Sedulurku tercinta, dalam penggapaian kepada Dia yang tak bertepi ini, ada tantangan di atas langit masih ada langit, bahkan tantangan kepada jin dan manusia, manakala bisa melintasi cakrawala langit dan bumi, Tuhan mempersilakan--lintasilah--dan manusia tidak akan bisa melintasi ini kecuali dengan kekuatan.
Kesadaran manusia akan keterpatahan sayap atas penggapaian itu menjadikan rumus: semakin manusia tahu maka ia semakin tidak tahu. Sehingga kebenaran mutlak hanya pada Dia, sementara kebenaran relatif berada pada diri manusia.
Misalnya masalah minum saja, kita ditanya oleh Al-Qur'an: kamukah yang menurunkan airnya dari langit ataukah Kami, Allah? Pertanyaan ini memakai hazah istifham taqriri, dimana Tuhan bertanya tetapi tidak membutuhkan jawabannya karena dalam hati manusia tahu kalau yangmenurunkan air hujan dari langit itu Dia. Kalau ini dijawab dengan akal, maka akan sedemikian panjang jawabannya, karena harus meniti sebab akibat yang ada.
Pengetahuan memberi tahu bahwa air hujan itu tadinya bermula dari matahari menyinari air laut, air laut itu menguap, maka di atas langit muncullah mega-mega itu, karena ketinggian tertentu dan terjadi perbedaan suhu maka mega itu lalu digiring angin pada tempat tertentu. Gambaran ini bagai tetesan air yang menempel pada gelas manakala ada perbedaan suhu antara yang di luar gelas dan di dalam gelas, maka terjadilah titik-titik kondensasi--titik-titik itulah yang namanya air hujan.
Kemudian akal melacak lagi: dari mana asal matahari itu? Kembali pengetahuan mengajarkan bahwa metahari itu asal muasalnnya adalah: ada gas yang meledak secara besar-besaran (teori big bang), dan ledakan dari gas itu lalu terpencarlah gugusan bintang-bintang--termasuk salah satunya adalah matahari itu.
Ketika sampai pada adanya gas, akal bertanya lagi: dari mana asal muasalnya gas dalam ledakan besar itu? Pengetahuan mengajarkan bahwa itu mata rantai yang belum ketemu, maknanya mereka mengatakan tidak tahu. Ini baru satu titik yang namanya air minum itu, belum pada sebanyak jantera alam semesta, dari yang kasar sampai yang lembut ini.
Inilah yang disebut jalan misteri yang dianjurkan oleh Rumi: peluklah misteri. Siapakah yang menumbuhkan pohon itu, siapakah yang menumbuhkan bayi di rahim Ibu itu, siapakah yang meninggikan gunung itu, siapakah yang menghamparkan bumi ini, siapakah yang memberi wangi pada bngaa-bunga itu, siapakah yang menciptakan matahari itu, siapakah yang menciptakan benda-benda langit yang tak terbatas ruang dan jumlahnya itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu?
Misteri ini telah melintasi zaman yang teramat panjang, orang sering menyebut misteri itu: Tuhan. Para Nabi dan Rasul mengabarkan bahwa itu semua dicipta oleh Allah. Allah pun merupakan yang ghaib itu, kembali kepada misteri lagi, kecuali dikenal dengan sifat-sifatNYa, sampai Kanjeng Nabi menyatakan: berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Dia.
Dalam penggapaian yang menyangkut sifat-sifat ini pun setelah, manusia mengamati isyarat-isyarat cinta itu, yang pada ujungnya kembali kepada Allah, Allah, Allah, Allah, Allah, Allah. Inilah puncak cinta itu, yang tidak diketemukan di mana-mana, ternyata kita temukan di dalam dada setiap manusia itu sendiri, atas cahayaNya, Dia berbagi.
Dengan demikian, ketika ada orng yang mengatakan bahwa dia tidak tahu, sebenarnya di dalam hatinya telah ia ketemukan sebuah jawaban yang teramat jelas nan panjang dalam banyak hal ini, tetapi karena tidak semua bisa diterangkan dengan bahasa tulisan, atau ungakapan bahasa kata. Hanya Dia, hanya Dia, hanya Dia, hanya Dia.
Kalau toh manusia menemukan dalam sudut hatinya--sebagai rumahNya itu--sebuah harta karun yang tak ternilai harganya, itulah Cinta. Sampai di sisni akal akan terbakar oleh api Cinta, bagi akal pahit tetapi bagi hati bisa manis, bagi akal jauh tetapi bagi hati dekat, bagi akal berat tetapi bagi hati ringan, bagi akal racun tetapi bagi hati madu, bagi akal tua tetapi bagi hati yang terbakar oleh Cinta, ia akan selalu merasa muda....
Kawan-kawan, itulah puncak Cinta, dimana di hatinya telah terhujam keindahan mutlak, selebihnya adalah pandangan keragaman yang tidak akan mencebak diri dalam keburukan dan kesalahan, semuanya indah, sungguh indah, sungguh....
Rabu, 28 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar