Sedulurku tercinta, dalam pengembaraan Rendra di hutan rimba, dia menemukan sorang yang sangat sederhana penampilannya, jauh dari media masa, jauh dari seremonial agama, jauh dari kekuasaan negara--cedak watu adoh ratu--tetapi memiliki kesadaran penggapaian langit yang tak bertepi.
Seseorang itu jauh dari supremasi apa saja, yang di kota--konon--tempat orang-orang pintar bermukim, menjadikan kepintarannya, merupakan kebodohannya yang nampak. Hal ini terbukti dari hutan dan dusun orang setor kepada kota untuk segala kerakusannya, dari kota setor kebijakan yang bikin orang desa--termasuk hutan itu--terkoyak ketenangannya.
Semuanya ini tentu diketahui oleh seorang Begawan sastra sekelas Rendra itu. Rendra mengamati sepenuh hati kegiatannya ini, ya kegiatan orang kecil tapi berjiwa besar. Kebesarannya bukan karena seorang bintang, bukan karena seorang pejabat, bukan seorang rohaniawan, tetapi orang ini seorang pekerja, pelaku sejarah--bukan pencerita. Yang berkata bagi orang ini adalah perbuatannya, bukan perbuatannya yang berkata-kata.
Kegigihan semacam ini--di mata Rendra--merupakan percontohan bahwa betapa penting orang itu memiliki sebuah pekerjaan, orang itu melibatkan diri dalam persembahan gerak sejarah--jadi orang bermartabat. Selepas subuh, dia berangkat ke hutan membawa pikulan yang digantungi dua keranjang, umurnya sudah 70 tahun, sesampai di hutan dia menghadapi gundukan tanah yang di sela-sela tanah itu menyembul asap, orang itu terlihat gesit dan lincah. Dibalik gundukan yang berasap, ada sepikul arang yang malam nanti akan ia bawa ke kota, setor kepada pelanggannya.
Di sela-sela seharian mengorek sepikul arang itu--dilihat Rendra--ia melakukan sembahyang tanpa melihat jam, hanya isyarat alam dan bersajadahkan lembara daun pisang--di atas rumput. Dalam pandangan Rendra, ternyata lengkung langit itu bagai kubah masjid yang amat besar, dan kala bersujud di atas selembar pisang, orang itu menjadi hilang dalam arti tidak sebanding dengan besarnya lengkung langit itu, ia dipandang fana.
Pada senja sebelum pulang terjadilah dialog antar Rendra dengan penjual arang yang sudah sepuh itu. Apa cita-cita mBah sesepuh ini dalam hidup--tanya Renda. Maka dijawab dengan polos oleh penjual arang yang sudah 45 tahun menggeluti bikin dan menjual arang itu: saya masih selalu berusaha sekuat hati dan tenaga membuat arang yang semakin bagus dari hari-hari kemaren--katanya. Jawaban sederhana dan spontan inilah yang menjadikan Rendra ambruk hatinya, sehingga ia mengakui ada berubahan semakin maju keberagamaannya setelah memperoleh jawaban dalam pengembaraannya di hutan itu.
Kisah yang diceritakan Rendra ini bila dikaitkan dengan kerangka tekstual sangat-sangat indah, karena yang mau ditembak oleh penjuan arang ini pada dasarnya adalah dia tidak ingin membikin kecewa orang, malah supaya pelanggannya tambah gembira lagi dengan produknya yang semakin berkualias tak terbatas penggapaiannya itu. Bila dilacak lebih mendalam lagi bahwa penjual arang itu memiliki keikhlasan dalam bekerja, dan itu pengaruhnya terhadap hati konsumen amat memberkahi.
Hal-hal kecil bisa dilatih, ketika memasak Ibu-ibu itu tidak sekedar mengandalkan mahal bumbunya, tetapi bumbu itu harus bersumber pada racian cinta yang berasal dari hati itu, dengan mengandaikan setelah masakannya matang yang akan mencicipi adalah kekasihnya. Senada dengan Rumi, yang menerangkan pekerja pemintal kain tidak sekedar benang kapas itu, melainkan ulurlah benang itu dari hati, dengan mengandaikan selembar kain itu kalau jadi busana yang akan memakai adalah kekasihnya. Setiap orang manakala bekerja dengan cara seperti ini, maka ia akan memliki percikan cahaya--seperti tukang arang itu--hingga menjadikan orang sekelas Rendra menjadi luruh hatinya, dan menjadi titik perubahan yang semakin dekat dengan Tuhan.
Berkaca terhadap kisah Rendra ini, aku mengetik kata-kata pun mengandaikan, yang akan membaca adalah kekasihku, ya anda itu….
Minggu, 25 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar