicara melalui kita semua, itu namanya pasrah, bahasa arabnya Islam.
Hai orang yang beriman--firman Tuhan, masuklah ke dalam kepasrahan. Cul! Lihatlah kepasrahan orang bekerja, tetapi demi senyum anak istrinya, akhirnya menyeret kalbunya pada senyum Tuhan. Saksikanlah kepasrahan Ibumu, demi kehidupanmu, derita serasa manis kala melihat senyummu, Ibumu lebih merasa dalam pelukan Tuhan, kala memelukmu sebagai titipanNya. Tengoklah kepasrahan awan yang menangis, tetapi menumbuhkan bumi menjadi taman-taman. Ingatlah kepasrahanmu ketika engkau menangis kala masih bayi, air susu Ibumu mengalir deras membesarkanmu. Bayi bisa menjadi simbol kepasrahan, semua kehendak dalam ketakberdayaannya itu, membawa semua lingkungannya tergerak untuk melayaninya. Popok basah, dia menangis, mengundang Ibunya mengganti. Punggung panas karena tidur melulu, dia menangis lalu neneknya tergerak mengajak jalan-jalan, padahal bayi itu tidak bisa berjalan....
Kawan-kawan, bayi saja memiliki insting sedemikian tajam: aku menangis supaya ada perawat yang baik datang. Maka tidakkah kita memiliki kesadaran menangis--dengan belbagai bentuk derita--sehingga Sang Maha Perawat dari segala perawat memberikan susu secara gratis dalam kehidupan, derita semacam inilah yang tidak melahirkan kebosanan, tetapi justru jiwanya berkembang sebab keberkahan susu cinta itu....
Sabtu, 03 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar