Sedulurku tercinta, ketika aku melihat kabar di koran di televisi tentang keburukan-keburukan, hampir saja aku percaya dunia ini sudah rusak: perampokan, pembunuhan, pencabulan, pemerkosaan, pencopetan, amuk masa, korupsi, kekerasan rumah tangga, tabrak lari, perselingkuhan, penyebaran vedio porno dan lain sebagainya.
Ternyata tidak demikian, dunia terlalu luas untuk dikotori oleh berita yang tidak menyenangkan ini, ternyata pada akhirnya siapa pun yang mengotori kehidupan ini mereka akan memanen keburukan itu sendiri, tidak secara keseluruhan. Tuhan memiliki sifat rububiyah: Dia mencipta, menyediakan sarana, membenahinya dan menyempurnakannya, abadi.
Siapapun yang mengotori samodra, maka kotoran itu akan dihantarkan gelombang ke pinggir pantai, sepertinya samodra mengatakan: siapa ini yang mengotoriku! Kepercayaanku ini juga atas pernyataan Tuhan sendiri: Dia tidak akan memberikan kerusakan pada suatu negri, selagi masih saja ada orang yang berbuat kebaikan.
Menurutku, dunia sedemikian melimpah kebaikan ini, sehingga kalau toh ada keburukan, itu sebenarnya adalah kebaikan yang tidak mendapat ruang, atau kejahatan itu sebenarnya adalah kebaikan yang belum terkuak kedoknya, jadinya keburukan itu sangat temporal, karena Tuhan adalah kebaikan mutlak yang abadi.
Dalam perjalanan hidupku, aku bagai menyelami ke dalam samudra, di mana aku temukan mutiara-mutiara yang tak terhingga banyaknya sampai-sampai pada kesimpulan: di pinggir pantai memang banyak bukur-bukur itu, tetapi kosong dari mutiara. Maknanya banyak hal-hal yang tak termediakan tetapi memiliki peradaban yang amat luhur, yang menjadi titik tumpu rahmat Allah diturunkan di bumi ini, tetapi juga banyak keburukan itu diberitakan, tetapi itu akan mengenahi diri yang berbuat itu sendiri.
Aku menemukan salah satu mutiara itu, yakni sebuah kebersamaan yang merangkum keberagaman yang sangat indah, dimana tema utamanya adalah Cinta. Semua keberadaan diberi ruang, antara yang ranah rahman dan ranah rahim, jadilah bismillahirrahmanirrahim. Sabda Kanjeng Nabi: sesuatu kalau tidak dilandasi dengan bismillah irrahmanirrahim maka akan terputus dari rahmat Tuhan. Kebersamaan ini dan keragaman ini menjadi sumber kebaikan, goodness from assosiation. Siapapun boleh hadir dalam kemesraan ini: agamanya apa, parpolnya apa, ormasnya apa, pendapatnya apa dan lain sebagainya.
Mozaik musiknya juga sangat eksotik: rebana bisa, musik bambu Plompong bisa, jazz bisa, pop bisa, gambang kromong betawi bisa dan lain sebagainya. Semua menjadi sarana untuk mengantarkan keindahan yang bisa menebar wangi pada jiwa-jiwa secara universal. Memang acara ini nampak sederhana bahkan kecil, namun menjadi oase bagi yang dahaga dalam Kesatuan--atau Tauhid itu.
Komunitas ini menjadi semacam reoni bagi jiwa-jiwa yang rindu akan keuniversalan Tuhan, bukan subyektif, bukan sektarianis dan primordial. Persoalan yang dibahas dalam mencari solusi kesalehan bisa pribadi, bisa sosial, sampai pada kenegaraan bahkan dunia dan keakheratan. Kalau boleh aku gambarkan, kenduri ini bagai kegelisahan seekor burung emprit yang mengambil tindakan nyata kala mendengar Ibrahim akan dibakar oleh api Namrud, sampai-sampai perhelatan ini bisa bertahan dari jam 20.00 sampai jam 3 dini hari, bahkan tak jarang sampai kenthong subuh.
Burung emprit dengan paruhnya yang kecil akan mematuk air samudra, dan akan menyiramkan api Namrud, supaya Ibrahim khalilullah ini selamat. Maknanya, kenduri Cinta ini digelar, diniatkan akan meredam gejolak api apa saja yang diindikasikan membakar kemuliaan kemanusiaan, agar manusia damai, negara damai, dan dunia damai.....
Kawan-kawan, Kenduri Cinta ini bagian dari upaya seorang pengembara Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, bersama-sama dengan orang-orang yang mau bersama untuk menegakkan Cinta menjaga Indonesia, di halaman TIM Cikini Jakarta, yang digelar setiap jum'at kedua dalam setiap bulannya, yang pada hari ini sedang punya gawe ulang tahunnya ke 10.....
Selamat Ulang Tahun Kenduri Cinta, aku selalu menemanimu dalam upaya cinta yang telah dilaksanakan
Rabu, 28 Juli 2010
Srabi Cinta
Sedulurku tercinta, aku harus menjawab bagaimana ketika ada banyak orang menanyakan soal pekerjaan, mereka nganggur di tengan wewangian keberadaan yang diperuntukkan bagi hamba-hamba--sebagai kekasihNya ini. Kita sudah di dunia (Jawa--donyo), ternyata masih menanyakan dunia, bagai sudah di WC kok tanya tinja--dawuh Kiaiku dulu.
Dari penggambaran guruku itu, aku ditunjukkan betapa kalau hanya soal rejeki itu melimpah melalui instrumen semesta, semua jadi uang--jadi duit. Aku saksikan sendiri dalam realitas kehidupan: ketika aku pulang pengajian dari Bojonegoro jam 4 pagi sampai Cepu, ada seorang perempuan menyeret barang-barang pakai gerobak sendirian, sementara jalan sepi dan orang-orang masih terlelap kecuali bakul-bakul pasar yang berangkat menyongsong pembeli dengan hasrat fajar jiwanya.
Begitu sampai di emperan toko perempuan tua itu sendirian membongkar barang berwujud meja kecil terbuat dari kayu-kayu sederhana, tiga tungku, tiga lepek, sebongkah arang dalam plastik, adonan santan dan tepung beras, sewakul ketan sudah matang, beberapa kupasan kelapa muda, lembaran dau-daun pisang untuk bungkus, plastik kresek hitam--semua dipersiapkan sedemikian rupa--kala menyongsong subuh itu, yang tentu dipersiapkan di rumahnya dini hari kala banyak manusia mengeja mimpi-mimpi.
Usai subuhan datanglah Ibu tua itu dengan seorang anaknya perempuan yang masih gadis--tentu tidak sama dengan gadis2 yang hanya berpangku tangan--mengelar dan memethik wewangian karunia Allah yang namanya uang atau duit itu. Anak gadis itu menyalakan arang dan mengipasinya, lalu menuangkan adonan santan dan tepung itu, dan jadilah serabi yang menyengat wangi gosongnya itu, sungguh amat wangi.
Sementara Ibunya menyongsong srabi di meja yang dilambari daun pisang itu dengan parutan kelapa muda. Aku mewancarainya sambil memesan sepuluh bungkus untuk anak-anakku yang aku ajak keliling, transit di tempat Kiai Lilik Cepu--seorang Abul yatama--sukanya merawat anak yatim. Ternyata hanya setia berjualan srabi selama 25 tahun ini bisa membesarkan anak tiga, termasuk yang gadis itu, Keuntungan bersih setiap pagi bisa lima puluh ribu rupiyah, dan itu disyukuri habis-habisan, Alhamdulillah--desisnya sambil tersenyum.
Sambil berjalan pagi aku tenteng sepuluh bungkus srabi, karena mobil aku suruh duluan sejak aku menyaksikan drama cinta ini, aku terseret oleh keluasan karunia, dan kerelaan atas kesahajaan kehidupan. Andai saja penduduk negri ini memiliki kemegahan hati kayak Ibu dan anaknya ini, tentu kehidupan akan sangat terasa indah adanya. Terbayang olehku akan penjual nasi kucing yang rata-rata masih muda, terbayang olehku akan penjual siomay yang anak-anak muda imut itu, terbayang olehku akan kemandirian-kemandirian menyongsong wanginya rejeki melewati pertarungan nan pasrah ini, terbayang olehklu akan keterjagaan bakul-bakul yang membayar dengan Cinta, sementara pembeli menghargainya dengan hanya duit, lembaran-lembaran kertas itu, terbayang olehku akan petani-petani yang bergelepotan lumpur di sawah dan malamnya masih menyediakan waktu untuk mengaji sampai larut malam....
Kawan-kawan, diam-diam mataku meleleh airnya, aku menangis bahagia pagi kemarin bukan oleh gema wirid dan shalawat, tetapi aku menangis bahagia oleh gema Cinta yang genderangnya dibayar dengan seluruh dirinya itu, dan ketika aku sampai di transit, srabi yang dimasak dengan Cinta itu disongsong anak-anakku dengan harapan yang penuh, begitu lahap makan mereka makannya seperti hasrat Ibu dan anak yang membikinnya itu, aku tersimpuh di depan anak-anakku, dan mereka ada yang menanyakan kenapa Abah menangis, aku tak bisa menjawab kecuali derasnya air mataku ini....
Allahumma bariklana fiima rozaktana waqinaa adzaabannar....
Dari penggambaran guruku itu, aku ditunjukkan betapa kalau hanya soal rejeki itu melimpah melalui instrumen semesta, semua jadi uang--jadi duit. Aku saksikan sendiri dalam realitas kehidupan: ketika aku pulang pengajian dari Bojonegoro jam 4 pagi sampai Cepu, ada seorang perempuan menyeret barang-barang pakai gerobak sendirian, sementara jalan sepi dan orang-orang masih terlelap kecuali bakul-bakul pasar yang berangkat menyongsong pembeli dengan hasrat fajar jiwanya.
Begitu sampai di emperan toko perempuan tua itu sendirian membongkar barang berwujud meja kecil terbuat dari kayu-kayu sederhana, tiga tungku, tiga lepek, sebongkah arang dalam plastik, adonan santan dan tepung beras, sewakul ketan sudah matang, beberapa kupasan kelapa muda, lembaran dau-daun pisang untuk bungkus, plastik kresek hitam--semua dipersiapkan sedemikian rupa--kala menyongsong subuh itu, yang tentu dipersiapkan di rumahnya dini hari kala banyak manusia mengeja mimpi-mimpi.
Usai subuhan datanglah Ibu tua itu dengan seorang anaknya perempuan yang masih gadis--tentu tidak sama dengan gadis2 yang hanya berpangku tangan--mengelar dan memethik wewangian karunia Allah yang namanya uang atau duit itu. Anak gadis itu menyalakan arang dan mengipasinya, lalu menuangkan adonan santan dan tepung itu, dan jadilah serabi yang menyengat wangi gosongnya itu, sungguh amat wangi.
Sementara Ibunya menyongsong srabi di meja yang dilambari daun pisang itu dengan parutan kelapa muda. Aku mewancarainya sambil memesan sepuluh bungkus untuk anak-anakku yang aku ajak keliling, transit di tempat Kiai Lilik Cepu--seorang Abul yatama--sukanya merawat anak yatim. Ternyata hanya setia berjualan srabi selama 25 tahun ini bisa membesarkan anak tiga, termasuk yang gadis itu, Keuntungan bersih setiap pagi bisa lima puluh ribu rupiyah, dan itu disyukuri habis-habisan, Alhamdulillah--desisnya sambil tersenyum.
Sambil berjalan pagi aku tenteng sepuluh bungkus srabi, karena mobil aku suruh duluan sejak aku menyaksikan drama cinta ini, aku terseret oleh keluasan karunia, dan kerelaan atas kesahajaan kehidupan. Andai saja penduduk negri ini memiliki kemegahan hati kayak Ibu dan anaknya ini, tentu kehidupan akan sangat terasa indah adanya. Terbayang olehku akan penjual nasi kucing yang rata-rata masih muda, terbayang olehku akan penjual siomay yang anak-anak muda imut itu, terbayang olehku akan kemandirian-kemandirian menyongsong wanginya rejeki melewati pertarungan nan pasrah ini, terbayang olehklu akan keterjagaan bakul-bakul yang membayar dengan Cinta, sementara pembeli menghargainya dengan hanya duit, lembaran-lembaran kertas itu, terbayang olehku akan petani-petani yang bergelepotan lumpur di sawah dan malamnya masih menyediakan waktu untuk mengaji sampai larut malam....
Kawan-kawan, diam-diam mataku meleleh airnya, aku menangis bahagia pagi kemarin bukan oleh gema wirid dan shalawat, tetapi aku menangis bahagia oleh gema Cinta yang genderangnya dibayar dengan seluruh dirinya itu, dan ketika aku sampai di transit, srabi yang dimasak dengan Cinta itu disongsong anak-anakku dengan harapan yang penuh, begitu lahap makan mereka makannya seperti hasrat Ibu dan anak yang membikinnya itu, aku tersimpuh di depan anak-anakku, dan mereka ada yang menanyakan kenapa Abah menangis, aku tak bisa menjawab kecuali derasnya air mataku ini....
Allahumma bariklana fiima rozaktana waqinaa adzaabannar....
Dolly Cinta
Sedulurku tercinta, aku pernah diprotes oleh guru salah satu SMA di Semarang ketika menyampaikan sebuah kisah seorang pelacur yang diampuni dosanya dan dimasukkan ke surga hanya sebab pelacur itu memberi minum seekor anjing yang kehausan di gurun sahara. Maka dengan kerendahan hati aku menyatakan bahwa itu bukan kata-kataku, tetapi kata suci dari lidah suci Kanjeng Nabi Muhammad saw, dimana beliau memberikan kabar akan keluasan dan kebesaran rahmat atau cinta Allah kepada hamba-hambaNya yang mau melakukan kebaikan walau sekecil dan sesederhana itu. Bahkan andai hamba itu melakukan kesalahan--menurut peraturan--harus memperoleh hukuman yang semestinya, tetapi ketahuilah bahwa Cinta Allah itu mengalahkan marahnya, sehingga sedemikian suci CintaNya sampai sebanyak pasir di pantai itu dosa, akan diampuniNya manakala hamba itu bertaubat kepadaNya.
Kalau toh ternyata hamba itu masih melakukan dosa kecil atau besar, sebenarnya itu proses aku mencari Aku dalam dirinya melalui lorong-lorong waktu yang setiap orang harap memahami dan memakluminya. Bukankah kejahatan atau keburukan itu hakekatnya adalah kebaikan atau cahaya yang belum terkuak kedoknya. Terkuak kedoknya ini melalui dua cara: ada yang bersumber atas hasrat di dada dan ada yang berasal dari Tuhan menyapa dengan membayar derita sebagai kafaratnya.
Dan Rendra pun menulis puisi: terhadap penjahat yang paling laknat pun pandanglah dari jendela hati yang bersih. Dan jangan kaget, sedekah sebiji kurma pun Kanjeng Nabi saw mengabarkan bisa merubah neraka menjadi surga, begitulah rahmat Allah tak bertepi, bukan sebagai mana manusia--sudah tidak mengatasi dan mengentaskan--tapi malah melaknati dan menghakimi serta memperolok-olok sedulur semanusia yang dalam proses mencari Aku dalam dirinya itu--atau Tuhan bermahkota di hatinya.
Malam ini aku diizinkan oleh Allah merekam kebaikan orang-orang Dolly, mereka libur semalam karena mengadakan pengajian rejeban bekerja sama dengan teman-teman Bang-Bang Wetan, hadir semua elemen masyarakat Dolly--konon tempat pelacuran terbesar Asia--bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng, ribuan pengunjungnya.
Kesaksianku malam ini seperti tidak ada keburukan di Dolly, karena aku tidak mau melihat keburukan orang lain, yang aku lihat adalah semua penghuni Dolly bersimpuh menyerah hatinya, larut dalam celupan cahaya--yang lapan2--akan dirangkul itu cahaya dalam pertaubatan kepadaNya. Ada yang membaca ayat-ayat Suci Al-Qur'an dengan indah, tartil dan merdu disertai koor istighfar yang menyayat hati.
Mereka berbalut jilbab yang sangat anggun, walau itu membalut derita yang menggetarkan hatinya: karena tidak ada wanita yang bercita-cita menjadi pelacur, tidak ada gadis yang berdebar hatinya membayangkan alangkah indahnya menjadi tuna susila, tidak ada tubuh fisiknya yang sintal sepanjang masa--mereka seperti kita akan disongsong oleh kematian setelah tubuh ini aus, keriput, melorot pantatnya, tua bangka.
Malam ini mereka diajak untuk memiliki pengetahuan akan masa depan dirinya, setelah terbukti bahwa pemerintah pun tak bertanggung jawab kepada mereka sebagai warga negara, ormas agama pun tak mengentaskannya, parpol pun tak membebaskannya, mereka yatim dalam kehidupan bernegara, mereka menangis dalam sunyi--menjerit di kedalaman hati.
Aku tertunduk malu, kesalahan sepenuhnya tidak hanya pada mereka, namun juga pada diriku sendiri karena tak peduli itu. Ketika aku diminta Cak Nun memberi sepatah kata--aku tak sanggup--pada akhirnya aku persilahkan anakku Syahiq menyuguhkan sebuah lagu dari Michel Jackson diiringi Kiai Kanjeng: Yoa are not aloon, kamu tidak sendiri.
Maknanya, dalam puncak derita kalau hamba ini menggesa: Wahai Ya Allah, maka Dia menjawab: Wahai hambaKu, Akulah Allahmu. Hal ini aku hadiahkan kepada mereka semua, sebagai petikan hikmah dari Rejeban, saat Kanjeng Nabi saw sendiri setelah kematian istri dan pamannya dalam tahun yang sama--sebagai tahun duka cita itu....
Kawan-kawan, setelah usai acara dini hari Cak Nun dan Kiai Kanjeng pulang ke Jogja, aku menemani panitianya, ternyata disitu ada sebuah pesantren Jauharatul Hikmah yang dikelola oleh anak-anak muda, Kiai-kiai muda. Pesantren kecil ini dulunya adalah wisma Dolly yang mereka rubah menjadi tempat mengaji bagi anak-anak warga Dolly, merubah tanpa pertumpahan darah, merubah dengan Cinta.
Dan momen ini aku tulis di tempat temanku Kaji Haris bersama Kang Rudd Blora, untukmu kawan-kawan, teriring do'a: semoga jeritan sunyi penghuni Dolly menjadikan Allah dan RasulNya tak tega lalu mengentaskannya.... Amin...
Kalau toh ternyata hamba itu masih melakukan dosa kecil atau besar, sebenarnya itu proses aku mencari Aku dalam dirinya melalui lorong-lorong waktu yang setiap orang harap memahami dan memakluminya. Bukankah kejahatan atau keburukan itu hakekatnya adalah kebaikan atau cahaya yang belum terkuak kedoknya. Terkuak kedoknya ini melalui dua cara: ada yang bersumber atas hasrat di dada dan ada yang berasal dari Tuhan menyapa dengan membayar derita sebagai kafaratnya.
Dan Rendra pun menulis puisi: terhadap penjahat yang paling laknat pun pandanglah dari jendela hati yang bersih. Dan jangan kaget, sedekah sebiji kurma pun Kanjeng Nabi saw mengabarkan bisa merubah neraka menjadi surga, begitulah rahmat Allah tak bertepi, bukan sebagai mana manusia--sudah tidak mengatasi dan mengentaskan--tapi malah melaknati dan menghakimi serta memperolok-olok sedulur semanusia yang dalam proses mencari Aku dalam dirinya itu--atau Tuhan bermahkota di hatinya.
Malam ini aku diizinkan oleh Allah merekam kebaikan orang-orang Dolly, mereka libur semalam karena mengadakan pengajian rejeban bekerja sama dengan teman-teman Bang-Bang Wetan, hadir semua elemen masyarakat Dolly--konon tempat pelacuran terbesar Asia--bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng, ribuan pengunjungnya.
Kesaksianku malam ini seperti tidak ada keburukan di Dolly, karena aku tidak mau melihat keburukan orang lain, yang aku lihat adalah semua penghuni Dolly bersimpuh menyerah hatinya, larut dalam celupan cahaya--yang lapan2--akan dirangkul itu cahaya dalam pertaubatan kepadaNya. Ada yang membaca ayat-ayat Suci Al-Qur'an dengan indah, tartil dan merdu disertai koor istighfar yang menyayat hati.
Mereka berbalut jilbab yang sangat anggun, walau itu membalut derita yang menggetarkan hatinya: karena tidak ada wanita yang bercita-cita menjadi pelacur, tidak ada gadis yang berdebar hatinya membayangkan alangkah indahnya menjadi tuna susila, tidak ada tubuh fisiknya yang sintal sepanjang masa--mereka seperti kita akan disongsong oleh kematian setelah tubuh ini aus, keriput, melorot pantatnya, tua bangka.
Malam ini mereka diajak untuk memiliki pengetahuan akan masa depan dirinya, setelah terbukti bahwa pemerintah pun tak bertanggung jawab kepada mereka sebagai warga negara, ormas agama pun tak mengentaskannya, parpol pun tak membebaskannya, mereka yatim dalam kehidupan bernegara, mereka menangis dalam sunyi--menjerit di kedalaman hati.
Aku tertunduk malu, kesalahan sepenuhnya tidak hanya pada mereka, namun juga pada diriku sendiri karena tak peduli itu. Ketika aku diminta Cak Nun memberi sepatah kata--aku tak sanggup--pada akhirnya aku persilahkan anakku Syahiq menyuguhkan sebuah lagu dari Michel Jackson diiringi Kiai Kanjeng: Yoa are not aloon, kamu tidak sendiri.
Maknanya, dalam puncak derita kalau hamba ini menggesa: Wahai Ya Allah, maka Dia menjawab: Wahai hambaKu, Akulah Allahmu. Hal ini aku hadiahkan kepada mereka semua, sebagai petikan hikmah dari Rejeban, saat Kanjeng Nabi saw sendiri setelah kematian istri dan pamannya dalam tahun yang sama--sebagai tahun duka cita itu....
Kawan-kawan, setelah usai acara dini hari Cak Nun dan Kiai Kanjeng pulang ke Jogja, aku menemani panitianya, ternyata disitu ada sebuah pesantren Jauharatul Hikmah yang dikelola oleh anak-anak muda, Kiai-kiai muda. Pesantren kecil ini dulunya adalah wisma Dolly yang mereka rubah menjadi tempat mengaji bagi anak-anak warga Dolly, merubah tanpa pertumpahan darah, merubah dengan Cinta.
Dan momen ini aku tulis di tempat temanku Kaji Haris bersama Kang Rudd Blora, untukmu kawan-kawan, teriring do'a: semoga jeritan sunyi penghuni Dolly menjadikan Allah dan RasulNya tak tega lalu mengentaskannya.... Amin...
Senyum Cinta
Sedulurku tercinta, sebenarnya aku ini amat sangat bodoh, cuma aku merasa punya dorongan dari dalam untuk menutupi kebodohan itu dengan cara membangun dan menyambung persaudaraan tanpa batas, maka aku tertuntun menuju agak tahu sedikit tentang sedikit hal, bukan tahu banyak tentang sedikit hal, apalagi tahu banyak tentang banyak hal—mukhal bagiku.
Demikian saja sudah aku syukuri habis-habisan, karena tahu sedikit tentang sedikit hal bagiku merupakan percikan cahaya—yang aku rangkul—lalu percikan cahaya itu menyeret diriku pada lapisan-lapisan cahaya yang tak bertepi ini, dari saudara-saudaraku itu—termasuk anda semua.
Misalnya, pada suatu senja—selepas Ashar—aku menyaksikan di antara anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah, yang sedang latihan menari. Ada di antara mereka, seorang anak yang benar atau salah dalam gerakan itu, selalu tersenyum—ya selalu tersenyum. Aku seketika terbayang kepada siapa saja yang pernah aku temui, memiliki senyum yang indah seperti itu, yang bersumber dari langit jiwa yang sama—senyum keikhlasan. Senyum kayak gitu yang Kanjeng Nabi saw menyatakan sebagai sedekah. Anak perempuan itu bernama Putti Kaya Hati Imanni, sebuah nama yang diijabahi oleh Allah yang sepadan dengan keindahan senyuman itu.
Selayang pandang aku membayangkan bahwa di dada anak perempuan itu ada matahari hati bersinar, hingga menumbuhkan taman dalam wujud keindahan senyum itu—itulah senyum cinta. Sepantasnya senyum itu dimiliki oleh seorang Ibu, yang dipercaya oleh Tuhan atas titipanNya dalam wujud setia penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya, walau dalam keadaan suka maupun duka, menjadi sandaran kuat digelayuti jiwa-jiwa. Bukan saja anak-anak yang pernah dilahirkan melalui rahimnya, namun juga anak manusia yang menjadi suaminya itu.
Bukankah setua apapun lelaki itu hakekat jiwanya adalah anak-anak abadi? Tidak aneh manakala sembilan akal laki-laki, tidak mampu mengendalikan satu nafsu yang dimilikinya, sementara sembilan nafsu yang dimiliki oleh perempuan mampu dikendalikan dengan satu akal bagi perempuan, perempuan yang shalekhah tentu. Bagi perempuan yang tidak memiliki jiwa seperti Ibu, minimal rumah tangganya dihiasi bentrok ujungnya menunggu perceraian, hanya soal waktu saja.
Aku yakin—dengan do’a—anak dengan senyum indah itu kelak manakala punya suami, bila diajak bicara, suami itu pasti akan menggunakan dengan tutur kata yang indah, karena kata yang kotor dan jorok akan mencemari keindahan senyum itu. Manakala suaminya menyajak bergaul secara seksualitas, maka ia akan menggunakan akhlak sebaik-baiknya, karena sifat kebinatangan akan terbakar oleh senyum indah itu, dan senyum itu menyadarkan bahwa dirinya bukan seonggok daging saja, bukan. Kalau suaminya menyuruh-nyuruh—sebagai istri—pasti perintah itu akan disongsong sepenuh cinta dan hasrat yang menggelora—walau dibayar derita—asal suaminya itu tersenyum gembira. Kalau suaminya andai rewel dan nakal, maka akan ia pandang persis seperti memandang anak-anaknya, maka ia akan tegar dan megah, semua diterima sebagi kado dari Tuhan, yang pasti didalamnya berisi hadiah yang tak ternilai harganya, namanya Cinta itu, pasti. Pada ujungnya hanya kematian yang akan memisahkan, sebelumnya hanya akan dibayar dengan kesetiaan, ya kesetiaan.
Hari ini aku sekeluarga, setelah sejak dua hari yang lalu menjalankan Ziarah ke mBah Priuk lalu ke Habib Luar Batang kemudian subuhan di Masjid Kubah Emas beserta satu bus jama’ah Maiyah lingkungan pesantren—atau penghuni Rumah Cinta—terakhir silaturrahmi ke Kandang Jurang Doank. Rombongan ziarah sudah sampai rumah dengan selamat pagi ini, tinggal aku sekeluarga diizinkan oleh Allah untuk masih di KJD ini.
Kandang Jurang Doank adalah wahana kreatifitas yang disebut Cak Nun merupakan kelembagaan memuat empat departemen dalam ranah negara: departemen agama, departemen pendidikan dan kebudayaan, departemen pariwisata dan departemen sosial. Tempat ini merupakan Rumah Cintaku yang ada di Jakarta, selamat datang bagi siapa saja, ke Kandang Jurang Doank.
Ternyata anak perempuan yang aku amati dengan abstraksi seperti di atas adalah anak ketiga dari Raden Rizky Mulyawan Kertanegara Hayang Denda Kusuma, orang mengenal Dick Doank. Anak yang pertama, Ratta Billa Baggi, yang kedua Geddi Jaddi Membumi, yang ketiga tentu yang punya senyum yang indah itu, semua ini keluar dari rahim seorang Ibu bernama Myrna Yuanita, istrinya Dick Doank atau Om Gantheng itu.
Perempuan ini, saat Ibunya Om Dick meninggal selang tiga harinya aku mahkotai dengan kerudung sutra milik istriku—yang juga punya senyum yang sama—sebagai rasa syukur atas bayang-bayang Tuhan ini. Hari ini dia ulang tahun ke-42 dan aku hadiahi catatan di facebookku ini, sebagai larut hatiku sekeluarga atas syukur tiada tanya Om Dick punya istri bernama Myrna Yuanita ini, catatan Cinta....
Kawan-kawan, sapalah dia di facebook ini biar menjadi saudara, teriring do’aku kepadamu semua semoga Allah menganugerahimu anak-anak yang punya senyum indah itu yang dilahirkan dari Ibu yang punya senyum indah juga, hati orang tua bernyanyi pada anak-anaknya, salam buat istrimu semua, salam calon istrimu semua kawan-kawan....
Selamat Ultah mBak Ayu Myrna Yuanita....
Demikian saja sudah aku syukuri habis-habisan, karena tahu sedikit tentang sedikit hal bagiku merupakan percikan cahaya—yang aku rangkul—lalu percikan cahaya itu menyeret diriku pada lapisan-lapisan cahaya yang tak bertepi ini, dari saudara-saudaraku itu—termasuk anda semua.
Misalnya, pada suatu senja—selepas Ashar—aku menyaksikan di antara anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah, yang sedang latihan menari. Ada di antara mereka, seorang anak yang benar atau salah dalam gerakan itu, selalu tersenyum—ya selalu tersenyum. Aku seketika terbayang kepada siapa saja yang pernah aku temui, memiliki senyum yang indah seperti itu, yang bersumber dari langit jiwa yang sama—senyum keikhlasan. Senyum kayak gitu yang Kanjeng Nabi saw menyatakan sebagai sedekah. Anak perempuan itu bernama Putti Kaya Hati Imanni, sebuah nama yang diijabahi oleh Allah yang sepadan dengan keindahan senyuman itu.
Selayang pandang aku membayangkan bahwa di dada anak perempuan itu ada matahari hati bersinar, hingga menumbuhkan taman dalam wujud keindahan senyum itu—itulah senyum cinta. Sepantasnya senyum itu dimiliki oleh seorang Ibu, yang dipercaya oleh Tuhan atas titipanNya dalam wujud setia penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya, walau dalam keadaan suka maupun duka, menjadi sandaran kuat digelayuti jiwa-jiwa. Bukan saja anak-anak yang pernah dilahirkan melalui rahimnya, namun juga anak manusia yang menjadi suaminya itu.
Bukankah setua apapun lelaki itu hakekat jiwanya adalah anak-anak abadi? Tidak aneh manakala sembilan akal laki-laki, tidak mampu mengendalikan satu nafsu yang dimilikinya, sementara sembilan nafsu yang dimiliki oleh perempuan mampu dikendalikan dengan satu akal bagi perempuan, perempuan yang shalekhah tentu. Bagi perempuan yang tidak memiliki jiwa seperti Ibu, minimal rumah tangganya dihiasi bentrok ujungnya menunggu perceraian, hanya soal waktu saja.
Aku yakin—dengan do’a—anak dengan senyum indah itu kelak manakala punya suami, bila diajak bicara, suami itu pasti akan menggunakan dengan tutur kata yang indah, karena kata yang kotor dan jorok akan mencemari keindahan senyum itu. Manakala suaminya menyajak bergaul secara seksualitas, maka ia akan menggunakan akhlak sebaik-baiknya, karena sifat kebinatangan akan terbakar oleh senyum indah itu, dan senyum itu menyadarkan bahwa dirinya bukan seonggok daging saja, bukan. Kalau suaminya menyuruh-nyuruh—sebagai istri—pasti perintah itu akan disongsong sepenuh cinta dan hasrat yang menggelora—walau dibayar derita—asal suaminya itu tersenyum gembira. Kalau suaminya andai rewel dan nakal, maka akan ia pandang persis seperti memandang anak-anaknya, maka ia akan tegar dan megah, semua diterima sebagi kado dari Tuhan, yang pasti didalamnya berisi hadiah yang tak ternilai harganya, namanya Cinta itu, pasti. Pada ujungnya hanya kematian yang akan memisahkan, sebelumnya hanya akan dibayar dengan kesetiaan, ya kesetiaan.
Hari ini aku sekeluarga, setelah sejak dua hari yang lalu menjalankan Ziarah ke mBah Priuk lalu ke Habib Luar Batang kemudian subuhan di Masjid Kubah Emas beserta satu bus jama’ah Maiyah lingkungan pesantren—atau penghuni Rumah Cinta—terakhir silaturrahmi ke Kandang Jurang Doank. Rombongan ziarah sudah sampai rumah dengan selamat pagi ini, tinggal aku sekeluarga diizinkan oleh Allah untuk masih di KJD ini.
Kandang Jurang Doank adalah wahana kreatifitas yang disebut Cak Nun merupakan kelembagaan memuat empat departemen dalam ranah negara: departemen agama, departemen pendidikan dan kebudayaan, departemen pariwisata dan departemen sosial. Tempat ini merupakan Rumah Cintaku yang ada di Jakarta, selamat datang bagi siapa saja, ke Kandang Jurang Doank.
Ternyata anak perempuan yang aku amati dengan abstraksi seperti di atas adalah anak ketiga dari Raden Rizky Mulyawan Kertanegara Hayang Denda Kusuma, orang mengenal Dick Doank. Anak yang pertama, Ratta Billa Baggi, yang kedua Geddi Jaddi Membumi, yang ketiga tentu yang punya senyum yang indah itu, semua ini keluar dari rahim seorang Ibu bernama Myrna Yuanita, istrinya Dick Doank atau Om Gantheng itu.
Perempuan ini, saat Ibunya Om Dick meninggal selang tiga harinya aku mahkotai dengan kerudung sutra milik istriku—yang juga punya senyum yang sama—sebagai rasa syukur atas bayang-bayang Tuhan ini. Hari ini dia ulang tahun ke-42 dan aku hadiahi catatan di facebookku ini, sebagai larut hatiku sekeluarga atas syukur tiada tanya Om Dick punya istri bernama Myrna Yuanita ini, catatan Cinta....
Kawan-kawan, sapalah dia di facebook ini biar menjadi saudara, teriring do’aku kepadamu semua semoga Allah menganugerahimu anak-anak yang punya senyum indah itu yang dilahirkan dari Ibu yang punya senyum indah juga, hati orang tua bernyanyi pada anak-anaknya, salam buat istrimu semua, salam calon istrimu semua kawan-kawan....
Selamat Ultah mBak Ayu Myrna Yuanita....
Sedekah Cinta
Sedulurku tercinta, setiap perkara yang menurut aturan itu baik, maka perkara itu bernilai sedekah, atau pemberian yang tanpa berharap akan timbal baliknya--bahasa lainnya ikhlas. Keikhlasan ini akan memberi tenaga tak bertepi bagai keikhlasan sebuah pohon, ia hanya berbuah melulu tanpa peduli lagi siapa yang akan memetiknya, ia memiliki cinta tanpa batas.
Memberi karena sebab diminta itu baik, tetapi memberi bukan karena diminta itu akan lebih baik, tentu. Ada kebahagiaan pada si pemberi dan pasti ada kebahagiaan yang menerima. Drama agung ini tentu ditepuk tangani para malaikat dengan gemuruh, disaksikan dengan senyuman para kekasih Allah dan Allah sendiri pasti tersenyum--senyum Cinta.
Cinta yang dilaksanakan ini bersumber dari Sang Pemilik Cinta, kalaulah pelaku itu memiliki apa yang disebut agama, pasti agamanya adalah agama Cinta. Ia malu mengambil dan malu kalau tidak memberi, karena dalam hatinya ada gudang kekayaan yang tak terhitung dan tak ternilai harga dan jumlahnya, dan itu terselip disetiap dada manusia yang bernama Cinta itu.
Kalau orang ingin merasakan maka tidak jalan lain kecuali masuk di dalamnya dengan resiko berani menanggung derita dalam keasyikan pelayanan kepada sesama itu. Andai itu berwujud benih maka benih itu akan disebarkannya, maka akan tumbuh lingkungan yang akan membawa suasana dalam sebuah taman, ada keragaman pohon dan keragaman buah-buahan yang menjadi persembahan semesta alam dengan segar, lezat dan halal.
Kalau andai itu bunga maka akan semerbak bau wewangian yang akan tergeraklah kupu-kupu hinggap mencercap manisan, tergeraklah lebah datang menghisap madu sebagai obat kehidupan, bunga memang layu setelah itu tetapi akan lahir buah kehidupan. Andai tergerak burung datang mematuk bebuahan maka akan tersisa terakhir dalam perutnya, lalu benih itu lewat burung terbang akan disebarkan ke segenap penjuru alam, maka taman akan semakin meluas menjadi suasana surga yang diturunkan di bumi ini.
Dengan isyarat ini makanya Kanjeng Nabi mengajarkan tentang Cinta nan agung ini bisa dipentaskan dalam kehidupan nyata, lihatlah: senyum ketemu saudara itu sedekah, memberi minum yang kehausan itu sedekah, memberi makan yang kelaparan itu sedekah, menasehati yang sedang kesusahan itu sedekah, memberikan sebiji kurma itu sedekah, memberi minum seekor anjing yang kehausan itu sedekah, menghormati tamu itu sedekah, menghargai tetangga itu sedekah, silaturahmi itu sedekah, diam tafakkur--tidak lholak-lholok--itu sedekah, omong yang baik itu sedekah, menjawab salam itu sedekah, menjenguk yang sakit itu sedekah, mendo'akan yang bersin itu sedekah, mendatangi undangan kawan dan saudara itu sedekah, memerintah yang baik dan mencegah yang tidak baik itu sedekah, bekerja keras untuk menyuapi sanak keluarganya itu sedekah, sayang kepada yang muda itu sedekah, hormat kepada yan g tua itu sedekah, menyambungkan yang putus hubungan itu sedekah, menyapa orang yang mendiamkannya itu sedekah, memberi kepada orang yang membakhilinya itu sedekah, memaafkan orang yang mendholiminya itu sedekah, mencuci pakaian keluarga itu sedekah, memasakkan sanak keluarga itu sedekah, menyiram bunga yang kekeringan itu sedekah, merelakan tanamannya dimakan hewan itu sedekah, merelakan sebagian kecil pertaniannya dimakan burung-burung atau dimakan tikus itu sedekah, mencium istri dengan sepenuh hati itu sedekah, merawat anak yatim itu sedekah, membantu fakir miskin itu sedekah, memandikan jenazah itu sedekah, mengantarkan sampai ke kubur itu sedekah, menyingkirkan duri dari jalan itu sedekah, membaca tasbih tahmid takbir dan tahlil itu sedekah, membaca kalam suci itu sedekah, sembahyang itu sedekah, membaca shalawat itu sedekah....
Kawan-kawan, teruskanlah wewangian ini dalam tindakan, pasti akan harum di kalbu kehidupan, dan inilah yang menjadi pesta pora kegembiraan yang memabukkan, tanpa kenal lelah, tanpa kenal ruang dan waktu, teruskan kawan dalam gempita kesejahteraan, jangan takut, Dia memberimu tenaga baru, saat orang lain ambuk dalam ketakberdayaan....Hap!
Memberi karena sebab diminta itu baik, tetapi memberi bukan karena diminta itu akan lebih baik, tentu. Ada kebahagiaan pada si pemberi dan pasti ada kebahagiaan yang menerima. Drama agung ini tentu ditepuk tangani para malaikat dengan gemuruh, disaksikan dengan senyuman para kekasih Allah dan Allah sendiri pasti tersenyum--senyum Cinta.
Cinta yang dilaksanakan ini bersumber dari Sang Pemilik Cinta, kalaulah pelaku itu memiliki apa yang disebut agama, pasti agamanya adalah agama Cinta. Ia malu mengambil dan malu kalau tidak memberi, karena dalam hatinya ada gudang kekayaan yang tak terhitung dan tak ternilai harga dan jumlahnya, dan itu terselip disetiap dada manusia yang bernama Cinta itu.
Kalau orang ingin merasakan maka tidak jalan lain kecuali masuk di dalamnya dengan resiko berani menanggung derita dalam keasyikan pelayanan kepada sesama itu. Andai itu berwujud benih maka benih itu akan disebarkannya, maka akan tumbuh lingkungan yang akan membawa suasana dalam sebuah taman, ada keragaman pohon dan keragaman buah-buahan yang menjadi persembahan semesta alam dengan segar, lezat dan halal.
Kalau andai itu bunga maka akan semerbak bau wewangian yang akan tergeraklah kupu-kupu hinggap mencercap manisan, tergeraklah lebah datang menghisap madu sebagai obat kehidupan, bunga memang layu setelah itu tetapi akan lahir buah kehidupan. Andai tergerak burung datang mematuk bebuahan maka akan tersisa terakhir dalam perutnya, lalu benih itu lewat burung terbang akan disebarkan ke segenap penjuru alam, maka taman akan semakin meluas menjadi suasana surga yang diturunkan di bumi ini.
Dengan isyarat ini makanya Kanjeng Nabi mengajarkan tentang Cinta nan agung ini bisa dipentaskan dalam kehidupan nyata, lihatlah: senyum ketemu saudara itu sedekah, memberi minum yang kehausan itu sedekah, memberi makan yang kelaparan itu sedekah, menasehati yang sedang kesusahan itu sedekah, memberikan sebiji kurma itu sedekah, memberi minum seekor anjing yang kehausan itu sedekah, menghormati tamu itu sedekah, menghargai tetangga itu sedekah, silaturahmi itu sedekah, diam tafakkur--tidak lholak-lholok--itu sedekah, omong yang baik itu sedekah, menjawab salam itu sedekah, menjenguk yang sakit itu sedekah, mendo'akan yang bersin itu sedekah, mendatangi undangan kawan dan saudara itu sedekah, memerintah yang baik dan mencegah yang tidak baik itu sedekah, bekerja keras untuk menyuapi sanak keluarganya itu sedekah, sayang kepada yang muda itu sedekah, hormat kepada yan g tua itu sedekah, menyambungkan yang putus hubungan itu sedekah, menyapa orang yang mendiamkannya itu sedekah, memberi kepada orang yang membakhilinya itu sedekah, memaafkan orang yang mendholiminya itu sedekah, mencuci pakaian keluarga itu sedekah, memasakkan sanak keluarga itu sedekah, menyiram bunga yang kekeringan itu sedekah, merelakan tanamannya dimakan hewan itu sedekah, merelakan sebagian kecil pertaniannya dimakan burung-burung atau dimakan tikus itu sedekah, mencium istri dengan sepenuh hati itu sedekah, merawat anak yatim itu sedekah, membantu fakir miskin itu sedekah, memandikan jenazah itu sedekah, mengantarkan sampai ke kubur itu sedekah, menyingkirkan duri dari jalan itu sedekah, membaca tasbih tahmid takbir dan tahlil itu sedekah, membaca kalam suci itu sedekah, sembahyang itu sedekah, membaca shalawat itu sedekah....
Kawan-kawan, teruskanlah wewangian ini dalam tindakan, pasti akan harum di kalbu kehidupan, dan inilah yang menjadi pesta pora kegembiraan yang memabukkan, tanpa kenal lelah, tanpa kenal ruang dan waktu, teruskan kawan dalam gempita kesejahteraan, jangan takut, Dia memberimu tenaga baru, saat orang lain ambuk dalam ketakberdayaan....Hap!
Puncak Cinta
Sedulurku tercinta, dalam penggapaian kepada Dia yang tak bertepi ini, ada tantangan di atas langit masih ada langit, bahkan tantangan kepada jin dan manusia, manakala bisa melintasi cakrawala langit dan bumi, Tuhan mempersilakan--lintasilah--dan manusia tidak akan bisa melintasi ini kecuali dengan kekuatan.
Kesadaran manusia akan keterpatahan sayap atas penggapaian itu menjadikan rumus: semakin manusia tahu maka ia semakin tidak tahu. Sehingga kebenaran mutlak hanya pada Dia, sementara kebenaran relatif berada pada diri manusia.
Misalnya masalah minum saja, kita ditanya oleh Al-Qur'an: kamukah yang menurunkan airnya dari langit ataukah Kami, Allah? Pertanyaan ini memakai hazah istifham taqriri, dimana Tuhan bertanya tetapi tidak membutuhkan jawabannya karena dalam hati manusia tahu kalau yangmenurunkan air hujan dari langit itu Dia. Kalau ini dijawab dengan akal, maka akan sedemikian panjang jawabannya, karena harus meniti sebab akibat yang ada.
Pengetahuan memberi tahu bahwa air hujan itu tadinya bermula dari matahari menyinari air laut, air laut itu menguap, maka di atas langit muncullah mega-mega itu, karena ketinggian tertentu dan terjadi perbedaan suhu maka mega itu lalu digiring angin pada tempat tertentu. Gambaran ini bagai tetesan air yang menempel pada gelas manakala ada perbedaan suhu antara yang di luar gelas dan di dalam gelas, maka terjadilah titik-titik kondensasi--titik-titik itulah yang namanya air hujan.
Kemudian akal melacak lagi: dari mana asal matahari itu? Kembali pengetahuan mengajarkan bahwa metahari itu asal muasalnnya adalah: ada gas yang meledak secara besar-besaran (teori big bang), dan ledakan dari gas itu lalu terpencarlah gugusan bintang-bintang--termasuk salah satunya adalah matahari itu.
Ketika sampai pada adanya gas, akal bertanya lagi: dari mana asal muasalnya gas dalam ledakan besar itu? Pengetahuan mengajarkan bahwa itu mata rantai yang belum ketemu, maknanya mereka mengatakan tidak tahu. Ini baru satu titik yang namanya air minum itu, belum pada sebanyak jantera alam semesta, dari yang kasar sampai yang lembut ini.
Inilah yang disebut jalan misteri yang dianjurkan oleh Rumi: peluklah misteri. Siapakah yang menumbuhkan pohon itu, siapakah yang menumbuhkan bayi di rahim Ibu itu, siapakah yang meninggikan gunung itu, siapakah yang menghamparkan bumi ini, siapakah yang memberi wangi pada bngaa-bunga itu, siapakah yang menciptakan matahari itu, siapakah yang menciptakan benda-benda langit yang tak terbatas ruang dan jumlahnya itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu?
Misteri ini telah melintasi zaman yang teramat panjang, orang sering menyebut misteri itu: Tuhan. Para Nabi dan Rasul mengabarkan bahwa itu semua dicipta oleh Allah. Allah pun merupakan yang ghaib itu, kembali kepada misteri lagi, kecuali dikenal dengan sifat-sifatNYa, sampai Kanjeng Nabi menyatakan: berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Dia.
Dalam penggapaian yang menyangkut sifat-sifat ini pun setelah, manusia mengamati isyarat-isyarat cinta itu, yang pada ujungnya kembali kepada Allah, Allah, Allah, Allah, Allah, Allah. Inilah puncak cinta itu, yang tidak diketemukan di mana-mana, ternyata kita temukan di dalam dada setiap manusia itu sendiri, atas cahayaNya, Dia berbagi.
Dengan demikian, ketika ada orng yang mengatakan bahwa dia tidak tahu, sebenarnya di dalam hatinya telah ia ketemukan sebuah jawaban yang teramat jelas nan panjang dalam banyak hal ini, tetapi karena tidak semua bisa diterangkan dengan bahasa tulisan, atau ungakapan bahasa kata. Hanya Dia, hanya Dia, hanya Dia, hanya Dia.
Kalau toh manusia menemukan dalam sudut hatinya--sebagai rumahNya itu--sebuah harta karun yang tak ternilai harganya, itulah Cinta. Sampai di sisni akal akan terbakar oleh api Cinta, bagi akal pahit tetapi bagi hati bisa manis, bagi akal jauh tetapi bagi hati dekat, bagi akal berat tetapi bagi hati ringan, bagi akal racun tetapi bagi hati madu, bagi akal tua tetapi bagi hati yang terbakar oleh Cinta, ia akan selalu merasa muda....
Kawan-kawan, itulah puncak Cinta, dimana di hatinya telah terhujam keindahan mutlak, selebihnya adalah pandangan keragaman yang tidak akan mencebak diri dalam keburukan dan kesalahan, semuanya indah, sungguh indah, sungguh....
Kesadaran manusia akan keterpatahan sayap atas penggapaian itu menjadikan rumus: semakin manusia tahu maka ia semakin tidak tahu. Sehingga kebenaran mutlak hanya pada Dia, sementara kebenaran relatif berada pada diri manusia.
Misalnya masalah minum saja, kita ditanya oleh Al-Qur'an: kamukah yang menurunkan airnya dari langit ataukah Kami, Allah? Pertanyaan ini memakai hazah istifham taqriri, dimana Tuhan bertanya tetapi tidak membutuhkan jawabannya karena dalam hati manusia tahu kalau yangmenurunkan air hujan dari langit itu Dia. Kalau ini dijawab dengan akal, maka akan sedemikian panjang jawabannya, karena harus meniti sebab akibat yang ada.
Pengetahuan memberi tahu bahwa air hujan itu tadinya bermula dari matahari menyinari air laut, air laut itu menguap, maka di atas langit muncullah mega-mega itu, karena ketinggian tertentu dan terjadi perbedaan suhu maka mega itu lalu digiring angin pada tempat tertentu. Gambaran ini bagai tetesan air yang menempel pada gelas manakala ada perbedaan suhu antara yang di luar gelas dan di dalam gelas, maka terjadilah titik-titik kondensasi--titik-titik itulah yang namanya air hujan.
Kemudian akal melacak lagi: dari mana asal matahari itu? Kembali pengetahuan mengajarkan bahwa metahari itu asal muasalnnya adalah: ada gas yang meledak secara besar-besaran (teori big bang), dan ledakan dari gas itu lalu terpencarlah gugusan bintang-bintang--termasuk salah satunya adalah matahari itu.
Ketika sampai pada adanya gas, akal bertanya lagi: dari mana asal muasalnya gas dalam ledakan besar itu? Pengetahuan mengajarkan bahwa itu mata rantai yang belum ketemu, maknanya mereka mengatakan tidak tahu. Ini baru satu titik yang namanya air minum itu, belum pada sebanyak jantera alam semesta, dari yang kasar sampai yang lembut ini.
Inilah yang disebut jalan misteri yang dianjurkan oleh Rumi: peluklah misteri. Siapakah yang menumbuhkan pohon itu, siapakah yang menumbuhkan bayi di rahim Ibu itu, siapakah yang meninggikan gunung itu, siapakah yang menghamparkan bumi ini, siapakah yang memberi wangi pada bngaa-bunga itu, siapakah yang menciptakan matahari itu, siapakah yang menciptakan benda-benda langit yang tak terbatas ruang dan jumlahnya itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu, siapakah itu?
Misteri ini telah melintasi zaman yang teramat panjang, orang sering menyebut misteri itu: Tuhan. Para Nabi dan Rasul mengabarkan bahwa itu semua dicipta oleh Allah. Allah pun merupakan yang ghaib itu, kembali kepada misteri lagi, kecuali dikenal dengan sifat-sifatNYa, sampai Kanjeng Nabi menyatakan: berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Dia.
Dalam penggapaian yang menyangkut sifat-sifat ini pun setelah, manusia mengamati isyarat-isyarat cinta itu, yang pada ujungnya kembali kepada Allah, Allah, Allah, Allah, Allah, Allah. Inilah puncak cinta itu, yang tidak diketemukan di mana-mana, ternyata kita temukan di dalam dada setiap manusia itu sendiri, atas cahayaNya, Dia berbagi.
Dengan demikian, ketika ada orng yang mengatakan bahwa dia tidak tahu, sebenarnya di dalam hatinya telah ia ketemukan sebuah jawaban yang teramat jelas nan panjang dalam banyak hal ini, tetapi karena tidak semua bisa diterangkan dengan bahasa tulisan, atau ungakapan bahasa kata. Hanya Dia, hanya Dia, hanya Dia, hanya Dia.
Kalau toh manusia menemukan dalam sudut hatinya--sebagai rumahNya itu--sebuah harta karun yang tak ternilai harganya, itulah Cinta. Sampai di sisni akal akan terbakar oleh api Cinta, bagi akal pahit tetapi bagi hati bisa manis, bagi akal jauh tetapi bagi hati dekat, bagi akal berat tetapi bagi hati ringan, bagi akal racun tetapi bagi hati madu, bagi akal tua tetapi bagi hati yang terbakar oleh Cinta, ia akan selalu merasa muda....
Kawan-kawan, itulah puncak Cinta, dimana di hatinya telah terhujam keindahan mutlak, selebihnya adalah pandangan keragaman yang tidak akan mencebak diri dalam keburukan dan kesalahan, semuanya indah, sungguh indah, sungguh....
Selasa, 27 Juli 2010
Gembira Cinta
Sedulurku tercinta, sebagaimana pernah aku katakan kepada istriku: lihatlah aku tetapi jangan tanyakan tentangku, aku meniti lorong waktu ini bagian dari keterasingan dan pembuangan untuk kembali ke rumah surgawi--sebuah pembuangan spiritual--karena berpisah dengan samudra Cinta, bagai ikan di samudra yang dientaskan ke daratan, menggelepar-lepar diriku bersamamu semua kawan dan teman.
Dunia ini bagiku pembuangan yang nyata, yang disebut Kanjeng Nabi SAW: kepasrahan (Islam) mulai sebagai asing dan akan berakhir sebagai asing pula--lalu disimpulkan--dan berbahagialah mereka yang menganggap dirinya asing.
Aku yakin kondisi ini dimiliki oleh semua orang yang merasa dirinya berada dalam pembuangan di dunia ini. Bisa saja suasana hati itu dialami setiap warga negara yang merasa dirinya dalam pembuangan dari tanah kelahiran mereka sebab pemerintahan yang tidak peduli kepada nasibnya, atau seorang istri yang diremehkan suaminya, atau seorang karyawan yang direndahkan pimpinannya, atau seorang suami yang disia-siakan istrinya, atau seorang anak yang ditelantarkan orang tuanya, atau seorang murid yang diusir gurunya, atau, atau, atau, atau.
Bagiku bukan saja seperti itu, tetapi menanjak kepada pembuangan spiritual ini sehingga meneteskan nyerinya rindu untuk mencercap kembali percikannya percikan dari tetesan samudra Cinta itu, tergerak oleh seruan Sang Ruh yang misteri ini.
Ketergerakan ini--dalam bahasaku keterseretan--menjadi tenaga tak terhingga dalam mencari Dia semata. Bagi kawan-kawan dan saudara semanusia, manakala mengejar dan memuaskan diri dengan kurnia apa saja, atau puas dengan mengejar sifat-sifat--sebagai pengganti DzatNya--aku relakan sedemikian rupa karena apa saja yang ada ini bagiku adalah isyarat Cinta, yang pada akhirnya akan kembali ke samudra Cinta itu lagi.
Maafkan aku kawan, aku ini seolah-olah telah menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatiku, dan dalam harta karun ini telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai harganya, yang bernama Cinta. Selain ini, kalau aku kau pandang memiliki apa-apa --dan kau inginkan--ambillah dan aku tidak akan merasa kehilangan, karena aku tidak merasa memiliki apa-apa. Dan bila ada yang melihat aib-aibku, lalu ada yang ingin menyiarkannya untuk supremasi dirinya, aku relakan sedemikian rupa karena aku bukan siapa-siapa.
Ringkasnya, aku matikan saja diriku--anggaplah tidak ada sebagaimana diriku merasakannya--agar Dia hidup menari-nari di rumahNya ini, toh ujungnya Dia menghidupkan yang mati. Tangisan Kanjeng Nabi saw di perang Badar itu, cukup mewakili jeritanku: Ya Allah, seberat apa pun tanggungan ini Engkau bebankan, akan aku kuat-kuatkan ya Allah, asal Engkau tidak duko (marah) padaku.
Aku tidak berani menyatakan sejauh keintiman kepadaNya, atau merasa bisa dekat denganNya, atau merasa bisa memandangNya, atau merasa kenal denganNya, sebab aku merasa mengenal diriku sendiri membutuhkan kehabisan umurku untuk sampai. Termasuk aku tidak berani mengumumkan mimpi ketemu kekasihNya itu, atau merasa bisa gondelan bajunya beliau itu, atau merasa melampaui salafushshaleh yang yang telah memercikkan cahayaNya melewati mata rantai yang suci ini, sampai padaku, karena aku merasa malu akan silaunya cahaya di mataku yang lemah ini, dan hinanya akhlakku yang tak sembuh-sembuh ini.
Banyak peristiwa dalam goresan hidupku yang aku nikmati sedemikian manis, goresan itu aku prasangkai bagai kado penganten hidupku, ternyata ketika aku buka bungkusnya, berisi sekuntum bunga teratai yang mengelopak, yang bermahkotakan seribu bunga. Jadinya, ketika ada orang menyingkirkanku--siapa pun itu--maka aku relakan sedemikian rupa agar mereka puas, mereka bisa tersenyum atas terpenuhinya keinginan itu. Toh sudah aku sadari sepenuhnya, kehadiran di dunia ini adalah sebuah pembuangan, yang melahirkan kenyerian rindu yang menggetarkan dan mengguncang hati ini....
Kawan-kawan, aku tidak punya derita kecuali derita nyeri rindu kepadaNya, aku tidak punya perlindungan kecuali perlindungan dalam diriNya, dengan ini aku merasa bahagia, aku sangat berbahagia, karena duka dan derita yang datang dari Kekasih, melahirkan keterjagaan hati, penderitaan yang meneteskan anggur kemabukan, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka....!!!!
Dunia ini bagiku pembuangan yang nyata, yang disebut Kanjeng Nabi SAW: kepasrahan (Islam) mulai sebagai asing dan akan berakhir sebagai asing pula--lalu disimpulkan--dan berbahagialah mereka yang menganggap dirinya asing.
Aku yakin kondisi ini dimiliki oleh semua orang yang merasa dirinya berada dalam pembuangan di dunia ini. Bisa saja suasana hati itu dialami setiap warga negara yang merasa dirinya dalam pembuangan dari tanah kelahiran mereka sebab pemerintahan yang tidak peduli kepada nasibnya, atau seorang istri yang diremehkan suaminya, atau seorang karyawan yang direndahkan pimpinannya, atau seorang suami yang disia-siakan istrinya, atau seorang anak yang ditelantarkan orang tuanya, atau seorang murid yang diusir gurunya, atau, atau, atau, atau.
Bagiku bukan saja seperti itu, tetapi menanjak kepada pembuangan spiritual ini sehingga meneteskan nyerinya rindu untuk mencercap kembali percikannya percikan dari tetesan samudra Cinta itu, tergerak oleh seruan Sang Ruh yang misteri ini.
Ketergerakan ini--dalam bahasaku keterseretan--menjadi tenaga tak terhingga dalam mencari Dia semata. Bagi kawan-kawan dan saudara semanusia, manakala mengejar dan memuaskan diri dengan kurnia apa saja, atau puas dengan mengejar sifat-sifat--sebagai pengganti DzatNya--aku relakan sedemikian rupa karena apa saja yang ada ini bagiku adalah isyarat Cinta, yang pada akhirnya akan kembali ke samudra Cinta itu lagi.
Maafkan aku kawan, aku ini seolah-olah telah menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatiku, dan dalam harta karun ini telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai harganya, yang bernama Cinta. Selain ini, kalau aku kau pandang memiliki apa-apa --dan kau inginkan--ambillah dan aku tidak akan merasa kehilangan, karena aku tidak merasa memiliki apa-apa. Dan bila ada yang melihat aib-aibku, lalu ada yang ingin menyiarkannya untuk supremasi dirinya, aku relakan sedemikian rupa karena aku bukan siapa-siapa.
Ringkasnya, aku matikan saja diriku--anggaplah tidak ada sebagaimana diriku merasakannya--agar Dia hidup menari-nari di rumahNya ini, toh ujungnya Dia menghidupkan yang mati. Tangisan Kanjeng Nabi saw di perang Badar itu, cukup mewakili jeritanku: Ya Allah, seberat apa pun tanggungan ini Engkau bebankan, akan aku kuat-kuatkan ya Allah, asal Engkau tidak duko (marah) padaku.
Aku tidak berani menyatakan sejauh keintiman kepadaNya, atau merasa bisa dekat denganNya, atau merasa bisa memandangNya, atau merasa kenal denganNya, sebab aku merasa mengenal diriku sendiri membutuhkan kehabisan umurku untuk sampai. Termasuk aku tidak berani mengumumkan mimpi ketemu kekasihNya itu, atau merasa bisa gondelan bajunya beliau itu, atau merasa melampaui salafushshaleh yang yang telah memercikkan cahayaNya melewati mata rantai yang suci ini, sampai padaku, karena aku merasa malu akan silaunya cahaya di mataku yang lemah ini, dan hinanya akhlakku yang tak sembuh-sembuh ini.
Banyak peristiwa dalam goresan hidupku yang aku nikmati sedemikian manis, goresan itu aku prasangkai bagai kado penganten hidupku, ternyata ketika aku buka bungkusnya, berisi sekuntum bunga teratai yang mengelopak, yang bermahkotakan seribu bunga. Jadinya, ketika ada orang menyingkirkanku--siapa pun itu--maka aku relakan sedemikian rupa agar mereka puas, mereka bisa tersenyum atas terpenuhinya keinginan itu. Toh sudah aku sadari sepenuhnya, kehadiran di dunia ini adalah sebuah pembuangan, yang melahirkan kenyerian rindu yang menggetarkan dan mengguncang hati ini....
Kawan-kawan, aku tidak punya derita kecuali derita nyeri rindu kepadaNya, aku tidak punya perlindungan kecuali perlindungan dalam diriNya, dengan ini aku merasa bahagia, aku sangat berbahagia, karena duka dan derita yang datang dari Kekasih, melahirkan keterjagaan hati, penderitaan yang meneteskan anggur kemabukan, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka, aku gembira dalam luka....!!!!
Ingat Cinta
Sedulurku tercinta, ingat itu bahasa arabnya dzikir, dzikir dalam agama sebagai perbuatan ibadah, dimana puncaknya itu tercapainya kedudukan atau maqam dimana dzikir dan kesadaran tiba-tiba muncul melalui pertolongan Allah yang disertai kehebatan dan keberkahan dzikir itu sendiri, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Qudsi itu: HambaKu senantiasa mendekatiKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencitainya maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya yang dengannya ia mengambil, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Seandainya ia meminta kepadaKu, tentu Aku akan memberinya, dan seandainya ia meminta perlindungan kepadaku, tentu Aku akan memberikannya.
Kalau ini ternyata belum bisa dicapai, maka boleh jadi kita akan menapaki dzikir sebelumnya, yakni dzikir yang dapat menggambarkan keadaan batin, dimana rasa takut dan kesadaran akan Allah (taqwa) dan amalan dzikir menguasahi si pencari yang sedang menempuh Jalan, sehingga ia benar-benar berpisah perhatiannya dengan dunia.
Bila ternyata tingkatan ini belum bisa kita tanjaki, maka bisa dilakukan dengan dzikir sebelumnya lagi, yakni menyebut secara berulang-ulang nama Allah, atau yang lebih dikenal wirid. Amalan ini bisa dilakukan dengan niat yang ikhlas, sadar, dan konsentrasi penuh--biasanya dibimbing oleh pemandu atau guru itu.
Kalau ternyata hal ini masih berat juga dilakukan, maka kita akan selalu mengingat Allah dalam setiap saat, ketika sedang terjaga, dalam kehidupan seseorang. Dalam level ini dzikir sebagai hakekat dari perjuangan melawan bisikan Iblis yang selalu berusaha memalingkan kita agar lalai dari mengingat Allah.
Tingkatan ini dimaksudkan dan ditujukan agar setiap saat jiwa selalu dalam keadaan diridhoi Allah--misalnya: sabar ketika menderita, bersyukur ketika memperoleh kebaikan, menyesali perbuatan yang salah, dan memiliki harapan untuk memperoleh ampunan. Keadaan ini akan meningkatkan iman, dan meningkatkan kesadaran. Kesadaran bahwa Allah pada posisi sebagai kekasih, tentu sebagai kekasih pasti akan mengingat dan mengejar ridha Kekasih, dan dambaan kekasih hanyalah perjumpaan dengan Kekasih. Diingatnya Kekasih meningkat pada dipandangnya Kekasih dengan kedua mata hatinya, hati mengenal Kekasih dan melihatnya, bahagia kekasih bila dapat mendekati Kekasih, puncaknya tidak ingat apapun kecuali Kekasih.
Inilah ingat Cinta, dimana Tuhan menjadi Pelaku dalam setiap ucapan dan perbuatan atas orang-orang yang Dia sucikan--pada umumnya orang menyebut fana atau lenyapnya diri. Dia berbicara melalui orang-orang yang Dia sucikan itu, mereka semua abadi ingatnya kepad a Allah.
Adalagi orang yang ingat kepada Allah dengan lisannya tetapi hatinya lalai, ada orang yang ingat kepada Allah dengan lisannya yang disertai kehadiran hatinya itu--walau dzikirnya mencari-cari pahala--hal ini masih bisa dibenarkan.
Adalagi orang ingat ke Allah dengan hatinya--tidak sekedar lesan dan hadirnya hati. Orang semacam ini hatinya dipenuhi dengan Allah, dan lisannya tidak mengucapkan apap pun. Lisannya telah memasuki sirr, hatinya yang berada dalam rahasia Cinta, Cinta itu dalam rahasia Cahaya, dan pandangan seperti ini merupakan hal yang tidak bisa digambarkan--inilah misteri itu--kecuali pandangan langsung....
Kawan-kawan semua Nabi dan Rasul menyeru kepada manusia supaya mengingat dan mengucapkan Allah. Orang yang hanya mendengarkannya dengan telinga saja, lafal itu akan keluar melalui telinga lainnya, orang yang mendengarnya dengan hatinya, maka lafal itu akan menghujam dalam hatinya, lalu meningkat--dengan cara diulang--sampai pada terbebasnya dari bunyi dan huruf, lalu menjadi asyik di dalamnya sehingga mereka tidak lagi sadar akan keberadaan dirinya....
Ingatanku yang mana ini, Wahai Kekasih....
Kalau ini ternyata belum bisa dicapai, maka boleh jadi kita akan menapaki dzikir sebelumnya, yakni dzikir yang dapat menggambarkan keadaan batin, dimana rasa takut dan kesadaran akan Allah (taqwa) dan amalan dzikir menguasahi si pencari yang sedang menempuh Jalan, sehingga ia benar-benar berpisah perhatiannya dengan dunia.
Bila ternyata tingkatan ini belum bisa kita tanjaki, maka bisa dilakukan dengan dzikir sebelumnya lagi, yakni menyebut secara berulang-ulang nama Allah, atau yang lebih dikenal wirid. Amalan ini bisa dilakukan dengan niat yang ikhlas, sadar, dan konsentrasi penuh--biasanya dibimbing oleh pemandu atau guru itu.
Kalau ternyata hal ini masih berat juga dilakukan, maka kita akan selalu mengingat Allah dalam setiap saat, ketika sedang terjaga, dalam kehidupan seseorang. Dalam level ini dzikir sebagai hakekat dari perjuangan melawan bisikan Iblis yang selalu berusaha memalingkan kita agar lalai dari mengingat Allah.
Tingkatan ini dimaksudkan dan ditujukan agar setiap saat jiwa selalu dalam keadaan diridhoi Allah--misalnya: sabar ketika menderita, bersyukur ketika memperoleh kebaikan, menyesali perbuatan yang salah, dan memiliki harapan untuk memperoleh ampunan. Keadaan ini akan meningkatkan iman, dan meningkatkan kesadaran. Kesadaran bahwa Allah pada posisi sebagai kekasih, tentu sebagai kekasih pasti akan mengingat dan mengejar ridha Kekasih, dan dambaan kekasih hanyalah perjumpaan dengan Kekasih. Diingatnya Kekasih meningkat pada dipandangnya Kekasih dengan kedua mata hatinya, hati mengenal Kekasih dan melihatnya, bahagia kekasih bila dapat mendekati Kekasih, puncaknya tidak ingat apapun kecuali Kekasih.
Inilah ingat Cinta, dimana Tuhan menjadi Pelaku dalam setiap ucapan dan perbuatan atas orang-orang yang Dia sucikan--pada umumnya orang menyebut fana atau lenyapnya diri. Dia berbicara melalui orang-orang yang Dia sucikan itu, mereka semua abadi ingatnya kepad a Allah.
Adalagi orang yang ingat kepada Allah dengan lisannya tetapi hatinya lalai, ada orang yang ingat kepada Allah dengan lisannya yang disertai kehadiran hatinya itu--walau dzikirnya mencari-cari pahala--hal ini masih bisa dibenarkan.
Adalagi orang ingat ke Allah dengan hatinya--tidak sekedar lesan dan hadirnya hati. Orang semacam ini hatinya dipenuhi dengan Allah, dan lisannya tidak mengucapkan apap pun. Lisannya telah memasuki sirr, hatinya yang berada dalam rahasia Cinta, Cinta itu dalam rahasia Cahaya, dan pandangan seperti ini merupakan hal yang tidak bisa digambarkan--inilah misteri itu--kecuali pandangan langsung....
Kawan-kawan semua Nabi dan Rasul menyeru kepada manusia supaya mengingat dan mengucapkan Allah. Orang yang hanya mendengarkannya dengan telinga saja, lafal itu akan keluar melalui telinga lainnya, orang yang mendengarnya dengan hatinya, maka lafal itu akan menghujam dalam hatinya, lalu meningkat--dengan cara diulang--sampai pada terbebasnya dari bunyi dan huruf, lalu menjadi asyik di dalamnya sehingga mereka tidak lagi sadar akan keberadaan dirinya....
Ingatanku yang mana ini, Wahai Kekasih....
Musik Cinta
Sedulurku tercinta, aku sangat mendukung musik dan tarian sebagai salah satu metode untuk melatih spiritual. Seandainya ada larangan musik--setahuku--itu tidak mengikat, artinya banyak ahli fikih yang secara spesifik meperbolehkan musik bagi orang-orang yang memiliki cukup kekuatan untuk mengendalikan diri. Kalau ada yang melarang itu hanya semacam kekhawatiran kalau musik hanya dinikmati secara indera yang lepas kontrol--mengumbar syahwat. Tetapi kalau musik dinikmati dengan hening, dalam kondisi fokus (khusyu') dan jauh dari keadaan yang tidak menyenangkan--misalnya dalam keadaan tidak lapar, sakit,atau jiwa yang ragu--musik dapat mempengaruhi bertambah kuatnya memahami keindahan Ilahi robbi.
Inilah yang bisa kita sebut Musik Cinta, karena apa saja sebenarnya di semesta ini bisa menjadi isyarat jiwa dan perantara jiwa untuk memahami keindahan Ilahi itu. Efek ini bisa menjadi tambah kuat melalui bentuk tarian, karena gerakan tubuh yang berulang-ulang--khususnya yang memutar-mutar itu--bisa menyerupai gerakan putaran semesta, pengaruhnya terhadap tubuh dan jiwa bisa naik ke awang-awang--bagai mi'raj itu.
Hal ini bisa terjadi karena keindahan dari benda-benda duniawi selaras dengan keindahan Ilahi, karena keindahan dan keadilan di alam ini, merefleksikan ketauhidan Tuhan, Allah itu. Karena itu tidak aneh kalau orang melihat wajah yang rupawan, bau parfum yang sangat wangi, dan suara indah dan merdu dapat mendorong seseorang untuk mempersepsikan keindahan Tuhan dan dengan cara demikian akan menjadikan manusia terbebas melampaui pembatas-pembatas jiwanya.
Gambaran ini sama dengan ayat-ayat yang disampaikan para Nabi yang tiada bandingannya untuk membangkitkan gairah imajinasi dari orang-orang yang--maaf--bebal. Bila demikian, dari melampaui batas-batas jiwanya itu orang dapat terbebas dari dominasinya dan beralih pada kepatuhan dan keyakinan atau iman itu.
Coba dengarkanlah orkrestanya Beethoven, orkestranya Ummi Kultsum, orkestranya Kiai Kanjeng Cak Nun itu, atau apa saja musik kesukaanmu, maka di situ kita akan merasakan keagungan Tuhan dengan keadaan yang sesuai penggapaian jiwa terhadap keindahan Ilahi itu. Andai seburuk apapun musik--aku terharu--bagi Gus Mik melihat bahwa musik sedemikian saja dan dengan tarian yang sensual itu, tetap menjadi tanda-tanda (jelas memberhala--maaf), dan dido'akan: Ya Allah, orang-orang ini melihat dan mendengar demikian saja sudah mabuk kepayang, bimbinglah hatinya untuk menanjak memandangMu, tentu mereka akan mengalami jutaan kali kemabukan atas pasona keindahan MU itu.
Sebagaimana Rumi, yang mendengar ketukan tukang pande besi yang demikian saja, di telinga orang pukulan besi itu berbunyi: dang, deng, dong, dang, deng, dong, tetapi di hati Rumi bunyi pukulan besi itu menjadi musik cinta: hu, hu, hu, hu, Dia, Dia, Dia, Dia. Dalam seribu kemabukan Rumi, menari bagai tarian semesta pada porosnya, sampai kakinya bisa terangkat satu meter dari atas tanah, bagai gasing itu. Dan sampai hari ini tidak ada satupun yang sudah belajar tari Darwis ini puluhan tahun, bisa menyamai Rumi menari itu, walau 4000 penari datang saat khulnya itu, tak satupun bisa....
Kawan-kawan, bagaimana diri kita kala mendengar musik alam: burung menyanyi, deru gelombang lautan, angin mendesir pada gesekan daun bambu, tetesan air hujan dari atas genting: tik, tik, tik, halilintar menggelegar, katak bernyanyi pada sepanjang malam hari, anjing mengonggong, ayam berkokok, kambing mengembik, singa mengaum, adzan menggema, tarkhim membahana di fajar hari, Qur'an mengalun dari bibir qori'nya, gema shalawat dengan rancak rebananya, gitar dipetik, biola digesek, seruling ditiup, drum di pukul, mandolin dimainkan, siter dibunyikan, gendang ditabuh, gamelan dialunkan, jangkrik berjingkrak dengan kidung semalam, sampai bunyi kentut dengan berbagai variasinya itu.
Andai kita bayangkan dakam waktu yang bersamaan, bukanlah itu musik orkestra alam yang sangat indah, yang tak bisa ditiru oleh siapapun dan mengema agung dalam jeritan hati: hu, hu, hu, hu, hu, hu, Dia, Dua, Dia, Dia, Dia, Dia....
Engkaupun menari dalam kemabukan ini, sebab mana yang tidak mengabarkan tentang Dia, bagai Rumi menari itu....
Inilah yang bisa kita sebut Musik Cinta, karena apa saja sebenarnya di semesta ini bisa menjadi isyarat jiwa dan perantara jiwa untuk memahami keindahan Ilahi itu. Efek ini bisa menjadi tambah kuat melalui bentuk tarian, karena gerakan tubuh yang berulang-ulang--khususnya yang memutar-mutar itu--bisa menyerupai gerakan putaran semesta, pengaruhnya terhadap tubuh dan jiwa bisa naik ke awang-awang--bagai mi'raj itu.
Hal ini bisa terjadi karena keindahan dari benda-benda duniawi selaras dengan keindahan Ilahi, karena keindahan dan keadilan di alam ini, merefleksikan ketauhidan Tuhan, Allah itu. Karena itu tidak aneh kalau orang melihat wajah yang rupawan, bau parfum yang sangat wangi, dan suara indah dan merdu dapat mendorong seseorang untuk mempersepsikan keindahan Tuhan dan dengan cara demikian akan menjadikan manusia terbebas melampaui pembatas-pembatas jiwanya.
Gambaran ini sama dengan ayat-ayat yang disampaikan para Nabi yang tiada bandingannya untuk membangkitkan gairah imajinasi dari orang-orang yang--maaf--bebal. Bila demikian, dari melampaui batas-batas jiwanya itu orang dapat terbebas dari dominasinya dan beralih pada kepatuhan dan keyakinan atau iman itu.
Coba dengarkanlah orkrestanya Beethoven, orkestranya Ummi Kultsum, orkestranya Kiai Kanjeng Cak Nun itu, atau apa saja musik kesukaanmu, maka di situ kita akan merasakan keagungan Tuhan dengan keadaan yang sesuai penggapaian jiwa terhadap keindahan Ilahi itu. Andai seburuk apapun musik--aku terharu--bagi Gus Mik melihat bahwa musik sedemikian saja dan dengan tarian yang sensual itu, tetap menjadi tanda-tanda (jelas memberhala--maaf), dan dido'akan: Ya Allah, orang-orang ini melihat dan mendengar demikian saja sudah mabuk kepayang, bimbinglah hatinya untuk menanjak memandangMu, tentu mereka akan mengalami jutaan kali kemabukan atas pasona keindahan MU itu.
Sebagaimana Rumi, yang mendengar ketukan tukang pande besi yang demikian saja, di telinga orang pukulan besi itu berbunyi: dang, deng, dong, dang, deng, dong, tetapi di hati Rumi bunyi pukulan besi itu menjadi musik cinta: hu, hu, hu, hu, Dia, Dia, Dia, Dia. Dalam seribu kemabukan Rumi, menari bagai tarian semesta pada porosnya, sampai kakinya bisa terangkat satu meter dari atas tanah, bagai gasing itu. Dan sampai hari ini tidak ada satupun yang sudah belajar tari Darwis ini puluhan tahun, bisa menyamai Rumi menari itu, walau 4000 penari datang saat khulnya itu, tak satupun bisa....
Kawan-kawan, bagaimana diri kita kala mendengar musik alam: burung menyanyi, deru gelombang lautan, angin mendesir pada gesekan daun bambu, tetesan air hujan dari atas genting: tik, tik, tik, halilintar menggelegar, katak bernyanyi pada sepanjang malam hari, anjing mengonggong, ayam berkokok, kambing mengembik, singa mengaum, adzan menggema, tarkhim membahana di fajar hari, Qur'an mengalun dari bibir qori'nya, gema shalawat dengan rancak rebananya, gitar dipetik, biola digesek, seruling ditiup, drum di pukul, mandolin dimainkan, siter dibunyikan, gendang ditabuh, gamelan dialunkan, jangkrik berjingkrak dengan kidung semalam, sampai bunyi kentut dengan berbagai variasinya itu.
Andai kita bayangkan dakam waktu yang bersamaan, bukanlah itu musik orkestra alam yang sangat indah, yang tak bisa ditiru oleh siapapun dan mengema agung dalam jeritan hati: hu, hu, hu, hu, hu, hu, Dia, Dua, Dia, Dia, Dia, Dia....
Engkaupun menari dalam kemabukan ini, sebab mana yang tidak mengabarkan tentang Dia, bagai Rumi menari itu....
Dzat Cinta
Sedulurku tercinta, kalau manusia menyembah Tuhan yang diciptakan secara imajiner dan artifisial, karena setiap orang telah membangun semacam bentuk imajiner dalam pikirannya, yang dianggap sebagai Tuhan yang Mutlak. Pola keberagamaan ini menyembah bentuk Tuhan, meskipun sebenarnya Tuhan tersebut hanyalah sebuah produk artifisial pikiran manusia.
Lihatlah pada ranah pergaulan, mereka--amat parah--menganggap orang-orang yang disebut menyembah berhala itu adalah sesat, mereka menuduh kafir dan pengikut setia patung-patung berhala. Nah, padahal kesalahan tersebut juga ada pada diri mereka sendiri sebab mereka juga menyembah berhala--imajiner itu.
Keimanan ini tertuju hanya kepada berhala, maka keberagamaan ini tidak menyadari adanya Tuhan dari segala Tuhan--Kebaikan Yang Mutlak. Ranah ini bisa diklasifikasikan benere dewe, naik ke benere orang banyak karena ada perbedaan antara tuhan model tersebut dengan Tuhan dari semua Tuhan itu. Orang-orang yang mencapai Wajah Tuhan tetapi bukan dzat Tuhan adalah para penyembah berhala--buktinya kawan--siang malam bertarung dan berdebat dengan orang lain, orangnya fanatik buta dan tidak memiliki serta menentang sikap siapapun yang berbeda dengan mereka itu.
Sedangkan orang-orang yang mencapai Wajah dan Dzat Tuhan, menyembah hanya kepada Tuhan Yang Esa itu, sebagai sorang muwahhid dan membebaskan diri dari penyembahan berhala, buktinya merekalah orang-orang yang menciptakan perdamaian dengan seluruh umat manusia dan membebaskan diri dari perselisihan dan pencelaan ide-ide orang lain. Dengan kata lain, bila seseorang belum mencapai pada tataran tersebut--akuilah saja--pandangan mencapai Wajah Tuhan itu menunjukkan ia masih politeis yang membuat sekutu untuk Tuhan (yang disebut musyrik itu), meskipun pada dataran pengakuannya ia mengaku menyembah Tuhan.
Orang ini disebut oleh Allah--dalam Qur'an--Dan mereka tidak menghormati Allah dengan semestinya. Allah dengan struktur khayalan pribadi inilah yang disebut tidak menghormati dengan semestinya, karena hal ini bagian dari mempertahankan pemujaan pada diri sendiri. Sesuatu yang dipahami melalui akal dan pandangan mata merupakan gambaran yang terbentuk oleh fantasi dan hayalan semata--yang subyektif--karena khayalan itu tunduk pada batas-batas rasio dan khayalan itu sendiri.
Pada ujungnya, apa yang aku paparkan ini bagian dari proses mengajak pengejawantahan cinta pada dataran kenyataan atas dasar keyakinan Tuhan dari segala tuhan, dimana wujud nyatanya adalah mempersiapkan diri dengan sifat pengabdian, berprilaku sangat lapang dada, dan terbebas serta jauh dari segala kepentingan atau gangguan yang formal atau spiritual itu.
Dengan demikian bisa diperjelas buktinya antara orang yang memandang Wajah Tuhan dengan Dzat Tuhan--bahasaku Dzat Cinta--terbaca dalam kenyataan, dimana bagi yang pertama masih mengedepankan pertengkaran yang kedua mengejawantahkan perdamaian abadi. Bagi yang merasakan Dzat Cinta, maka ia akan memuji apa pun yang essensinya baik dan yang menyebabkan kesempurnaan manusia.
Biarkan dan relakan setiap agama dan umat memelihara ritual dan ibadah mereka masing-masing, karena sikap terpancing dan terikat pada kata-kata (Jawa, aran) dan ekspresi masing-masing agama adalah bentuk kekafiran juga. Jadinya--aku ingat dawuh Kanjeng Nai saw--kalau orang mengafirkan orang maka hakekatnya ia adalah orang kafir itu sendiri....
Kawan-kawan, aku rindu pada suasana damai yang saling menyadari bahwa berbagai macam wujud tajjaliNya ini, ditampilkan dalam berbagai keyakinan umat manusia adalah seruling jiwa yang rindu akan kembali ke rumpun bambu itu--walau berbeda--sesunguhnya berdasar pada Cinta kepada Wujud yang Satu itu....
Punten Semuanya....
Lihatlah pada ranah pergaulan, mereka--amat parah--menganggap orang-orang yang disebut menyembah berhala itu adalah sesat, mereka menuduh kafir dan pengikut setia patung-patung berhala. Nah, padahal kesalahan tersebut juga ada pada diri mereka sendiri sebab mereka juga menyembah berhala--imajiner itu.
Keimanan ini tertuju hanya kepada berhala, maka keberagamaan ini tidak menyadari adanya Tuhan dari segala Tuhan--Kebaikan Yang Mutlak. Ranah ini bisa diklasifikasikan benere dewe, naik ke benere orang banyak karena ada perbedaan antara tuhan model tersebut dengan Tuhan dari semua Tuhan itu. Orang-orang yang mencapai Wajah Tuhan tetapi bukan dzat Tuhan adalah para penyembah berhala--buktinya kawan--siang malam bertarung dan berdebat dengan orang lain, orangnya fanatik buta dan tidak memiliki serta menentang sikap siapapun yang berbeda dengan mereka itu.
Sedangkan orang-orang yang mencapai Wajah dan Dzat Tuhan, menyembah hanya kepada Tuhan Yang Esa itu, sebagai sorang muwahhid dan membebaskan diri dari penyembahan berhala, buktinya merekalah orang-orang yang menciptakan perdamaian dengan seluruh umat manusia dan membebaskan diri dari perselisihan dan pencelaan ide-ide orang lain. Dengan kata lain, bila seseorang belum mencapai pada tataran tersebut--akuilah saja--pandangan mencapai Wajah Tuhan itu menunjukkan ia masih politeis yang membuat sekutu untuk Tuhan (yang disebut musyrik itu), meskipun pada dataran pengakuannya ia mengaku menyembah Tuhan.
Orang ini disebut oleh Allah--dalam Qur'an--Dan mereka tidak menghormati Allah dengan semestinya. Allah dengan struktur khayalan pribadi inilah yang disebut tidak menghormati dengan semestinya, karena hal ini bagian dari mempertahankan pemujaan pada diri sendiri. Sesuatu yang dipahami melalui akal dan pandangan mata merupakan gambaran yang terbentuk oleh fantasi dan hayalan semata--yang subyektif--karena khayalan itu tunduk pada batas-batas rasio dan khayalan itu sendiri.
Pada ujungnya, apa yang aku paparkan ini bagian dari proses mengajak pengejawantahan cinta pada dataran kenyataan atas dasar keyakinan Tuhan dari segala tuhan, dimana wujud nyatanya adalah mempersiapkan diri dengan sifat pengabdian, berprilaku sangat lapang dada, dan terbebas serta jauh dari segala kepentingan atau gangguan yang formal atau spiritual itu.
Dengan demikian bisa diperjelas buktinya antara orang yang memandang Wajah Tuhan dengan Dzat Tuhan--bahasaku Dzat Cinta--terbaca dalam kenyataan, dimana bagi yang pertama masih mengedepankan pertengkaran yang kedua mengejawantahkan perdamaian abadi. Bagi yang merasakan Dzat Cinta, maka ia akan memuji apa pun yang essensinya baik dan yang menyebabkan kesempurnaan manusia.
Biarkan dan relakan setiap agama dan umat memelihara ritual dan ibadah mereka masing-masing, karena sikap terpancing dan terikat pada kata-kata (Jawa, aran) dan ekspresi masing-masing agama adalah bentuk kekafiran juga. Jadinya--aku ingat dawuh Kanjeng Nai saw--kalau orang mengafirkan orang maka hakekatnya ia adalah orang kafir itu sendiri....
Kawan-kawan, aku rindu pada suasana damai yang saling menyadari bahwa berbagai macam wujud tajjaliNya ini, ditampilkan dalam berbagai keyakinan umat manusia adalah seruling jiwa yang rindu akan kembali ke rumpun bambu itu--walau berbeda--sesunguhnya berdasar pada Cinta kepada Wujud yang Satu itu....
Punten Semuanya....
Berhala Cinta
Sedulurku tercinta, aku menghabiskan sebagian besar hidupku untuk merenungkan dan mengenang ilmu dan kehadiran Tuhan--cahaya Ketauhidan. Berkelana tidak ke Mesir, ke Yaman, ke Mekah, ke Medinah, ke New York, ke Amsterdam, ke Berlin, ke Cina dan kemana-mana, tetapi aku latih merenungkan dan mengenang sekaligus merasakan ketauhidan itu dengan cara mendatangi kuburan-kuburan, untuk merasakan dan menghadirkan ilmu ketiadaan--bukan meminta sesuatu seperti yang banyak orang tuduhkan itu.
Aku tidak peduli siang apa malam, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, desa apa kota, gelap apa terang, sehat apa sakit, pahit apa manis, dipuji apa dihina, jauh apa dekat, berat apa ringan, sendiri apa berkawan dan seterusnya. Begitu banyak aku baca tulisan yang menakjubkan, mengungkapkan perkataan-perkataan yang indah dan memikat, wujudnya buku-buku serta kitab-kitab dari yang ringan sampai yang berat-berat. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu sedikit pun menikmati suguhan-suguhan Allah itu, termasuk menikmati buku-buku dan kitab-kitab agama lain, termasuk aliran-aliran apa saja.
Pada kesimpuanku, apa yang aku nikmati semua ini--tentu dengan susah payah--merupakan tadarrus kehidupan, dengan dasar bahwa tulisan apa saja itu bersumber dari dari bahasa kalbu, bukan di tempat manapun. Aku cari maknanya semua ini dalam kalbuku, aku selami setiap pertanyaan dan panggilan, aku ketuk pintu pada diriku tanpa mengabaikan bilangan pintu-pintu karena setiap keberadaan ini pintu menuju Tuhan, Allah swt.
Dasarnya sederhana namun sarat makna: Sesunguhnya--firman Tuhan--semua yang ada bertasbih kepadaNya. Kalau manusia memandang Tuhan masih dalam dataran wujud--entah kasar atau halus--maka sebenarnya ia langsung menjadi berhala. Namun dalam ranah Jalan Cinta, semua berhala itu adalah isyarat dan tanda yang menyingkap Tuhan dalam Cinta dan Kesatuan. Inilah prinsipku yang melandasi bahwa setiap ikat pinggang kependetaan adalah kesetiaan melayani umat manusia dan alam semesta.
Apa yang menjadi olok-olok manusia satu dengan yang lain--maaf, menurutku amat primitif--misalnya antara iman dan kekufuran, pujian dan hujatan itu pada Wujud, selalu abadi dan tetap, makanya apa yang orang bilang kemusyrikan dan Ketauhidan itu hanyalah Satu. Setiap orang muslim jangan merasa banggga dengan menghina keberadaan yang berbeda dalam keragaman semua ini, karena segala sesuatu yang berasal dari Wujud itu berubah dalam berbagai macam bentuk, maka satu dari keseluruhan bentuk tersebut berasal dari Ruh yang sama.
Setiap orang yang berbeda dengan diriku--orang ada yang bilang kafir itu--janganlah berkecil hati karena aku pandang: kegairahan hasrat mencari yang misteri itu--dibalik berhala sekalipun atau bayang-bayang suram yang pernah dilihat orang--kemudian mewujud dalam kepasrahan (bahasa arabnya Islam) itu lebih baik daripada orang yang bersimpuh di masjid tetapi membawa hawa sok suci itu.
Kalau orang mau melihat berhala yang abstrak ini dalam dirinya, maka ia akan merasa jijik pada prilakunya yang suka menghina-hina saudaranya itu--dalam kesatuan persaudaraan sesama makhluk Tuhan. Lebih sederhananya kalau orang menyembah berhala kongkrit saja sedemikian melahirkan ketundukan hati, kenapa orang yang merasa sok suci--menyembah bayang-bayang suram itu--melahirkan kepongahan yang bisa diklasifikasikan Kanjeng Nabi saw sebagai orang gila yang hahiki ini.
Aku sebut bayang-bayang suram karena siapapun yang membayangkan Tuhan secara demikian, ini menjelma menjadi berhala juga--secara abstrak--karena Dia tidak bisa di gambarkan dengan sesuatu (tan kinoyo opo-Jawa), Dia berada dibalik semua yang tergambarkan--kasarnya--Dia berada dibalik berhala ini semua....
Kawan-kawan, maafkanlah aku, atas kesederhaan pemikiranku, atas kebodohanku menangkap isyarat itu, atas kehinaanku yang rindu akan kesempurnaan adabNya, yang lemah atas keterseokan dalam perjalanan menujuNya, aku ngeri melihat pertentangan dan percekcokan itu, aku rindu akan Taman yang menghargai setiap ciptaanNya itu, bagiku Tuhan tanpa kesalahan, aku aksiomakan semua ini bagai akar dan cabang-cabangnya Iman, ini semua--maafkan aku--dari al-Qur'an itu: semua yang dicipta tidak ada kesia-siaan dan tidak ada kesalahan dalam ciptaan Tuhan....
Aku menangis dalam sunyi, atas kesaksian yang Indah ini....
Aku tidak peduli siang apa malam, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, desa apa kota, gelap apa terang, sehat apa sakit, pahit apa manis, dipuji apa dihina, jauh apa dekat, berat apa ringan, sendiri apa berkawan dan seterusnya. Begitu banyak aku baca tulisan yang menakjubkan, mengungkapkan perkataan-perkataan yang indah dan memikat, wujudnya buku-buku serta kitab-kitab dari yang ringan sampai yang berat-berat. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu sedikit pun menikmati suguhan-suguhan Allah itu, termasuk menikmati buku-buku dan kitab-kitab agama lain, termasuk aliran-aliran apa saja.
Pada kesimpuanku, apa yang aku nikmati semua ini--tentu dengan susah payah--merupakan tadarrus kehidupan, dengan dasar bahwa tulisan apa saja itu bersumber dari dari bahasa kalbu, bukan di tempat manapun. Aku cari maknanya semua ini dalam kalbuku, aku selami setiap pertanyaan dan panggilan, aku ketuk pintu pada diriku tanpa mengabaikan bilangan pintu-pintu karena setiap keberadaan ini pintu menuju Tuhan, Allah swt.
Dasarnya sederhana namun sarat makna: Sesunguhnya--firman Tuhan--semua yang ada bertasbih kepadaNya. Kalau manusia memandang Tuhan masih dalam dataran wujud--entah kasar atau halus--maka sebenarnya ia langsung menjadi berhala. Namun dalam ranah Jalan Cinta, semua berhala itu adalah isyarat dan tanda yang menyingkap Tuhan dalam Cinta dan Kesatuan. Inilah prinsipku yang melandasi bahwa setiap ikat pinggang kependetaan adalah kesetiaan melayani umat manusia dan alam semesta.
Apa yang menjadi olok-olok manusia satu dengan yang lain--maaf, menurutku amat primitif--misalnya antara iman dan kekufuran, pujian dan hujatan itu pada Wujud, selalu abadi dan tetap, makanya apa yang orang bilang kemusyrikan dan Ketauhidan itu hanyalah Satu. Setiap orang muslim jangan merasa banggga dengan menghina keberadaan yang berbeda dalam keragaman semua ini, karena segala sesuatu yang berasal dari Wujud itu berubah dalam berbagai macam bentuk, maka satu dari keseluruhan bentuk tersebut berasal dari Ruh yang sama.
Setiap orang yang berbeda dengan diriku--orang ada yang bilang kafir itu--janganlah berkecil hati karena aku pandang: kegairahan hasrat mencari yang misteri itu--dibalik berhala sekalipun atau bayang-bayang suram yang pernah dilihat orang--kemudian mewujud dalam kepasrahan (bahasa arabnya Islam) itu lebih baik daripada orang yang bersimpuh di masjid tetapi membawa hawa sok suci itu.
Kalau orang mau melihat berhala yang abstrak ini dalam dirinya, maka ia akan merasa jijik pada prilakunya yang suka menghina-hina saudaranya itu--dalam kesatuan persaudaraan sesama makhluk Tuhan. Lebih sederhananya kalau orang menyembah berhala kongkrit saja sedemikian melahirkan ketundukan hati, kenapa orang yang merasa sok suci--menyembah bayang-bayang suram itu--melahirkan kepongahan yang bisa diklasifikasikan Kanjeng Nabi saw sebagai orang gila yang hahiki ini.
Aku sebut bayang-bayang suram karena siapapun yang membayangkan Tuhan secara demikian, ini menjelma menjadi berhala juga--secara abstrak--karena Dia tidak bisa di gambarkan dengan sesuatu (tan kinoyo opo-Jawa), Dia berada dibalik semua yang tergambarkan--kasarnya--Dia berada dibalik berhala ini semua....
Kawan-kawan, maafkanlah aku, atas kesederhaan pemikiranku, atas kebodohanku menangkap isyarat itu, atas kehinaanku yang rindu akan kesempurnaan adabNya, yang lemah atas keterseokan dalam perjalanan menujuNya, aku ngeri melihat pertentangan dan percekcokan itu, aku rindu akan Taman yang menghargai setiap ciptaanNya itu, bagiku Tuhan tanpa kesalahan, aku aksiomakan semua ini bagai akar dan cabang-cabangnya Iman, ini semua--maafkan aku--dari al-Qur'an itu: semua yang dicipta tidak ada kesia-siaan dan tidak ada kesalahan dalam ciptaan Tuhan....
Aku menangis dalam sunyi, atas kesaksian yang Indah ini....
Minggu, 25 Juli 2010
Diam Cinta
Sedulurku tercinta, ada seorang tamu semangat bercerita tentang nasib dan penderitaan kemanusiaan, aku sangat suka karena melahirkan tingkat kekhudhuran hati yang ujungnya meneteskan empati, lalu aksi mengatasi. Pada saat berbicara tentang kegembiraan hati, aku suka karena akan memercikkan wewangian kepadaku, agar aku bisa meniru sebab percikan itu. Tetapi ketika berbicara bahwa hanya Allah yang ada di hatinya, ternyata ujungnya adalah mengedepankan supremasi dirinya, berbicara ruang dan waktu, aku bertanya-tanya: Allah yang mana itu, ternyata Allahnya, bukan Allah kita semua itu--yang sejati itu.
Tuhan pun bertanya: apakah kamu melihat orang yang mengAllahkan hawa nafsunya? Inilah kekhawatiran Rumi, tahanlah nafas, isyaratkan telunjuk jarimu bila orang berbicara sesuatu, berbisiklah dengan: sssstt, agar pesona ilahiyah yang bagai burung indah hinggap di kepalamu tidak terbang meninggalkanmu. Inilah diam Cinta.
Dahulu--kata Rumi--ketika semua makhluk diciptakan Allah, semua diberi kemampuan mengeluarkan suara. Ketika mereka mengeluarkan suara pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Tuhan, kecuali keledai. Keledai hanya mau bersuara, jika lapar atau ingin memuaskan hawa nafsunya.
Model orang yang katanya Allah bermahkota di hatinya--tamuku itu--aku pancing dengan bicara tentang kelaparan, tentang pengangguran, tentang krisis moral, tentang ketidak adilan, tentang hutan terbakar, tentang kebodohan, tentang krisis moneter, tentang gejolak dunia, tentang politik, dia tidak menunjukkan minat kepedulian.
Tetapi begitu bicara tentang ambisi dan ego pribadinya, ia bagai keledai yang kelaparan itu, kata-katanya sudah tidak bisa dikendalikan, meluncur terus. Bicara benar yang sejati itu faktanya ada, yakni bicara hal-hal yang universal, turun sedikit bicara benarnya orang banyak itu bersifat kelompok, terakhir benarnya sendiri itu masuk ke ranah ego dan ambisi pribadi itu.
Ketika kita jagong dengan mendialogkan urusan universal itu berarti juga memuji Tuhan sebagaimana diciptakan pertama kali itu, tetapi ketika kita bicara ego maka kebaikan yang terpercik pasti akan pergi. Jadi diam cinta itu tidak lantas tanpa kata-kata, kita tetep jagong tapi yang dibicarakan adalah pemikiran dan pemecahan atas problem-problem universal itu.
Sementara yang diam itu tidak musti benar juga, manakala melihat penindasan berlangsung dalam kehidupan, tidak ada tindakan membebaskannya. Secara tauhid, membicarakan tentang ketercerabutan atas rahmatNya--dalam banyak jenis--itu berarti memuji kepadaNya, karena mana alam semesta ini yang tidak mengabarkan tentang Dia.
Tetapi begitu masuk ke dalam ranah ego, maka kita akan melupakan banyak tanggungan yang menjadi sarana mengagungkan Tuhan itu, dalam bentuk tindakan nyata. Lihatlah ketika ketika gaji tidak dinaiikkan mereka geger, begitu dikabulkan kembali sunyi, sementara banyak orang miskin menangis dalam sunyi. Lihatlah singa-singa mimbar itu, bersuara keras, sangat vokal, dan sangat kritis--biasanya disebut garis keras--kemudian suaranya hilang ketika sudah memperoleh sesuatu yang diharapkan: menduduki jabatan orang-orang dulu yang dikecamnya itu. Rupanya suara kerasnya itu, banyak omongnya itu bukan pemecahan masalah yang universal--padahal cinta itu universal--tetapi suara kerasnya itu hanya suara keledai. Suara yang keluar karena lapar itu....
Kawan-kawan, memang diam adalah tanda orang yang memperoleh hikmah, tetapi bagi yang bicara dalam mencari solusi universal itu bisa disebut memuji Tuhan, ini bentuk diam yang lain, bukan seperti keledai itu....
Tuhan pun bertanya: apakah kamu melihat orang yang mengAllahkan hawa nafsunya? Inilah kekhawatiran Rumi, tahanlah nafas, isyaratkan telunjuk jarimu bila orang berbicara sesuatu, berbisiklah dengan: sssstt, agar pesona ilahiyah yang bagai burung indah hinggap di kepalamu tidak terbang meninggalkanmu. Inilah diam Cinta.
Dahulu--kata Rumi--ketika semua makhluk diciptakan Allah, semua diberi kemampuan mengeluarkan suara. Ketika mereka mengeluarkan suara pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Tuhan, kecuali keledai. Keledai hanya mau bersuara, jika lapar atau ingin memuaskan hawa nafsunya.
Model orang yang katanya Allah bermahkota di hatinya--tamuku itu--aku pancing dengan bicara tentang kelaparan, tentang pengangguran, tentang krisis moral, tentang ketidak adilan, tentang hutan terbakar, tentang kebodohan, tentang krisis moneter, tentang gejolak dunia, tentang politik, dia tidak menunjukkan minat kepedulian.
Tetapi begitu bicara tentang ambisi dan ego pribadinya, ia bagai keledai yang kelaparan itu, kata-katanya sudah tidak bisa dikendalikan, meluncur terus. Bicara benar yang sejati itu faktanya ada, yakni bicara hal-hal yang universal, turun sedikit bicara benarnya orang banyak itu bersifat kelompok, terakhir benarnya sendiri itu masuk ke ranah ego dan ambisi pribadi itu.
Ketika kita jagong dengan mendialogkan urusan universal itu berarti juga memuji Tuhan sebagaimana diciptakan pertama kali itu, tetapi ketika kita bicara ego maka kebaikan yang terpercik pasti akan pergi. Jadi diam cinta itu tidak lantas tanpa kata-kata, kita tetep jagong tapi yang dibicarakan adalah pemikiran dan pemecahan atas problem-problem universal itu.
Sementara yang diam itu tidak musti benar juga, manakala melihat penindasan berlangsung dalam kehidupan, tidak ada tindakan membebaskannya. Secara tauhid, membicarakan tentang ketercerabutan atas rahmatNya--dalam banyak jenis--itu berarti memuji kepadaNya, karena mana alam semesta ini yang tidak mengabarkan tentang Dia.
Tetapi begitu masuk ke dalam ranah ego, maka kita akan melupakan banyak tanggungan yang menjadi sarana mengagungkan Tuhan itu, dalam bentuk tindakan nyata. Lihatlah ketika ketika gaji tidak dinaiikkan mereka geger, begitu dikabulkan kembali sunyi, sementara banyak orang miskin menangis dalam sunyi. Lihatlah singa-singa mimbar itu, bersuara keras, sangat vokal, dan sangat kritis--biasanya disebut garis keras--kemudian suaranya hilang ketika sudah memperoleh sesuatu yang diharapkan: menduduki jabatan orang-orang dulu yang dikecamnya itu. Rupanya suara kerasnya itu, banyak omongnya itu bukan pemecahan masalah yang universal--padahal cinta itu universal--tetapi suara kerasnya itu hanya suara keledai. Suara yang keluar karena lapar itu....
Kawan-kawan, memang diam adalah tanda orang yang memperoleh hikmah, tetapi bagi yang bicara dalam mencari solusi universal itu bisa disebut memuji Tuhan, ini bentuk diam yang lain, bukan seperti keledai itu....
Kehadiran Cinta
Sedulurku tercinta, seorang santri yang aku rawat sejak kecil datang menceritakan kematian istrinya yang hafal Qur'an itu. Anakku itu menikah atas dasar suka sama suka, santri sama santri, namun ketika memasuki masa-masa bulan madu--hanya selayang pandang--istrinya itu mengalami sakit bocor jantungnya, sehingga bulan madu dihiasi keluar masuk rumah sakit.
Dengan setianya anakku itu merawat istrinya--keluar masuk rumah sakit--selama tiga tahun, luar biasa--termasuk beayanya itu. Anehnya selama sakit itu, diizinkan Allah mengandung, sehingga bisa dibayangkan akan penderitaan itu. Di tengah sakit istrinya itu pernah mengusulkan anakku--namanya Masrur Muhammad--supaya menikah lagi karena dia merasa sudah tidak bisa melayani dari sisi seksualitas: mas--bisiknya--menikahlah lagi, aku sudah tidak sanggup lagi melayanimu. Tetapi mana mungkin hal itu dilakukan Masrur ini--sapalah dia kawan, di FB--di tengah dia memikirkan kemenyeluruhan dari derita ini.
Sebuah keajaiban terjadi, pada posisi semakin akut bocor jantungnya, istrinya itu melahirkan dengan sempurna tanpa bantuan dokter--cukup bidan saja. Setelah beberapa hari melahirkan dia pamit pulang sama Masrur itu: mas--bisiknya--aku pamit pulang. Ternyata yang dia maksud pulang itu, dia meninggal seraya berpesan titip anaknya dan mengusulkan setelah kematiannya segera menikah lagi.
Selama lima tahun ini Masrur membesarkan anak perempuan itu, dan setiap Jum'at sore menziarahi istrinya yang meninggal itu--belum menikah lagi. Ketika aku mendengarkan dia bertutur dengan melihat sendiri kejadiannya, maka ada benang emas yang menghubungkan antara deritanya dengan suasana hatiku. Aku merasakan pengalaman Masrur itu, seperti aku mengalaminya sendiri. Aku bukan saja membayangkan pikiran atau perasaannya, tetapi melibatkan seluruh diriku dalam pengalaman anak santriku itu. Aku mengalaminya sendiri. Inilah yang biasa aku sebut ilmu menghadirkan atau ilmu khudhuri itu.
Dalam ranah Tuhan, kalau kita mengetahui keberadaan Tuhan dengan bukti akal dan dalil-dalil, pengetahuan ini betapapun hebatnya tidak akan bisa mempengaruhi kehidupan kita. Kecuali, ketika kita merasakan atau mengalami kehadiran Tuhan, baru seluruh eksisitensi kita akan mengalami celupan dan akan merasakan perubahan-perubahan.
Kalau kita hanya bisa membahas hadis-hadis namun tidak merasakan perasaan Kanjeng Nabi dan mengalami pengalaman Kanjeng Nabi, maka pengetahuan ini tidak akan mengantarkan pada perubahan diri kita. Lain halnya andai kita menghadirkan dengan cara itu, maka hati bisa berguncang, berdiri bulu kuduk kita, meregang seluruh otot kita--misalnya--mendengar kisah pertemuan beliau dengan Allah itu. Atau merasakan penderitaan yang dahsyat itu, kita terasa sesak nafas serasa langit jatuh menghimpit kita.
Potensi kehadiran ini sebenarnya setiap orang terbekali kemampuan sampai ke situ, tergantung teraktualisasi atau diabaikan. Apakah kisah istrinya Masrur itu bisa menjadikan kita ikut larut dalam kesedihan. Apakah pengalaman istri ketika mengandung anak-anak kita bisa membuat kita ikut dalam kepayahan itu. Apakah ketika nasib masyarakat di sekitar Lapindo, menjadikan kita empati untuk merasakan penderitaan itu. Apakah kita bisa merasakan sebiji nasi mengalami perjalanan panjang dari petani yang menderita itu sepanjang kehidupan negri ini. Apakah kita sedih ketika melihat tv yang menyiarkan kabar-kabar kejahatan dan kabar-kabar fitnah dengan pembeayaan yang mahal itu. Apakah kita tidak pedih merasakan TKI di Hongkong dan TKW di Saudi Arabia itu yang disiksa majikannya dan diperkosa tuannya itu.
Kalau kita tidak tergetar oleh ini semua, itu tanda bahwa ilmu kehadiran belum bisa kita miliki. Kalau kita tidak tergetar oleh siksaan, pengisolasian, pengusiran, ancaman pembunuhan, dan penyerangan terhadap Kanjeng Nabi dan keluarganya serta sahabat-sahabatnya, maka kita tidak akan bisa merasakan secara ruhaniyah atas kehadiran Kanjeng Nabi saw, di hati kita, apalagi kehadiran cintanya....
Kawan-kawan, melihat onta dimuati diluar batas lalu dicambuki saja, Kanjeng Nabi terguncang hatinya, dan malamnya tidak bisa tidur....
Dengan setianya anakku itu merawat istrinya--keluar masuk rumah sakit--selama tiga tahun, luar biasa--termasuk beayanya itu. Anehnya selama sakit itu, diizinkan Allah mengandung, sehingga bisa dibayangkan akan penderitaan itu. Di tengah sakit istrinya itu pernah mengusulkan anakku--namanya Masrur Muhammad--supaya menikah lagi karena dia merasa sudah tidak bisa melayani dari sisi seksualitas: mas--bisiknya--menikahlah lagi, aku sudah tidak sanggup lagi melayanimu. Tetapi mana mungkin hal itu dilakukan Masrur ini--sapalah dia kawan, di FB--di tengah dia memikirkan kemenyeluruhan dari derita ini.
Sebuah keajaiban terjadi, pada posisi semakin akut bocor jantungnya, istrinya itu melahirkan dengan sempurna tanpa bantuan dokter--cukup bidan saja. Setelah beberapa hari melahirkan dia pamit pulang sama Masrur itu: mas--bisiknya--aku pamit pulang. Ternyata yang dia maksud pulang itu, dia meninggal seraya berpesan titip anaknya dan mengusulkan setelah kematiannya segera menikah lagi.
Selama lima tahun ini Masrur membesarkan anak perempuan itu, dan setiap Jum'at sore menziarahi istrinya yang meninggal itu--belum menikah lagi. Ketika aku mendengarkan dia bertutur dengan melihat sendiri kejadiannya, maka ada benang emas yang menghubungkan antara deritanya dengan suasana hatiku. Aku merasakan pengalaman Masrur itu, seperti aku mengalaminya sendiri. Aku bukan saja membayangkan pikiran atau perasaannya, tetapi melibatkan seluruh diriku dalam pengalaman anak santriku itu. Aku mengalaminya sendiri. Inilah yang biasa aku sebut ilmu menghadirkan atau ilmu khudhuri itu.
Dalam ranah Tuhan, kalau kita mengetahui keberadaan Tuhan dengan bukti akal dan dalil-dalil, pengetahuan ini betapapun hebatnya tidak akan bisa mempengaruhi kehidupan kita. Kecuali, ketika kita merasakan atau mengalami kehadiran Tuhan, baru seluruh eksisitensi kita akan mengalami celupan dan akan merasakan perubahan-perubahan.
Kalau kita hanya bisa membahas hadis-hadis namun tidak merasakan perasaan Kanjeng Nabi dan mengalami pengalaman Kanjeng Nabi, maka pengetahuan ini tidak akan mengantarkan pada perubahan diri kita. Lain halnya andai kita menghadirkan dengan cara itu, maka hati bisa berguncang, berdiri bulu kuduk kita, meregang seluruh otot kita--misalnya--mendengar kisah pertemuan beliau dengan Allah itu. Atau merasakan penderitaan yang dahsyat itu, kita terasa sesak nafas serasa langit jatuh menghimpit kita.
Potensi kehadiran ini sebenarnya setiap orang terbekali kemampuan sampai ke situ, tergantung teraktualisasi atau diabaikan. Apakah kisah istrinya Masrur itu bisa menjadikan kita ikut larut dalam kesedihan. Apakah pengalaman istri ketika mengandung anak-anak kita bisa membuat kita ikut dalam kepayahan itu. Apakah ketika nasib masyarakat di sekitar Lapindo, menjadikan kita empati untuk merasakan penderitaan itu. Apakah kita bisa merasakan sebiji nasi mengalami perjalanan panjang dari petani yang menderita itu sepanjang kehidupan negri ini. Apakah kita sedih ketika melihat tv yang menyiarkan kabar-kabar kejahatan dan kabar-kabar fitnah dengan pembeayaan yang mahal itu. Apakah kita tidak pedih merasakan TKI di Hongkong dan TKW di Saudi Arabia itu yang disiksa majikannya dan diperkosa tuannya itu.
Kalau kita tidak tergetar oleh ini semua, itu tanda bahwa ilmu kehadiran belum bisa kita miliki. Kalau kita tidak tergetar oleh siksaan, pengisolasian, pengusiran, ancaman pembunuhan, dan penyerangan terhadap Kanjeng Nabi dan keluarganya serta sahabat-sahabatnya, maka kita tidak akan bisa merasakan secara ruhaniyah atas kehadiran Kanjeng Nabi saw, di hati kita, apalagi kehadiran cintanya....
Kawan-kawan, melihat onta dimuati diluar batas lalu dicambuki saja, Kanjeng Nabi terguncang hatinya, dan malamnya tidak bisa tidur....
Sejoli Cinta
Sedulurku tercinta, sejoli itu pada galipnya dimaknai sepasang atau sejodoh antara laki-laki dan perempuan, tetapi sejoli ini lain karena ada cinta diantara mereka dengan amat kuatnya, sehingga mereka meninggal dalam sepuluh menit selisihnya.
Ada seorang perjaka sampai tua--sekitar 50 tahun--meninggal, sepuluh menit berikutnya Ibunya menyusul, sejoli cinta mati bersama. Perjaka sampai tua itu--dia sedulurku--disebabkan dia merawat Ibunya yang sakit sampai puluhan tahun, Ibu itu umurnya 80 tahun saat meninggal. Aku yakin sedulurku ini menuruti suara dhamirnya, dimana Ibu adalah sosok yang penuh cinta karena dia diwujudkan Tuhan sebagai manifestasi dari jamaliyahNya (keindahanNya), sehinga Kanjeng Nabi menyebut surga itu dibawah telapak kaki Ibunya. Pada sisi yang lain perempuan itu sebenarnya bayang-bayang Tuhan, karena lewat rahimnyalah kita semua ini dititipkan Gusti Allah.
Sedulurku ini orangnya kurus, tinggi badan, sorot mata yang tajam dan punya penyakit bawaan sejak kecil--jantung. Sementara Ibunya punya penyakit misteri, di samping ketuaannya tetapi sakitnya itu misterius karena puluhan tahun tak kunjung sembuh (bersyukurlah bagi yang sehat-sehat saja). Sekandungnya banyak sebenarnya, semua kerja dan berumah tangga di luar kota, luar Jawa. Jadinya dia itu semacam manifestasi cinta Allah kepada Ibunya itu, karena merawat sedemikian rupa, sampai ia matikan syahwatnya sendiri--lupa menikah sampai setua itu.
Aku sendiri ketika menelaah dia, ingat akan seorang pemuda yang menawarkan diri mau ikut hijrah ke Madinah, saat itu Kanjeng Nabi saw bertanya: masihkah kamu punya seorang Ibu? Masih Ya Rasulallah--jawab pemuda itu--malah sekarang baru sakit dan saat aku pamiti beliau menangis. Dengan kearifan cinta beliau, beliau menyatakan: kamu tidak usah ikut hijrah aku, rawatlah Ibumu pahalamu sama dengan hijrahku, buatlah Ibumu tersenyum sebagaimana engkau telah membuatnya menangis.
Kalau aku ketemu dia kala menjenguk Ibunya, memastikan aku ingat akan pemuda yang sowan Kanjeng Nabi saw itu. Ketika aku menatapnya, aku musti yang tertunduk malu--bahkan meneteskan air mata--karena aku lihat dia: memasakkan, mencuci, membersihkan rumah, menyuapi, memandikan, menceboki, memijiti, meminumi dengan sepenuh keikhlasan, kepada Ibunya tersayang itu. Hampir tidak ada waktu berpisah dengan Ibu itu, seluruh jasad dan hatinya dipersembahkan kepada Ibunya, kalau Ibunya tertidur dia tidur juga di sisi ranjang Ibunya.
Sempat berbisik lembut kepadaku Ibu itu: Nak Kiai, anakku ini cintanya kepadaku sedemikian tulus, dengannya aku merasakan kehadiran cinta Gusti Allah, aku menjadi saksi bahwa dialah anak yang sepantasnya memperoleh surga di sisiNya. Aku menangis mendengarnya, aku menangis malu: bisakah diriku semacam anak ini. Soal do'a, bukankah tidak ada do'a yang melebihi keramatnya dari do'a seorang Ibu.
Ternyata yang semakin parah sakitnya itu, anak yang soleh ini, sehingga ia menjemput ajal disisi Ibunya ini, dia telah sempurna melaksanakan cinta. Ketika derai tangis dan airmata di rumah Ibu itu terjadi karena meningalnya anak perjaka tua, selang sepuluh menit berikutnya Ibunya itu tidak menangis, dengan sesungging senyum dibibir tuanya: Ibu itu menyusul anak cinta itu, meninggal juga.
Rumah ini bagai khotbah kepada manusia, khotbah cinta, semua pelayat mulutnya terkatup, andai bicara banyak yang mengeluarkan airmata. Rata-rata aku lihat semua tertunduk malu--termasuk aku--yang didera dan digedor hatinya bisakah aku seperti anak perjaka tua itu, aku malu, aku malu, aku malu!!!!!!!....
Kawan-kawan, prosesi pemakaman sedemikian melimpah, satu rumah meninggal bersamaan, dunia mana hal ini bisa terjadi kalau bukan saat musibah besar melanda. Aku merasa tidak hanya pelayat yang melimpah tetapi para malaikat, ruh-ruh suci bahkan Alllah sendiri tersenyum menyaksikan peradaban agung saat itu. Ketika aku melihat penguburan beliau berdua berdampingan, lalu aku yang diminta menalkinnya, aku tidak kuasa menalkin dengan suara, aku menalkinnya dengan airmata terhadap sejoli cinta ini....
Ada seorang perjaka sampai tua--sekitar 50 tahun--meninggal, sepuluh menit berikutnya Ibunya menyusul, sejoli cinta mati bersama. Perjaka sampai tua itu--dia sedulurku--disebabkan dia merawat Ibunya yang sakit sampai puluhan tahun, Ibu itu umurnya 80 tahun saat meninggal. Aku yakin sedulurku ini menuruti suara dhamirnya, dimana Ibu adalah sosok yang penuh cinta karena dia diwujudkan Tuhan sebagai manifestasi dari jamaliyahNya (keindahanNya), sehinga Kanjeng Nabi menyebut surga itu dibawah telapak kaki Ibunya. Pada sisi yang lain perempuan itu sebenarnya bayang-bayang Tuhan, karena lewat rahimnyalah kita semua ini dititipkan Gusti Allah.
Sedulurku ini orangnya kurus, tinggi badan, sorot mata yang tajam dan punya penyakit bawaan sejak kecil--jantung. Sementara Ibunya punya penyakit misteri, di samping ketuaannya tetapi sakitnya itu misterius karena puluhan tahun tak kunjung sembuh (bersyukurlah bagi yang sehat-sehat saja). Sekandungnya banyak sebenarnya, semua kerja dan berumah tangga di luar kota, luar Jawa. Jadinya dia itu semacam manifestasi cinta Allah kepada Ibunya itu, karena merawat sedemikian rupa, sampai ia matikan syahwatnya sendiri--lupa menikah sampai setua itu.
Aku sendiri ketika menelaah dia, ingat akan seorang pemuda yang menawarkan diri mau ikut hijrah ke Madinah, saat itu Kanjeng Nabi saw bertanya: masihkah kamu punya seorang Ibu? Masih Ya Rasulallah--jawab pemuda itu--malah sekarang baru sakit dan saat aku pamiti beliau menangis. Dengan kearifan cinta beliau, beliau menyatakan: kamu tidak usah ikut hijrah aku, rawatlah Ibumu pahalamu sama dengan hijrahku, buatlah Ibumu tersenyum sebagaimana engkau telah membuatnya menangis.
Kalau aku ketemu dia kala menjenguk Ibunya, memastikan aku ingat akan pemuda yang sowan Kanjeng Nabi saw itu. Ketika aku menatapnya, aku musti yang tertunduk malu--bahkan meneteskan air mata--karena aku lihat dia: memasakkan, mencuci, membersihkan rumah, menyuapi, memandikan, menceboki, memijiti, meminumi dengan sepenuh keikhlasan, kepada Ibunya tersayang itu. Hampir tidak ada waktu berpisah dengan Ibu itu, seluruh jasad dan hatinya dipersembahkan kepada Ibunya, kalau Ibunya tertidur dia tidur juga di sisi ranjang Ibunya.
Sempat berbisik lembut kepadaku Ibu itu: Nak Kiai, anakku ini cintanya kepadaku sedemikian tulus, dengannya aku merasakan kehadiran cinta Gusti Allah, aku menjadi saksi bahwa dialah anak yang sepantasnya memperoleh surga di sisiNya. Aku menangis mendengarnya, aku menangis malu: bisakah diriku semacam anak ini. Soal do'a, bukankah tidak ada do'a yang melebihi keramatnya dari do'a seorang Ibu.
Ternyata yang semakin parah sakitnya itu, anak yang soleh ini, sehingga ia menjemput ajal disisi Ibunya ini, dia telah sempurna melaksanakan cinta. Ketika derai tangis dan airmata di rumah Ibu itu terjadi karena meningalnya anak perjaka tua, selang sepuluh menit berikutnya Ibunya itu tidak menangis, dengan sesungging senyum dibibir tuanya: Ibu itu menyusul anak cinta itu, meninggal juga.
Rumah ini bagai khotbah kepada manusia, khotbah cinta, semua pelayat mulutnya terkatup, andai bicara banyak yang mengeluarkan airmata. Rata-rata aku lihat semua tertunduk malu--termasuk aku--yang didera dan digedor hatinya bisakah aku seperti anak perjaka tua itu, aku malu, aku malu, aku malu!!!!!!!....
Kawan-kawan, prosesi pemakaman sedemikian melimpah, satu rumah meninggal bersamaan, dunia mana hal ini bisa terjadi kalau bukan saat musibah besar melanda. Aku merasa tidak hanya pelayat yang melimpah tetapi para malaikat, ruh-ruh suci bahkan Alllah sendiri tersenyum menyaksikan peradaban agung saat itu. Ketika aku melihat penguburan beliau berdua berdampingan, lalu aku yang diminta menalkinnya, aku tidak kuasa menalkin dengan suara, aku menalkinnya dengan airmata terhadap sejoli cinta ini....
Arang Cinta
Sedulurku tercinta, dalam pengembaraan Rendra di hutan rimba, dia menemukan sorang yang sangat sederhana penampilannya, jauh dari media masa, jauh dari seremonial agama, jauh dari kekuasaan negara--cedak watu adoh ratu--tetapi memiliki kesadaran penggapaian langit yang tak bertepi.
Seseorang itu jauh dari supremasi apa saja, yang di kota--konon--tempat orang-orang pintar bermukim, menjadikan kepintarannya, merupakan kebodohannya yang nampak. Hal ini terbukti dari hutan dan dusun orang setor kepada kota untuk segala kerakusannya, dari kota setor kebijakan yang bikin orang desa--termasuk hutan itu--terkoyak ketenangannya.
Semuanya ini tentu diketahui oleh seorang Begawan sastra sekelas Rendra itu. Rendra mengamati sepenuh hati kegiatannya ini, ya kegiatan orang kecil tapi berjiwa besar. Kebesarannya bukan karena seorang bintang, bukan karena seorang pejabat, bukan seorang rohaniawan, tetapi orang ini seorang pekerja, pelaku sejarah--bukan pencerita. Yang berkata bagi orang ini adalah perbuatannya, bukan perbuatannya yang berkata-kata.
Kegigihan semacam ini--di mata Rendra--merupakan percontohan bahwa betapa penting orang itu memiliki sebuah pekerjaan, orang itu melibatkan diri dalam persembahan gerak sejarah--jadi orang bermartabat. Selepas subuh, dia berangkat ke hutan membawa pikulan yang digantungi dua keranjang, umurnya sudah 70 tahun, sesampai di hutan dia menghadapi gundukan tanah yang di sela-sela tanah itu menyembul asap, orang itu terlihat gesit dan lincah. Dibalik gundukan yang berasap, ada sepikul arang yang malam nanti akan ia bawa ke kota, setor kepada pelanggannya.
Di sela-sela seharian mengorek sepikul arang itu--dilihat Rendra--ia melakukan sembahyang tanpa melihat jam, hanya isyarat alam dan bersajadahkan lembara daun pisang--di atas rumput. Dalam pandangan Rendra, ternyata lengkung langit itu bagai kubah masjid yang amat besar, dan kala bersujud di atas selembar pisang, orang itu menjadi hilang dalam arti tidak sebanding dengan besarnya lengkung langit itu, ia dipandang fana.
Pada senja sebelum pulang terjadilah dialog antar Rendra dengan penjual arang yang sudah sepuh itu. Apa cita-cita mBah sesepuh ini dalam hidup--tanya Renda. Maka dijawab dengan polos oleh penjual arang yang sudah 45 tahun menggeluti bikin dan menjual arang itu: saya masih selalu berusaha sekuat hati dan tenaga membuat arang yang semakin bagus dari hari-hari kemaren--katanya. Jawaban sederhana dan spontan inilah yang menjadikan Rendra ambruk hatinya, sehingga ia mengakui ada berubahan semakin maju keberagamaannya setelah memperoleh jawaban dalam pengembaraannya di hutan itu.
Kisah yang diceritakan Rendra ini bila dikaitkan dengan kerangka tekstual sangat-sangat indah, karena yang mau ditembak oleh penjuan arang ini pada dasarnya adalah dia tidak ingin membikin kecewa orang, malah supaya pelanggannya tambah gembira lagi dengan produknya yang semakin berkualias tak terbatas penggapaiannya itu. Bila dilacak lebih mendalam lagi bahwa penjual arang itu memiliki keikhlasan dalam bekerja, dan itu pengaruhnya terhadap hati konsumen amat memberkahi.
Hal-hal kecil bisa dilatih, ketika memasak Ibu-ibu itu tidak sekedar mengandalkan mahal bumbunya, tetapi bumbu itu harus bersumber pada racian cinta yang berasal dari hati itu, dengan mengandaikan setelah masakannya matang yang akan mencicipi adalah kekasihnya. Senada dengan Rumi, yang menerangkan pekerja pemintal kain tidak sekedar benang kapas itu, melainkan ulurlah benang itu dari hati, dengan mengandaikan selembar kain itu kalau jadi busana yang akan memakai adalah kekasihnya. Setiap orang manakala bekerja dengan cara seperti ini, maka ia akan memliki percikan cahaya--seperti tukang arang itu--hingga menjadikan orang sekelas Rendra menjadi luruh hatinya, dan menjadi titik perubahan yang semakin dekat dengan Tuhan.
Berkaca terhadap kisah Rendra ini, aku mengetik kata-kata pun mengandaikan, yang akan membaca adalah kekasihku, ya anda itu….
Seseorang itu jauh dari supremasi apa saja, yang di kota--konon--tempat orang-orang pintar bermukim, menjadikan kepintarannya, merupakan kebodohannya yang nampak. Hal ini terbukti dari hutan dan dusun orang setor kepada kota untuk segala kerakusannya, dari kota setor kebijakan yang bikin orang desa--termasuk hutan itu--terkoyak ketenangannya.
Semuanya ini tentu diketahui oleh seorang Begawan sastra sekelas Rendra itu. Rendra mengamati sepenuh hati kegiatannya ini, ya kegiatan orang kecil tapi berjiwa besar. Kebesarannya bukan karena seorang bintang, bukan karena seorang pejabat, bukan seorang rohaniawan, tetapi orang ini seorang pekerja, pelaku sejarah--bukan pencerita. Yang berkata bagi orang ini adalah perbuatannya, bukan perbuatannya yang berkata-kata.
Kegigihan semacam ini--di mata Rendra--merupakan percontohan bahwa betapa penting orang itu memiliki sebuah pekerjaan, orang itu melibatkan diri dalam persembahan gerak sejarah--jadi orang bermartabat. Selepas subuh, dia berangkat ke hutan membawa pikulan yang digantungi dua keranjang, umurnya sudah 70 tahun, sesampai di hutan dia menghadapi gundukan tanah yang di sela-sela tanah itu menyembul asap, orang itu terlihat gesit dan lincah. Dibalik gundukan yang berasap, ada sepikul arang yang malam nanti akan ia bawa ke kota, setor kepada pelanggannya.
Di sela-sela seharian mengorek sepikul arang itu--dilihat Rendra--ia melakukan sembahyang tanpa melihat jam, hanya isyarat alam dan bersajadahkan lembara daun pisang--di atas rumput. Dalam pandangan Rendra, ternyata lengkung langit itu bagai kubah masjid yang amat besar, dan kala bersujud di atas selembar pisang, orang itu menjadi hilang dalam arti tidak sebanding dengan besarnya lengkung langit itu, ia dipandang fana.
Pada senja sebelum pulang terjadilah dialog antar Rendra dengan penjual arang yang sudah sepuh itu. Apa cita-cita mBah sesepuh ini dalam hidup--tanya Renda. Maka dijawab dengan polos oleh penjual arang yang sudah 45 tahun menggeluti bikin dan menjual arang itu: saya masih selalu berusaha sekuat hati dan tenaga membuat arang yang semakin bagus dari hari-hari kemaren--katanya. Jawaban sederhana dan spontan inilah yang menjadikan Rendra ambruk hatinya, sehingga ia mengakui ada berubahan semakin maju keberagamaannya setelah memperoleh jawaban dalam pengembaraannya di hutan itu.
Kisah yang diceritakan Rendra ini bila dikaitkan dengan kerangka tekstual sangat-sangat indah, karena yang mau ditembak oleh penjuan arang ini pada dasarnya adalah dia tidak ingin membikin kecewa orang, malah supaya pelanggannya tambah gembira lagi dengan produknya yang semakin berkualias tak terbatas penggapaiannya itu. Bila dilacak lebih mendalam lagi bahwa penjual arang itu memiliki keikhlasan dalam bekerja, dan itu pengaruhnya terhadap hati konsumen amat memberkahi.
Hal-hal kecil bisa dilatih, ketika memasak Ibu-ibu itu tidak sekedar mengandalkan mahal bumbunya, tetapi bumbu itu harus bersumber pada racian cinta yang berasal dari hati itu, dengan mengandaikan setelah masakannya matang yang akan mencicipi adalah kekasihnya. Senada dengan Rumi, yang menerangkan pekerja pemintal kain tidak sekedar benang kapas itu, melainkan ulurlah benang itu dari hati, dengan mengandaikan selembar kain itu kalau jadi busana yang akan memakai adalah kekasihnya. Setiap orang manakala bekerja dengan cara seperti ini, maka ia akan memliki percikan cahaya--seperti tukang arang itu--hingga menjadikan orang sekelas Rendra menjadi luruh hatinya, dan menjadi titik perubahan yang semakin dekat dengan Tuhan.
Berkaca terhadap kisah Rendra ini, aku mengetik kata-kata pun mengandaikan, yang akan membaca adalah kekasihku, ya anda itu….
Sabtu, 24 Juli 2010
Trio Cinta
Sedulurku tercinta, ketika aku mewakili Cak Nun ke Hongkong--dua kali--maka sepertinya aku ditunjukkan pada kenyataan bahwa kemesraan yang kita miliki--di Indonesia, jawa khususnya--itu menjadi barang yang mahal harganya. Aku rasakan di Hongkong itu--tidak menutup kemungkinan di tempat lain--serba otomatis, serba teknis dan serba yang lain. Tetapi, ketika aku malam-malam keluyuran di kafe-kefe sepertinya menjadi bukti bahwa apa yang menjadi puncak peradaban lahiriyah manakala tidak diimbangi perkembangan batiniyah, maka akan melahirkan tragedi kemanusiaan.
Makanya tidak aneh, kalau di sini (Hongkong) sering terdengar bunuh diri dengan cara menjatuhkan dari apartemen--di sana adanya rumah susun. Sama halnya dengan tragedi di Amerika--aku tahu sendiri lewat televisi--banyak polisi menangkap dokter yang melakukan suntik mati (eutanasia), setelah mengalami kesepian itu.
Bila ternyata kebijakan negara ini hanya mengarah pada kiblat seperti itu peradabannya, maka tidak menutup kemungkinan anak cucu kita akan mengalami keterasingan yang sama, ujungnya akan mengalami tragedi yang sama--gampang bunuh diri itu. Bila hal ini dikaji maka tidak sulit melacaknya, karena gejala umum bisa dilihat di kampung-kampung kita. Misalnya petani membajaknya pakai traktor, gergaji pakai senso, menimba pakai pompa otomatis, masak pakai listrik, mencuci pakai mesin, menyambal pakai blender, nulis pakai komputer, mengeringkan rambut pakai hair driyer, kemana-mana pakai: motor, mobil dan pesawat.
Semua sarana ini pada intinya mempermudah cara manusia memenuhi kebutuhannya. Lihatlah lagi peralatan yang serba digital itu: tv, Ac, tape, dan lain sebagainya itu. Ada lagi yang mengarah kepada disfungsi pria wanita karena adanya penis elektrik dan vagina elekrtik--maaf sebelumnnya. Sampai pada hal-hal kecil misalnya sikat gigi elektrik, makanya kalau membersihkan gigi cukup mringis saja akan selesai bagai cucian mobil yang serba digital itu.
Produk otomatisasi peradaban ini buktinya menciptakan--disamping pengangguran--kesepian akut manusia yang aku sebut adanya gejala pringisisasi peradaban dan lholak-lholoisasi kemanusiaan. Padahal tidak ada obat lain tragedi ini kecuali kembali memanggil peranan agama dalam kehidupan ini. Cuma keberagamaan model apa yang bisa menjawab tantangan sejarah ini mnjadi agenda yang harus terus menerus direnungkan. Karena banyak yang menganalisa bahwa tokoh agama itu suka gelar-gelar panjang dan rasanya menjadi tidak enak, karena banyak yang dihinggapi perasaan yang berlebih-lebihan.
Agama itu sendiri disangka banyak pakar sebagai gejala penyakit jiwa, pesimisme dan sikap menyedihkan sebagai cerminan depresi--dengan bukti adanya emosi yang tidak stabil bagi pemeluknya. Namun tidak seluruh pakar sependapat dengan asumsi ini, justru banyak juga yang membuktikan bahwa beragama akan menjadikan lebih sehat mentalnya daripada orang-orang yang tidak beragama.
Lihatlah bila Kristen memandang kasih sebagai tonggak agamanya, Hindu Budha memandang dharma sebagai pondasi nilainya, Islam memandang silaturrahmi sebagai dimensi amat sangat penting ajarannya. Aku--sebagai muslim--merasa bahwa fakta yang tak terbantahkan tentang tragedi sejarah itu, bisa diatasi bersama-sama dengan pemeluk agama lain, yang memakai pola pendekatan holistik, dimana agama jangan sekedar larut didalam dominasi ritualitas, tetapi harus dibenturkan dengan bentuk pengentasan dengan tindakan yang sesuai kemampuannya masing-masing.
Aku yakin, selalu masih ada cahaya, selalu masih ada harapan atas terciptanya kebahagiaan spirutual, sebagai keseimbangan hdup--lahir dan batin--disamping material dan spiritual itu. Aku yakin setiap agama memiliki konsep seruan Sang Ruh, yang digambarkan oleh Jalaludin Rumi bagai seruling, dimana jiwa manusia melengking sebagi gemboran ridu untuk kembali ke rumpun bambu itu. Solusi tragedi dalam Islam bisa dilihat dalam tiga hal, yakni: iman, islam dan ikhsan.
Iman adalah dimesi kepercayaan lalu memunculkan ajaran teologi atau usuluddin. Islam merupakan aspek peraturan yang dikenal dengan nama syari'ah itu, kemudian dalam menghadapi benturan sejarah menjadi disiplin ilmu fikih dan usul fikih. Sedangkan Ihkhsan menekankan pada kualitas peribadatan dan kepribadian yang berlandaskan spiritualita tinggi, yang kemudia menjadi tasawuf itu, sehingga seseorang yang menyembah Tuhan seakan-akan melihatNya. Semua ini merupakan bentuk kasih sayang Tuhan, agar manusia bisa merasakan cercapan samudra CintaNya, inilah trio Cinta itu….
Makanya tidak aneh, kalau di sini (Hongkong) sering terdengar bunuh diri dengan cara menjatuhkan dari apartemen--di sana adanya rumah susun. Sama halnya dengan tragedi di Amerika--aku tahu sendiri lewat televisi--banyak polisi menangkap dokter yang melakukan suntik mati (eutanasia), setelah mengalami kesepian itu.
Bila ternyata kebijakan negara ini hanya mengarah pada kiblat seperti itu peradabannya, maka tidak menutup kemungkinan anak cucu kita akan mengalami keterasingan yang sama, ujungnya akan mengalami tragedi yang sama--gampang bunuh diri itu. Bila hal ini dikaji maka tidak sulit melacaknya, karena gejala umum bisa dilihat di kampung-kampung kita. Misalnya petani membajaknya pakai traktor, gergaji pakai senso, menimba pakai pompa otomatis, masak pakai listrik, mencuci pakai mesin, menyambal pakai blender, nulis pakai komputer, mengeringkan rambut pakai hair driyer, kemana-mana pakai: motor, mobil dan pesawat.
Semua sarana ini pada intinya mempermudah cara manusia memenuhi kebutuhannya. Lihatlah lagi peralatan yang serba digital itu: tv, Ac, tape, dan lain sebagainya itu. Ada lagi yang mengarah kepada disfungsi pria wanita karena adanya penis elektrik dan vagina elekrtik--maaf sebelumnnya. Sampai pada hal-hal kecil misalnya sikat gigi elektrik, makanya kalau membersihkan gigi cukup mringis saja akan selesai bagai cucian mobil yang serba digital itu.
Produk otomatisasi peradaban ini buktinya menciptakan--disamping pengangguran--kesepian akut manusia yang aku sebut adanya gejala pringisisasi peradaban dan lholak-lholoisasi kemanusiaan. Padahal tidak ada obat lain tragedi ini kecuali kembali memanggil peranan agama dalam kehidupan ini. Cuma keberagamaan model apa yang bisa menjawab tantangan sejarah ini mnjadi agenda yang harus terus menerus direnungkan. Karena banyak yang menganalisa bahwa tokoh agama itu suka gelar-gelar panjang dan rasanya menjadi tidak enak, karena banyak yang dihinggapi perasaan yang berlebih-lebihan.
Agama itu sendiri disangka banyak pakar sebagai gejala penyakit jiwa, pesimisme dan sikap menyedihkan sebagai cerminan depresi--dengan bukti adanya emosi yang tidak stabil bagi pemeluknya. Namun tidak seluruh pakar sependapat dengan asumsi ini, justru banyak juga yang membuktikan bahwa beragama akan menjadikan lebih sehat mentalnya daripada orang-orang yang tidak beragama.
Lihatlah bila Kristen memandang kasih sebagai tonggak agamanya, Hindu Budha memandang dharma sebagai pondasi nilainya, Islam memandang silaturrahmi sebagai dimensi amat sangat penting ajarannya. Aku--sebagai muslim--merasa bahwa fakta yang tak terbantahkan tentang tragedi sejarah itu, bisa diatasi bersama-sama dengan pemeluk agama lain, yang memakai pola pendekatan holistik, dimana agama jangan sekedar larut didalam dominasi ritualitas, tetapi harus dibenturkan dengan bentuk pengentasan dengan tindakan yang sesuai kemampuannya masing-masing.
Aku yakin, selalu masih ada cahaya, selalu masih ada harapan atas terciptanya kebahagiaan spirutual, sebagai keseimbangan hdup--lahir dan batin--disamping material dan spiritual itu. Aku yakin setiap agama memiliki konsep seruan Sang Ruh, yang digambarkan oleh Jalaludin Rumi bagai seruling, dimana jiwa manusia melengking sebagi gemboran ridu untuk kembali ke rumpun bambu itu. Solusi tragedi dalam Islam bisa dilihat dalam tiga hal, yakni: iman, islam dan ikhsan.
Iman adalah dimesi kepercayaan lalu memunculkan ajaran teologi atau usuluddin. Islam merupakan aspek peraturan yang dikenal dengan nama syari'ah itu, kemudian dalam menghadapi benturan sejarah menjadi disiplin ilmu fikih dan usul fikih. Sedangkan Ihkhsan menekankan pada kualitas peribadatan dan kepribadian yang berlandaskan spiritualita tinggi, yang kemudia menjadi tasawuf itu, sehingga seseorang yang menyembah Tuhan seakan-akan melihatNya. Semua ini merupakan bentuk kasih sayang Tuhan, agar manusia bisa merasakan cercapan samudra CintaNya, inilah trio Cinta itu….
Do'a Cinta
Sedulurku tercinta, ketika aku berdo'a untukmu semua terasa olehku, aku meniti puncak seluruh ibadahku, karena Kanjeng Nabi menyatakan seperti itu: do'a itu inti atau otaknya ibadah. Dalam ranah Tauhid bisa dilihat peristiwa Ibrahim tidak mau berdo'a, beliau menyatakan: Dia tahu akan diriku. Tetapi Kanjeng Nabi sendiri itu orang yang abadi dalam permohonan kepadaNya (langgeng penyuwune dateng Gusti).
Aku menyadari, sesuatu telah tertulis dalam takdir abadi, namun dalam hubungan kekasih dengan Kekasih, do'a melahirkan kemesraan kepadaNya yang luar biasa, aku sedemikian manja dalam keintiman itu. Aku merasa dalam do'a itu bagian dari dambaan perjumpaan, dibalik kelelahan larinya hatiku kepadaNya. Aku pandang Dia dengan mata hatiku, bahagia sekali: mengejar, mengenal, melihat dan mendekat kepadaNYa.
Aku pada posisi itu tidak melihat siapapun, kecuali Dia. Pada detik yang sama, sepertinya Dia menunjukkan semua milikNya, seraya memerintahkan: sapalah semuanya tidak sekedar kata tetapi dengan sepenuh hati melayani. Do'a dalam ranah kongkrit bisa berwujud krenteg atau bahasa, namun dalam ranah abstrak: bergelepotan dengan pelayanan--karena Dia itu. Do'a seperti ini aku pahami dengan resiko: hilangnya diriku, aku tidak ada.
Ya, kalau boleh aku menjerit, memekik: aku tidak ada!!! Kesadaran ini menjadikan tenaga tak bertepi, melintasi ruang dan waktu. Begitu melihat semua milikNya, ada dua suasana: suka dan duka. Bagi yang dirundung suka dalam bentuk apa saja aku ikut merasakan bahagia, aku tersenyum sampai meneteskan air mata--kebahagiaan tiada tara. Namun bagi yang sedang--malah kadang2--dirundung duka cita, aku larut dalam tangis mereka dengan merasa tidak tega, yang aku usahakan bagimana cara membebaskan derita itu.
Sekiranya aku dapat mati demi semua umat manusia sehinga aku tidak perlu lagi menunggu kematian. Sekiranya saja aku dapat membasuh semua dosa manusia, sehinga di Hari Pembalasan mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Sekiranya saja aku dapat menanggung penderitaan hidup semua manusia di dunia dan di akhirat nanti, sehingga mereka bahagia dan diselamatkan dari api neraka. Inilah jeritanku ketika aku berdo'a: sekiranya aku melimpahkan kepada hatiku, semua derita dan duka yang membebani hati-hati manusia, agar mereka terlepas dari kesedihan.
Aku sebenarnya hanya menguasahi sedikit dari sedikitnya ilmu, namun aku butuh untuk mengalami semua ini. Sehingga--ketahuilah kawan--dalam keintiman denganNya dalam alam benda ini tidak dapat aku usung, kecuali pada apapun aku benturkan diriku kepada pelayanan ini--menjadi Cahaya. Aku sambung bagi siapa saja yang memutuskan dengan diriku, aku sapa siapa saja yang mendiamkanku, aku maafkan kesalahan siapa saja sebelum meminta maaf kepadaku, aku singkirkan duri supaya tidak mengenahi kaki saudara, aku datangi walau mereka tidak mengundangnya, aku jenguk sakit mereka, aku, aku, aku, aku, aku.
Aku berikan apa saja yang paling aku senangi kepada mereka, karena mereka dalam hidupku bukan orang lain, mereka semua milikNya, milikNya, milikNya. Tidak ada yang hilang dalam hidupku, karena aku tidak punya apa-apa, apalagi hakekatnya aku tidak ada itu. Kegigihanku ini toh hanya sementara waktu, ya hanya sementara waktu, sebagai obat rindu kawan, aku butuh kamu semua sebagai raja dalam hatiku, kesementaraan ini hanya lintasan pelayanan, kalau kawan semua tersenyum--aku lihat Dia tersenyum.
Disinilah aku pada ujungnya menjadi pengemis profesianal, aku mulai meminta-minta kepada Dia dengan do'a-do'a seperti itu, kata dan tindakan nyata. Do'a tidak lagi lidah dan hati, tetapi aku berusaha seluruh tubuh ini menjadi ungkapan do'a, kalau kita mau rukun bersama dengan tindakan kemuliaan kemanusiaan dan tidak tersekat oleh kepentingan ego, maka semesta ini menjadi ungkapan do'a melangit tak bertepi itu. Kalau pas aku tidak punya apa-apa, akan aku jual serbanku, akan aku jual jubahku, akan aku hutangkan dengan tanggunganku, akan aku gadaikan gelang kalung istriku….
Kawan-kawan, ada yang bertanya kepadaku--termasuk anak istriku: apa maksudmu dengan semuanya ini? Aku menjawab dengan berbisik d itelinga mereka: maafkan aku, lihatlah aku, jangan tanyakan tentangku….
Aku menyadari, sesuatu telah tertulis dalam takdir abadi, namun dalam hubungan kekasih dengan Kekasih, do'a melahirkan kemesraan kepadaNya yang luar biasa, aku sedemikian manja dalam keintiman itu. Aku merasa dalam do'a itu bagian dari dambaan perjumpaan, dibalik kelelahan larinya hatiku kepadaNya. Aku pandang Dia dengan mata hatiku, bahagia sekali: mengejar, mengenal, melihat dan mendekat kepadaNYa.
Aku pada posisi itu tidak melihat siapapun, kecuali Dia. Pada detik yang sama, sepertinya Dia menunjukkan semua milikNya, seraya memerintahkan: sapalah semuanya tidak sekedar kata tetapi dengan sepenuh hati melayani. Do'a dalam ranah kongkrit bisa berwujud krenteg atau bahasa, namun dalam ranah abstrak: bergelepotan dengan pelayanan--karena Dia itu. Do'a seperti ini aku pahami dengan resiko: hilangnya diriku, aku tidak ada.
Ya, kalau boleh aku menjerit, memekik: aku tidak ada!!! Kesadaran ini menjadikan tenaga tak bertepi, melintasi ruang dan waktu. Begitu melihat semua milikNya, ada dua suasana: suka dan duka. Bagi yang dirundung suka dalam bentuk apa saja aku ikut merasakan bahagia, aku tersenyum sampai meneteskan air mata--kebahagiaan tiada tara. Namun bagi yang sedang--malah kadang2--dirundung duka cita, aku larut dalam tangis mereka dengan merasa tidak tega, yang aku usahakan bagimana cara membebaskan derita itu.
Sekiranya aku dapat mati demi semua umat manusia sehinga aku tidak perlu lagi menunggu kematian. Sekiranya saja aku dapat membasuh semua dosa manusia, sehinga di Hari Pembalasan mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Sekiranya saja aku dapat menanggung penderitaan hidup semua manusia di dunia dan di akhirat nanti, sehingga mereka bahagia dan diselamatkan dari api neraka. Inilah jeritanku ketika aku berdo'a: sekiranya aku melimpahkan kepada hatiku, semua derita dan duka yang membebani hati-hati manusia, agar mereka terlepas dari kesedihan.
Aku sebenarnya hanya menguasahi sedikit dari sedikitnya ilmu, namun aku butuh untuk mengalami semua ini. Sehingga--ketahuilah kawan--dalam keintiman denganNya dalam alam benda ini tidak dapat aku usung, kecuali pada apapun aku benturkan diriku kepada pelayanan ini--menjadi Cahaya. Aku sambung bagi siapa saja yang memutuskan dengan diriku, aku sapa siapa saja yang mendiamkanku, aku maafkan kesalahan siapa saja sebelum meminta maaf kepadaku, aku singkirkan duri supaya tidak mengenahi kaki saudara, aku datangi walau mereka tidak mengundangnya, aku jenguk sakit mereka, aku, aku, aku, aku, aku.
Aku berikan apa saja yang paling aku senangi kepada mereka, karena mereka dalam hidupku bukan orang lain, mereka semua milikNya, milikNya, milikNya. Tidak ada yang hilang dalam hidupku, karena aku tidak punya apa-apa, apalagi hakekatnya aku tidak ada itu. Kegigihanku ini toh hanya sementara waktu, ya hanya sementara waktu, sebagai obat rindu kawan, aku butuh kamu semua sebagai raja dalam hatiku, kesementaraan ini hanya lintasan pelayanan, kalau kawan semua tersenyum--aku lihat Dia tersenyum.
Disinilah aku pada ujungnya menjadi pengemis profesianal, aku mulai meminta-minta kepada Dia dengan do'a-do'a seperti itu, kata dan tindakan nyata. Do'a tidak lagi lidah dan hati, tetapi aku berusaha seluruh tubuh ini menjadi ungkapan do'a, kalau kita mau rukun bersama dengan tindakan kemuliaan kemanusiaan dan tidak tersekat oleh kepentingan ego, maka semesta ini menjadi ungkapan do'a melangit tak bertepi itu. Kalau pas aku tidak punya apa-apa, akan aku jual serbanku, akan aku jual jubahku, akan aku hutangkan dengan tanggunganku, akan aku gadaikan gelang kalung istriku….
Kawan-kawan, ada yang bertanya kepadaku--termasuk anak istriku: apa maksudmu dengan semuanya ini? Aku menjawab dengan berbisik d itelinga mereka: maafkan aku, lihatlah aku, jangan tanyakan tentangku….
Bangkrut Cinta
Sedulurku tercinta, kesalehan individual ternyata sagat-sangat menghawatirkan sebelum teruji dalam kesalehan sosial. Kanjeng Nabi saw sendiri memakai parameter yang tidak kepalang tanggung: sebaik-baik manusia itu yang lebih bermanfaat bagi sesama manusia. Lagi--dari beliau: Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang lebih bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang lain dicintai oleh Allah adalah orang yang bisa bikin seneng saudaranya.
Pada ujungnya agama diturunkan--lewat para kekasihNya--supaya memandu manusia dan membahagiakan manusia. Termasuk Qur'an sendiri diturunkan sebagai petunjuk buat manusia--hudan linnaas. Alam dicipta, ternyata dipersembahkan untuk memberi kenikmatan kepada manusia. Manusia disamping dicipta sebaik kejadian, dia mendapatkan tugas kekhalifahan di bumi ini, wakil Tuhan di bumi untuk memayu hayuning jagat (merawat alam).
Dalam reposisi ini manusia harus menyerap ajaran-ajaran agama dalam kerangka memegahkan jiwanya, agar sedemikian telaten menghadapi tantangan-tantangan sejarah dunia. Apa yang terjadi? Dalam banyak kasus justru agama dijadikan sarana untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya secara pribadi dan kelompoknya. Keadaan ini sudah disinyalir Kanjeng Nabi: Tahukah kamu orang yang bangkrut itu ? Ada sahabat yang menjawab kala itu: orang yang berdagang tidak menghasilkan duit (dirham). Bukan--sahut Kanjeng Nabi--orang yang bangkrut adalah orang mati membawa pahala shalat, membawa pahala zakat dan membawa pahala puasa tetapi besok pada hari kiamat, pahala-pahala itu akan terkikis oleh dosa-dosa sosialnya.
Orang mengira pahala-pahala ritual ini akan mengantarkan mereka ke sorga, namun kenyataan dalam timbangan nanti mereka pada ujungnya akan dilemparkan ke neraka. Antrean sedemikian panjang minta pengadilan di sisiNya: Ya Allah, orang ini pernah mengalirkan darahku, orang ini pernah menfitnahku, orang ini pernah mengkhianatku, orang ini pernah mengingkari janji kepadaku, orang ini pernah menipuku, orang ini pernah menuduhku, orang ini pernah mengambil hak-hakku, orang ini pernah, pernah, pernah, pernah.
Setelah pahala ritual dihabiskan untuk menebus dosa sosial, sementara masih banyak antrean panjang pengaduan atas kedhaliman yang pernah dilakukan sepanjang hidupnya. Lihatlah kisah penjual cendol di pematang sawah, tepatnya di bawah pohon randu, ibadahnya biasa-biasa saja, kehidupan rumah tangganya sangat-sangat sederhana. Pagi-pagi ketika sedang memulai jualan, datanglah Kiai kampungnya ingin membeli dengan cara memborong cendol pagi itu dengan alasan ada tamu rombongan dari kota, kalau mau dikasih teh botol sudah kebiasaan kota, maka spesial akan disuguhi cendol itu.
Kiai ini kaget ketika ditolak kalau membeli seluruhnya, kalau sedikit boleh--diborong jangan. Kiai ini--dengan seluruh keilmuannya dan ibadahnya--tidak habis mengerti kepada penjual cendol itu, mustinya kalau beliau borong penjual cendol ini tidak usah seharian seperti biasanya. Ternyata alasan ketidakbolehan itu sangat menakjubkan di hati Kiai: Punten Kiai, bukannya aku tidak taat kepada panjenengan (anda), sekali lagi maafkanlah aku, kalau cendol ini Pak Kiai borong maka aku akan membikin banyak orang kecewa karena cendolku ini konsumsi bagi mereka para pekerja di sawah itu….
Kawan-kawan, Kiai kampung itu membeli sedikit terus ngeloyor pulang, beliau tidak menemui tamu dulu, namun langsung masuk kamar menyungkurkan kepalanya ke sajadah untuk sujud syukur dengan derai airmata: Ya Allah, pagi ini Engkau tunjukkan orang kecil yang berjiwa besar, dia tak silau rejeki nomplok dariku, namun kemesraan hidup itu yang disetiai, sementara keilmuan dan ibadahku belum memercik kesadaran sampai kesana, ampuni aku, kalau Engkau tidak mengampuni aku, sungguh aku akan menjadi orang yang bangkrut itu….
Pada ujungnya agama diturunkan--lewat para kekasihNya--supaya memandu manusia dan membahagiakan manusia. Termasuk Qur'an sendiri diturunkan sebagai petunjuk buat manusia--hudan linnaas. Alam dicipta, ternyata dipersembahkan untuk memberi kenikmatan kepada manusia. Manusia disamping dicipta sebaik kejadian, dia mendapatkan tugas kekhalifahan di bumi ini, wakil Tuhan di bumi untuk memayu hayuning jagat (merawat alam).
Dalam reposisi ini manusia harus menyerap ajaran-ajaran agama dalam kerangka memegahkan jiwanya, agar sedemikian telaten menghadapi tantangan-tantangan sejarah dunia. Apa yang terjadi? Dalam banyak kasus justru agama dijadikan sarana untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya secara pribadi dan kelompoknya. Keadaan ini sudah disinyalir Kanjeng Nabi: Tahukah kamu orang yang bangkrut itu ? Ada sahabat yang menjawab kala itu: orang yang berdagang tidak menghasilkan duit (dirham). Bukan--sahut Kanjeng Nabi--orang yang bangkrut adalah orang mati membawa pahala shalat, membawa pahala zakat dan membawa pahala puasa tetapi besok pada hari kiamat, pahala-pahala itu akan terkikis oleh dosa-dosa sosialnya.
Orang mengira pahala-pahala ritual ini akan mengantarkan mereka ke sorga, namun kenyataan dalam timbangan nanti mereka pada ujungnya akan dilemparkan ke neraka. Antrean sedemikian panjang minta pengadilan di sisiNya: Ya Allah, orang ini pernah mengalirkan darahku, orang ini pernah menfitnahku, orang ini pernah mengkhianatku, orang ini pernah mengingkari janji kepadaku, orang ini pernah menipuku, orang ini pernah menuduhku, orang ini pernah mengambil hak-hakku, orang ini pernah, pernah, pernah, pernah.
Setelah pahala ritual dihabiskan untuk menebus dosa sosial, sementara masih banyak antrean panjang pengaduan atas kedhaliman yang pernah dilakukan sepanjang hidupnya. Lihatlah kisah penjual cendol di pematang sawah, tepatnya di bawah pohon randu, ibadahnya biasa-biasa saja, kehidupan rumah tangganya sangat-sangat sederhana. Pagi-pagi ketika sedang memulai jualan, datanglah Kiai kampungnya ingin membeli dengan cara memborong cendol pagi itu dengan alasan ada tamu rombongan dari kota, kalau mau dikasih teh botol sudah kebiasaan kota, maka spesial akan disuguhi cendol itu.
Kiai ini kaget ketika ditolak kalau membeli seluruhnya, kalau sedikit boleh--diborong jangan. Kiai ini--dengan seluruh keilmuannya dan ibadahnya--tidak habis mengerti kepada penjual cendol itu, mustinya kalau beliau borong penjual cendol ini tidak usah seharian seperti biasanya. Ternyata alasan ketidakbolehan itu sangat menakjubkan di hati Kiai: Punten Kiai, bukannya aku tidak taat kepada panjenengan (anda), sekali lagi maafkanlah aku, kalau cendol ini Pak Kiai borong maka aku akan membikin banyak orang kecewa karena cendolku ini konsumsi bagi mereka para pekerja di sawah itu….
Kawan-kawan, Kiai kampung itu membeli sedikit terus ngeloyor pulang, beliau tidak menemui tamu dulu, namun langsung masuk kamar menyungkurkan kepalanya ke sajadah untuk sujud syukur dengan derai airmata: Ya Allah, pagi ini Engkau tunjukkan orang kecil yang berjiwa besar, dia tak silau rejeki nomplok dariku, namun kemesraan hidup itu yang disetiai, sementara keilmuan dan ibadahku belum memercik kesadaran sampai kesana, ampuni aku, kalau Engkau tidak mengampuni aku, sungguh aku akan menjadi orang yang bangkrut itu….
Depak Cinta
Sedulurku tercinta, dalam menyeru kepada Tuhan, aku selalu menekankan untuk tidak memandang diriku. Siapa pun yang mengarah kepada ketergantungan kepadaku--apalagi sampai taraf penyembahan--termasuk kepada orang lain, pasti aku akan lari menghindar--soalnya aku sendiri merasa tidak ada. Aku matikan diriku sebelum kematian yang ditakuti banyak orang itu.
Hal ini sudah ada pelatihannya, yakni manakala aku tidur itu. Kanjeng Nabi mengabarkan: Tidur itu saudaranya mati. Kenyataannya demikian, seluruh komponen jasadiyah mati: mata, telinga, hidung dan sebagainya tidak berfungsi. Pada sisi yang lain beliau juga menyatakan: Matilah kamu sebelum mati. Tetapi dalam tidur Ruh itu wujud, dengan bukti bisa memandang peristiwa dalam mimpi.
Membebaskan diri dalam penyembahan-penyembahan selain Dia itu amat sangat sulitnya, yang paling mudah adalah menarik orang lain kepada diri itu demi tujuan pribadi atau pamer keajaiban dalam rangka--maaf--menambah penghasilan penghidupan untuk diri mereka sendiri--termasuk bisa dikenal dunia itu.
Pada posisi ini, aku merelakan kecaman, hinaan, olok-olokan--walau aku tidak melihat--mereka menyilangkan telunjuk di dahinya (yang menghitam karena sujud): Kiai Budi itu edan (gila), termasuk sms terakhir pada saat aku mengisi pengajian di Ceweng Bojonegoro, kiai Budi itu kiai Celeng. Mereka--yang aku rengkuh sebagai saudara dalam ranah Tauhid--mengatakan prilakuku bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Aku menikmati musik, karena menurutnya merangsang nafsu. Aku sering bersama-sama orang yang non Muslim--misalnya mendatangi acara kebersamaan di gereja Pringgading itu. Aku dikira merusak citra Kiai, bahkan citra Islam.
Semua dinilai mendakwahkan keburukan, alasannya setiap Muslim harus menjadi saksi dihadapan manusia tentang kebenaran Islam. Aku rela atas semuanya ini, karena apa yang mereka katakan adalah benar adanya--menurut mata mereka. Aku melihatnya agak lain, pada saat orang nampak kelebihannya dalam tataran tertentu, orang lalu memuliakannya, menjadikan panutannya, dan menyebarkan kemuliaannya--dikenal dunia, menjadi bintang.
Ternyata orang semacam ini bisa lupa kepada aibnya sendiri. Ancaman terbesar muncul dalam dirinya, hidupnya akan terpengaruh oleh penilaian banyak orang itu. Kerelaanku dihina, diremehkan, diperolok itu sederhana: aku merasa banyak kekurangan yang ada di dalam diriku ini. Orang banyak yang mengecam semacam itu dalam ranah yang ia lihat secara lahir, sementara aku sendiri mengecam apa yang aku ketahui di batin aku sendiri. Sekarang, hidupku tidak sendiri: ada istri, ada anak-anak, termasuk anak-anak santri, ada saudara-saudara, ada teman-teman semua.
Langkah awalku untuk mengucurkan misteri ini, tentu kepada anak-anakku. Rumah Cinta ini bisa disebut lintasan mereka semua--termasuk aku--dimana mereka aku latih sejak dini hatinya tercurah kepada Dia semata. Istilah kasarnya anak-anakku--maafkan aku Nak--aku depak dengan depak Cinta. Sejak anakku masih usia TK, empat sekaligus aku pesantrenkan di Al-Husein Krakitan Magelang, selama tiga tahun. Pernah aku dan istriku menjenguk dibalik jeruji asrama mereka, aku lihat mereka berjalan sambil sarungan dengan terseok, aku bersalaman dengan mereka dibalik jeruji itu, aku lihat sekujur tubuh mereka kena gudik (borok), mereka tetap tersenyum semuanya, air mataku meleleh bahagia: kuatkah nak engkau di sini? Mereka mengangguk sambil tersenyum.
Selepas di Krakitan aku depak lagi ke Al-Asy'ari Ceweng itu sebanyak lima sekaligus, ada yang aku depak ke pesantren Kudus dua anak. Saat liburan, aku pernah didamprat sama anaku, sambil dia menangis meraung-raung karena aku tidak membangunkannya untuk sembahyang malam: maafkan aku Nak--aku merajuk--maafkan aku. Sampai pada istriku, kalau memang dia merasakan ketidak relaan dalam perjalanan hidupku, aku persilahkan untuk menggugat, atau mendepak diriku atas ketidakberesan hidupku….
Kawan-kawan, istriku lantas memegang tanganku seraya mengatakan: tidak mas, aku ikuti perjalanan bersama ini, menuju Allah bersamamu dan anak-anak ini. Lagi-lagi aku menagis bahagia seraya mengecup bibirnya, serasa mengecup bibirNya….
Hal ini sudah ada pelatihannya, yakni manakala aku tidur itu. Kanjeng Nabi mengabarkan: Tidur itu saudaranya mati. Kenyataannya demikian, seluruh komponen jasadiyah mati: mata, telinga, hidung dan sebagainya tidak berfungsi. Pada sisi yang lain beliau juga menyatakan: Matilah kamu sebelum mati. Tetapi dalam tidur Ruh itu wujud, dengan bukti bisa memandang peristiwa dalam mimpi.
Membebaskan diri dalam penyembahan-penyembahan selain Dia itu amat sangat sulitnya, yang paling mudah adalah menarik orang lain kepada diri itu demi tujuan pribadi atau pamer keajaiban dalam rangka--maaf--menambah penghasilan penghidupan untuk diri mereka sendiri--termasuk bisa dikenal dunia itu.
Pada posisi ini, aku merelakan kecaman, hinaan, olok-olokan--walau aku tidak melihat--mereka menyilangkan telunjuk di dahinya (yang menghitam karena sujud): Kiai Budi itu edan (gila), termasuk sms terakhir pada saat aku mengisi pengajian di Ceweng Bojonegoro, kiai Budi itu kiai Celeng. Mereka--yang aku rengkuh sebagai saudara dalam ranah Tauhid--mengatakan prilakuku bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Aku menikmati musik, karena menurutnya merangsang nafsu. Aku sering bersama-sama orang yang non Muslim--misalnya mendatangi acara kebersamaan di gereja Pringgading itu. Aku dikira merusak citra Kiai, bahkan citra Islam.
Semua dinilai mendakwahkan keburukan, alasannya setiap Muslim harus menjadi saksi dihadapan manusia tentang kebenaran Islam. Aku rela atas semuanya ini, karena apa yang mereka katakan adalah benar adanya--menurut mata mereka. Aku melihatnya agak lain, pada saat orang nampak kelebihannya dalam tataran tertentu, orang lalu memuliakannya, menjadikan panutannya, dan menyebarkan kemuliaannya--dikenal dunia, menjadi bintang.
Ternyata orang semacam ini bisa lupa kepada aibnya sendiri. Ancaman terbesar muncul dalam dirinya, hidupnya akan terpengaruh oleh penilaian banyak orang itu. Kerelaanku dihina, diremehkan, diperolok itu sederhana: aku merasa banyak kekurangan yang ada di dalam diriku ini. Orang banyak yang mengecam semacam itu dalam ranah yang ia lihat secara lahir, sementara aku sendiri mengecam apa yang aku ketahui di batin aku sendiri. Sekarang, hidupku tidak sendiri: ada istri, ada anak-anak, termasuk anak-anak santri, ada saudara-saudara, ada teman-teman semua.
Langkah awalku untuk mengucurkan misteri ini, tentu kepada anak-anakku. Rumah Cinta ini bisa disebut lintasan mereka semua--termasuk aku--dimana mereka aku latih sejak dini hatinya tercurah kepada Dia semata. Istilah kasarnya anak-anakku--maafkan aku Nak--aku depak dengan depak Cinta. Sejak anakku masih usia TK, empat sekaligus aku pesantrenkan di Al-Husein Krakitan Magelang, selama tiga tahun. Pernah aku dan istriku menjenguk dibalik jeruji asrama mereka, aku lihat mereka berjalan sambil sarungan dengan terseok, aku bersalaman dengan mereka dibalik jeruji itu, aku lihat sekujur tubuh mereka kena gudik (borok), mereka tetap tersenyum semuanya, air mataku meleleh bahagia: kuatkah nak engkau di sini? Mereka mengangguk sambil tersenyum.
Selepas di Krakitan aku depak lagi ke Al-Asy'ari Ceweng itu sebanyak lima sekaligus, ada yang aku depak ke pesantren Kudus dua anak. Saat liburan, aku pernah didamprat sama anaku, sambil dia menangis meraung-raung karena aku tidak membangunkannya untuk sembahyang malam: maafkan aku Nak--aku merajuk--maafkan aku. Sampai pada istriku, kalau memang dia merasakan ketidak relaan dalam perjalanan hidupku, aku persilahkan untuk menggugat, atau mendepak diriku atas ketidakberesan hidupku….
Kawan-kawan, istriku lantas memegang tanganku seraya mengatakan: tidak mas, aku ikuti perjalanan bersama ini, menuju Allah bersamamu dan anak-anak ini. Lagi-lagi aku menagis bahagia seraya mengecup bibirnya, serasa mengecup bibirNya….
Gila Cinta
Sedulurku tercinta, aku di kampung sering disetori orang gila, bagiku karena dunia seluas ini disana-sana orang tidak menerima, bagaimana aku berani menolak. Biasa kalau ada drop-dropan seperti ini, aku menyuruh santri untuk memotong rambutnya yang jembel, lalu memandikannya, mengganti pakaiannya, terakhir memberi makan minum kepadanya. Ternyata nurut juga, dan kelihatan keren.
Pada pengajian Ahad pagi, dia aku ajak untuk duduk di sisiku, dengan diam seribu bahasa tetapi sorot matanya menyiratkan pandangan yang tajam, memandang orang orang mengaji itu. Kadang-kadang bibirnya komat-kamit, sepertinya akan mengucapkan yang sama bershalawat dengan para jama'ah itu. Begitu giliran saya memberi sesuluh (nasehat), langsung saja aku mengatakan: Sedulur semua, pagi ini aku bahagia atas kesehatanmu semua ( jama'ah mengamini bersama), di sisiku ini pada umumnya orang mengatakan gila (sambil aku elus pungungnya), tetapi bagi Kanjeng Nabi saw orang semacam ini bukan gila, ia sedang mendapat musibah.
Bahkan ada yang disebut benar-benar gila oleh Kanjeng Nabi saw, yakni orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepadaNya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Inilah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saja. Sedulur semua --aku lanjut bertutur--majnun itu bahasa arab yang maknanya orang gila, berasal dari akar kata jannat, artinya yang menutupi. Jadi majnun atau orang gila itu masih mempunyai akal, tetapi akalnya itu tidak dapat menerangi perilakunya. Akalnya sudah dikuasahi hawa nafsunya. Oleh sebab itulah Kanjeng Nabi saw menyebut orang takabur itu sebagai majnun (gila).
Biasanya orang gila semacam ini, dia sakit karena tidak sanggup menanggung derita. Keanehan perilakunya ini adalah bentuk pelarian dari kenyataan yang sangat-sangat sulit: kalah dalam pilihan kepemimpinan, putus pacar, dikhianati sahabat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya. Berarti orang ini orang yang sedang remuk redam hatinya, kita harus mencintainya, apalagi Allah sendiri menyatakan bahwa: carilah Aku di tengah-tengah orang yang sedang hancur hatinya.
Orang gila semacam ini berarti kegilaan yang harus kita cintai, karena dia baru kena musibah itu, ladang pahala. Tetapi ada kegilaan yang juga harus kita jauhi, sebagaimana yang disebutkan Kanjeng Nabi saw tersebut, yakni takabur. Mereka tidak ingat asal kejadiannya, sehingga kedudukan, keturunan dan kekayaan termasuk kecerdasan menjadi tirai yang menyelubungi dirinya. Disamping itu saudara semua, takabur yang lain adalah meninggalkan kebenaran dan mengambil selain kebenaran.
Banyak orang yang memandang kehormatannya tidak sama dengan kehormatan dirinya, ini juga gila. Meremehkan kebenaran yang disampaikan orang dibawahnya juga wujud orang gila, termasuk meremehkan kebenaran yang disampaikan anak istri--itupun gila. Tidak mau mendengarkan pembicaraan kelompok lain karena fahamnya beda, bahkan menganggap sesat dan bid'ah, sementara dirinya yang paling benar, ini juga orang gila. Merasa diri orang besar atau merasa dekat dengan orang besar lalu ingin diperlakukan istimewa, termasuk dalam kekebalan hukum, inipun bentuk orang gila. Merasa lebih berilmu, lalu mengecam orang bodoh dengan sebutan yang meremehkan, ini juga warna lain dari gila. Saling memperolok antar orang alim dalam agama, mengkapling sorga bagi kelompoknya, membatalkan ibadah kelompok lain, membanggakan ibadah, membanggakan bacaan Qur'an, membanggakan haji dan umrahnya, membanggakan puasanya, membanggakan shalatnya, membanggakan kekayaannya, membanggakan keturunannya, membanggakan kekuasaannya, membanggakan pakaiannya, membanggakan jenggotnya, membanggakan tanda sujudnya, semua ini bentuk-bentuk orang gila….
Kawan-kawan, ternyata dibalik diamnya itu, orang yang aku sebut mendapat musibah itu bilang: aku dudu wong edan kok (aku bukan orang gila kok). Meledaklah tawa ria pada hadirin, sementara direlung hatiku ada suara sunyi: berarti kamu sendiri juga mengalami pasang surut kegilaan....aku satunya lagi, menyadari: yayaya!!
Pada pengajian Ahad pagi, dia aku ajak untuk duduk di sisiku, dengan diam seribu bahasa tetapi sorot matanya menyiratkan pandangan yang tajam, memandang orang orang mengaji itu. Kadang-kadang bibirnya komat-kamit, sepertinya akan mengucapkan yang sama bershalawat dengan para jama'ah itu. Begitu giliran saya memberi sesuluh (nasehat), langsung saja aku mengatakan: Sedulur semua, pagi ini aku bahagia atas kesehatanmu semua ( jama'ah mengamini bersama), di sisiku ini pada umumnya orang mengatakan gila (sambil aku elus pungungnya), tetapi bagi Kanjeng Nabi saw orang semacam ini bukan gila, ia sedang mendapat musibah.
Bahkan ada yang disebut benar-benar gila oleh Kanjeng Nabi saw, yakni orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepadaNya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Inilah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saja. Sedulur semua --aku lanjut bertutur--majnun itu bahasa arab yang maknanya orang gila, berasal dari akar kata jannat, artinya yang menutupi. Jadi majnun atau orang gila itu masih mempunyai akal, tetapi akalnya itu tidak dapat menerangi perilakunya. Akalnya sudah dikuasahi hawa nafsunya. Oleh sebab itulah Kanjeng Nabi saw menyebut orang takabur itu sebagai majnun (gila).
Biasanya orang gila semacam ini, dia sakit karena tidak sanggup menanggung derita. Keanehan perilakunya ini adalah bentuk pelarian dari kenyataan yang sangat-sangat sulit: kalah dalam pilihan kepemimpinan, putus pacar, dikhianati sahabat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya. Berarti orang ini orang yang sedang remuk redam hatinya, kita harus mencintainya, apalagi Allah sendiri menyatakan bahwa: carilah Aku di tengah-tengah orang yang sedang hancur hatinya.
Orang gila semacam ini berarti kegilaan yang harus kita cintai, karena dia baru kena musibah itu, ladang pahala. Tetapi ada kegilaan yang juga harus kita jauhi, sebagaimana yang disebutkan Kanjeng Nabi saw tersebut, yakni takabur. Mereka tidak ingat asal kejadiannya, sehingga kedudukan, keturunan dan kekayaan termasuk kecerdasan menjadi tirai yang menyelubungi dirinya. Disamping itu saudara semua, takabur yang lain adalah meninggalkan kebenaran dan mengambil selain kebenaran.
Banyak orang yang memandang kehormatannya tidak sama dengan kehormatan dirinya, ini juga gila. Meremehkan kebenaran yang disampaikan orang dibawahnya juga wujud orang gila, termasuk meremehkan kebenaran yang disampaikan anak istri--itupun gila. Tidak mau mendengarkan pembicaraan kelompok lain karena fahamnya beda, bahkan menganggap sesat dan bid'ah, sementara dirinya yang paling benar, ini juga orang gila. Merasa diri orang besar atau merasa dekat dengan orang besar lalu ingin diperlakukan istimewa, termasuk dalam kekebalan hukum, inipun bentuk orang gila. Merasa lebih berilmu, lalu mengecam orang bodoh dengan sebutan yang meremehkan, ini juga warna lain dari gila. Saling memperolok antar orang alim dalam agama, mengkapling sorga bagi kelompoknya, membatalkan ibadah kelompok lain, membanggakan ibadah, membanggakan bacaan Qur'an, membanggakan haji dan umrahnya, membanggakan puasanya, membanggakan shalatnya, membanggakan kekayaannya, membanggakan keturunannya, membanggakan kekuasaannya, membanggakan pakaiannya, membanggakan jenggotnya, membanggakan tanda sujudnya, semua ini bentuk-bentuk orang gila….
Kawan-kawan, ternyata dibalik diamnya itu, orang yang aku sebut mendapat musibah itu bilang: aku dudu wong edan kok (aku bukan orang gila kok). Meledaklah tawa ria pada hadirin, sementara direlung hatiku ada suara sunyi: berarti kamu sendiri juga mengalami pasang surut kegilaan....aku satunya lagi, menyadari: yayaya!!
Rindu Cinta
Sedulurku tercinta, malam ini malam Jum'at yang memiliki keutamaan bershalawat Nabi SAW. Yang aku maksudkan tidak hanya sekedar berkidung cinta dengan lidah saja, tetapi bershalawat dengan hati, yang rindu menderu itu--bagai Uweys Al-Qorni. Kerinduan ini cara mengalaminya melalui tataran yang tidak sederhana, tetapi harus melewati tahapan penampakan lahiriah, kemudian melampaui ranah pandangan yang sensual, baru merasakan tatapan kerinduan--kepada Kanjeng Nabi itu.
Pada penampakan lahiriah, kita hanya berhenti pada hal-hal yang material: busananya, banyak menyebut namanya, berziarah ke makamnya--ringkasnya--kita cinta kepada Kanjeng Nabi saw karena terpesona pada bentuk-bentuk luarnya. Cara mencinta seperti ini akan menjadi selubung kepekaan pada stimulus ruhaniah, kita akan menjadi tidak bijak dalam menangkap isyarat-isyrat halus yang harus diungkap.
Misalnya, Kanjeng Nabi mencintai tiga perkara: perempuan, parfum, dan shalat. Lalu kita menyibukkan diri dalam pernikahan badani, keharuman tubuh, dan pernik-pernik fiqih dalam shalat. Padahal ketiga perkara itu mengungkapkan secara simbolis pengalaman ruhaniah yang agung. Sama halnya dengan kita--secara lisan bersholawat--seolah-olah sudah menunjukkan cinta secara penuh kepada beliau, umurnya lalu dihabiskan dalam seremonial berkidung shalawat, ke mana-mana. Kemudian pandangan sensual, dimana kita mencintai Nabi saw dengan membayangkan ketampanan wajahnya, sebagai tahapan tanjakan sebenarnya tidak salah tetapi cinta seperti ini akan mandeg dengan bentuk keinginan memiliki, menuntut, merengek, mendesak, mengambil--bukan memberi.
Betapapun rendahnya, cinta model ini akan menjauhkan kita sejengkal dari ego kita. Lumayan, sudah memberikan kehangatan hidup, kerinduan, dan keinginan bergabung dan bersama. Citra cinta ini akan mengantarkan kepada cinta yang lebih tinggi tingkatannya, karena cintanya akan tumbuh menjadi persahabatan yang mendalam.
Me-Muhammadkan aku, mengkitakan aku, mengkamikan aku. Cinta seperti ini akan menunjukkan bukti, tidak menuntut tetapi berbagi. Bentuknya akan jelas, bahwa cinta seperti ini ditandai dengan perhatian yang aktif--tanpa banyak kata--pada orang yang kita cintai: Kanjeng Nabi saw itu. Kita ingin diterima di sisinya, kedambaan untuk memberikan segalanya tanpa syarat pada sang kekasih--bagai Ibunda Siti Khadijah itu. Bukan seperti Siti Zulaikha, yang hanya menggait baju Nabi Yusuf--sampai robek itu, lalu melahirkan fitnah sampai terpenjaranya beliau.
Cinta kerinduan ini adalah cinta spiritual, yang jauh menyelam dari dataran badaniah (alam kadagingan) ke kedalaman ruhaniah. Model cinta seperti ini kita mencari hati dan meninggalkan daging dan tulang. Mencintai Kanjeng Nabi saw yang kita bayangkan bukan sekedar citra fisiknya, tetapi kagungan akhlaknya---yaa kariimal akhlak. Membayangkan akhlak kanjeng Nabi saw, bisa dimulai mengabungkan diri dengan orang-orang shaleh, syuhada', para Nabi, dan orang-orang yang benar--lalu Kanjeng Nabi saw itu.
Melihat kesalehan orang tua, guru-guru, Kiai-kiai, dan salafussaleh saja sudah sedemikian bergetar hati kita, lalu terbayang akan keagungan akhlak Kanjeng Nabi saw itu. Manusia yang membasahi janggutnya--bukan sekedar jenggot--dengan air matanya karena memikirkan derita umat sepeninggalnya, yang merebahkan dirinya di atas tanah dan tidak mengangkatnya sebelum Allah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada umatnya, yang berlumuran dosa ini….
Kawan-kawan, aku merasa pada posisi yang banyak dosa itu, aku merasa berkeinginan memiliki akhlak yang agung itu, yang sudah bertaburan pada orang-orang sholeh itu, aku merasa pada posisi yang ditolong itu, aku malu atas ketidak pengertianku ini, aku malu, aku malu, aku malu, aku malu, aku malu....
Ya Rasullaaah !!!!
Pada penampakan lahiriah, kita hanya berhenti pada hal-hal yang material: busananya, banyak menyebut namanya, berziarah ke makamnya--ringkasnya--kita cinta kepada Kanjeng Nabi saw karena terpesona pada bentuk-bentuk luarnya. Cara mencinta seperti ini akan menjadi selubung kepekaan pada stimulus ruhaniah, kita akan menjadi tidak bijak dalam menangkap isyarat-isyrat halus yang harus diungkap.
Misalnya, Kanjeng Nabi mencintai tiga perkara: perempuan, parfum, dan shalat. Lalu kita menyibukkan diri dalam pernikahan badani, keharuman tubuh, dan pernik-pernik fiqih dalam shalat. Padahal ketiga perkara itu mengungkapkan secara simbolis pengalaman ruhaniah yang agung. Sama halnya dengan kita--secara lisan bersholawat--seolah-olah sudah menunjukkan cinta secara penuh kepada beliau, umurnya lalu dihabiskan dalam seremonial berkidung shalawat, ke mana-mana. Kemudian pandangan sensual, dimana kita mencintai Nabi saw dengan membayangkan ketampanan wajahnya, sebagai tahapan tanjakan sebenarnya tidak salah tetapi cinta seperti ini akan mandeg dengan bentuk keinginan memiliki, menuntut, merengek, mendesak, mengambil--bukan memberi.
Betapapun rendahnya, cinta model ini akan menjauhkan kita sejengkal dari ego kita. Lumayan, sudah memberikan kehangatan hidup, kerinduan, dan keinginan bergabung dan bersama. Citra cinta ini akan mengantarkan kepada cinta yang lebih tinggi tingkatannya, karena cintanya akan tumbuh menjadi persahabatan yang mendalam.
Me-Muhammadkan aku, mengkitakan aku, mengkamikan aku. Cinta seperti ini akan menunjukkan bukti, tidak menuntut tetapi berbagi. Bentuknya akan jelas, bahwa cinta seperti ini ditandai dengan perhatian yang aktif--tanpa banyak kata--pada orang yang kita cintai: Kanjeng Nabi saw itu. Kita ingin diterima di sisinya, kedambaan untuk memberikan segalanya tanpa syarat pada sang kekasih--bagai Ibunda Siti Khadijah itu. Bukan seperti Siti Zulaikha, yang hanya menggait baju Nabi Yusuf--sampai robek itu, lalu melahirkan fitnah sampai terpenjaranya beliau.
Cinta kerinduan ini adalah cinta spiritual, yang jauh menyelam dari dataran badaniah (alam kadagingan) ke kedalaman ruhaniah. Model cinta seperti ini kita mencari hati dan meninggalkan daging dan tulang. Mencintai Kanjeng Nabi saw yang kita bayangkan bukan sekedar citra fisiknya, tetapi kagungan akhlaknya---yaa kariimal akhlak. Membayangkan akhlak kanjeng Nabi saw, bisa dimulai mengabungkan diri dengan orang-orang shaleh, syuhada', para Nabi, dan orang-orang yang benar--lalu Kanjeng Nabi saw itu.
Melihat kesalehan orang tua, guru-guru, Kiai-kiai, dan salafussaleh saja sudah sedemikian bergetar hati kita, lalu terbayang akan keagungan akhlak Kanjeng Nabi saw itu. Manusia yang membasahi janggutnya--bukan sekedar jenggot--dengan air matanya karena memikirkan derita umat sepeninggalnya, yang merebahkan dirinya di atas tanah dan tidak mengangkatnya sebelum Allah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada umatnya, yang berlumuran dosa ini….
Kawan-kawan, aku merasa pada posisi yang banyak dosa itu, aku merasa berkeinginan memiliki akhlak yang agung itu, yang sudah bertaburan pada orang-orang sholeh itu, aku merasa pada posisi yang ditolong itu, aku malu atas ketidak pengertianku ini, aku malu, aku malu, aku malu, aku malu, aku malu....
Ya Rasullaaah !!!!
Minggu, 04 Juli 2010
Setan Cinta
Sedulurku tercinta, aku pernah menerima tamu, seluruh kalimatnya mengesankan: tidak ada yang lebih utama dan lebih baik dari diriku. Aku ikuti dia, menuju masjid mengajak shalat berjama'ah, do'a-do'anya kuyup oleh airmata, usai shalat bagai Nabi kecil dia: menasehatiku banyak hal dengan dalil-dalil. Aku lihat, tanda-tanda bekas sujudnya yang nampak khusyuk itu, atsarissujud. Kemudian mengajakku tadarrus Al-Qur'an, dengan tartil.
Aku terpesona melihat kesalehan orang ini, nampak kesalehannya dalam beribadat. Ibadah ritualnya sedemikian ketat, mereka lalu bergerombol saling memuji telah merasa mengajak shalat banyak orang, layaknya multilevel marketing. Aku melihat tokohnya mengatakan bahwa hanya kelompoknya yang paling benar, paling utama. Busananya mencerminkan busana Rasul, cara makannya cara Rasul, segala pernik tubuhnya mengesankan kebiasaan Rasul, semuanya disandarkan kepada beliau.
Aku sendiri--untuk sementara--menghindari rokok, baginya haram. Aku pernah mau diajak sampai keluar negri, bergabung dengan kelompok yang mendunia, dengan halus aku tolak karena aku banyak acara kemasyarakatan di kampung.
Aku mengajaknya, bagaimana kalau aku kerumahnya--silaturrahmi dengan keluarganya. Sepertinya--lewat sorot matanya--dia akan menolak, tetapi tidak berani, mana ada sesaleh itu menolak silaturrahmi. Begitu sampai rumahnya, aku merasa ada yang ganjil: anak-anaknya banyak tidak terurus, kebersihan--walau sederhana--tidak nampak sebagai wujud dalil-dalilnya yang disampaikan kepadaku, di masjid itu. Raut muka istrinya, menampakkan derita yang dibungkus dengan senyuman, kepasrahan yang terasa dipaksakan.
Datanglah bakul kampung, yang--maaf--menagih utang yang menumpuk selama dia tinggal pergi--berbulan. Lahan di sekitar rumahnya aku lihat tidak terawat. Istrinya aku lihat, menyodorkan bayak kartu undangan yang sudah kelewat, undangan masyarakat sekitarnya, termasuk saudara-saudara dekatnya. Istrinya mengabarkan, kalau si fulan telah meninggal, bahkan saudara dari istrinya juga sudah meninggal, dibalik itu aku tahu sepertinya istrinya menggugat: dia tidak sempat melayat. Tetapi lelaki yang aku ikuti ini dengan tegas menjawab: semua aku serahkan kepada Allah, titik.
Sebelum pulang, aku menyempatkan mohon maaf, kalau boleh aku menyampaikan sesuatu kepadanya. Dia terlihat belingsatan, sepertinya sudah tidak butuh nasehat, tetapi tetap mengangguk sambil memelototiku dengan tajam. Saudaraku--aku mulai bicara--mohon maaf sebelumnya (nuwun sewu), orang seperti anda ini, kalau boleh aku memberitakan kepadamu: Kanjeng Nabi menyebut orang yang tampak diwajahmu sentuhan setan. Aku menemanimu ini keberanianku hanya menasehati, sebagaimana engkau menasehati aku di masjid itu, saling menasehati dalam cahaya--aku berbisik kepadanya. Cuma--aku berbisik lagi--aku tidak berani membunuhmu. Dia kaget setengah mati, tambah memelototiku: mengapa begini--hardiknya. Kedatanganku meminta ke rumah ini sebenarnya akan menjadi saksimu atas kesalehanmu: sholatmu nampak khusuk, bacaan al-Qur'ammu tartil, busanamu indah, haltemu dari masjid ke masjid, nasehatmu langsung mengambil dari Kanjeng Nabi tetapi--maafkan, aku berbisik--kecintaanmu kepada Allah ini belum kau wujudkan dalam kemesraan menemui umatNya di bumi, termasuk keluargamu dan masyarakatmu sekitarmu ini. Akhlakmu kepada Allah sangat bagus, tetapi belum kau turunkan berakhlak kepada sesama makhlukNya, termasuk keluargamu yang aku lihat sendiri. Ibadahmu dalam memelihara bentuk luar sangat indah, tetapi belum sampai kepada jantung hatimu. Ibadahmu mahdhah ini sebenarnya harus sampai pada membekas dalam kehidupan sosial dan dalam akhlak di tengah-tengah manusia. Boleh jadi--seperti aku--tanda bekas sujudmu sujudku menjadi tanda-tanda sentuhan setan....
Kawan-kawan, orang ini ambruk menyungkurkan kepalanya di lantai rumahnya, semua anak-anak dan istrinya juga menangis, terakhir aku sampaikan: kang, Kanjeng Nabi menyatakan orang yang terlepas dari agama--dengan bukti tidak hadir mengatasi umat--seperti terlepasnya anak panah dari dari busurnya, sekiranya orang ini dibunuh, tidak seorang pun di antara umatku akan pecah. Orang ini tambah memekik, menjerit, gaung jeritannya menghantam juga, dihatiku....
Aku terpesona melihat kesalehan orang ini, nampak kesalehannya dalam beribadat. Ibadah ritualnya sedemikian ketat, mereka lalu bergerombol saling memuji telah merasa mengajak shalat banyak orang, layaknya multilevel marketing. Aku melihat tokohnya mengatakan bahwa hanya kelompoknya yang paling benar, paling utama. Busananya mencerminkan busana Rasul, cara makannya cara Rasul, segala pernik tubuhnya mengesankan kebiasaan Rasul, semuanya disandarkan kepada beliau.
Aku sendiri--untuk sementara--menghindari rokok, baginya haram. Aku pernah mau diajak sampai keluar negri, bergabung dengan kelompok yang mendunia, dengan halus aku tolak karena aku banyak acara kemasyarakatan di kampung.
Aku mengajaknya, bagaimana kalau aku kerumahnya--silaturrahmi dengan keluarganya. Sepertinya--lewat sorot matanya--dia akan menolak, tetapi tidak berani, mana ada sesaleh itu menolak silaturrahmi. Begitu sampai rumahnya, aku merasa ada yang ganjil: anak-anaknya banyak tidak terurus, kebersihan--walau sederhana--tidak nampak sebagai wujud dalil-dalilnya yang disampaikan kepadaku, di masjid itu. Raut muka istrinya, menampakkan derita yang dibungkus dengan senyuman, kepasrahan yang terasa dipaksakan.
Datanglah bakul kampung, yang--maaf--menagih utang yang menumpuk selama dia tinggal pergi--berbulan. Lahan di sekitar rumahnya aku lihat tidak terawat. Istrinya aku lihat, menyodorkan bayak kartu undangan yang sudah kelewat, undangan masyarakat sekitarnya, termasuk saudara-saudara dekatnya. Istrinya mengabarkan, kalau si fulan telah meninggal, bahkan saudara dari istrinya juga sudah meninggal, dibalik itu aku tahu sepertinya istrinya menggugat: dia tidak sempat melayat. Tetapi lelaki yang aku ikuti ini dengan tegas menjawab: semua aku serahkan kepada Allah, titik.
Sebelum pulang, aku menyempatkan mohon maaf, kalau boleh aku menyampaikan sesuatu kepadanya. Dia terlihat belingsatan, sepertinya sudah tidak butuh nasehat, tetapi tetap mengangguk sambil memelototiku dengan tajam. Saudaraku--aku mulai bicara--mohon maaf sebelumnya (nuwun sewu), orang seperti anda ini, kalau boleh aku memberitakan kepadamu: Kanjeng Nabi menyebut orang yang tampak diwajahmu sentuhan setan. Aku menemanimu ini keberanianku hanya menasehati, sebagaimana engkau menasehati aku di masjid itu, saling menasehati dalam cahaya--aku berbisik kepadanya. Cuma--aku berbisik lagi--aku tidak berani membunuhmu. Dia kaget setengah mati, tambah memelototiku: mengapa begini--hardiknya. Kedatanganku meminta ke rumah ini sebenarnya akan menjadi saksimu atas kesalehanmu: sholatmu nampak khusuk, bacaan al-Qur'ammu tartil, busanamu indah, haltemu dari masjid ke masjid, nasehatmu langsung mengambil dari Kanjeng Nabi tetapi--maafkan, aku berbisik--kecintaanmu kepada Allah ini belum kau wujudkan dalam kemesraan menemui umatNya di bumi, termasuk keluargamu dan masyarakatmu sekitarmu ini. Akhlakmu kepada Allah sangat bagus, tetapi belum kau turunkan berakhlak kepada sesama makhlukNya, termasuk keluargamu yang aku lihat sendiri. Ibadahmu dalam memelihara bentuk luar sangat indah, tetapi belum sampai kepada jantung hatimu. Ibadahmu mahdhah ini sebenarnya harus sampai pada membekas dalam kehidupan sosial dan dalam akhlak di tengah-tengah manusia. Boleh jadi--seperti aku--tanda bekas sujudmu sujudku menjadi tanda-tanda sentuhan setan....
Kawan-kawan, orang ini ambruk menyungkurkan kepalanya di lantai rumahnya, semua anak-anak dan istrinya juga menangis, terakhir aku sampaikan: kang, Kanjeng Nabi menyatakan orang yang terlepas dari agama--dengan bukti tidak hadir mengatasi umat--seperti terlepasnya anak panah dari dari busurnya, sekiranya orang ini dibunuh, tidak seorang pun di antara umatku akan pecah. Orang ini tambah memekik, menjerit, gaung jeritannya menghantam juga, dihatiku....
Tahapan Cinta
Sedulurku tercinta, ketika dalam suatu pengajian di sebuah Pesantren, aku bertanya kepada para mustami' (pengunjung): bisakah dirimu mencontoh Kanjeng Nabi saw, secara menyeluruh? Lalu aku rinci, tentang Cinta Tuhannya, Ibadahnya, Mu'amalahnya, akhlaknya, tutur katanya, dan lain sebagainya. Serempak mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu setara dengan keluarga Kanjeng Nabi saw? Kompak mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu seperti imanya para sahabat Kanjeng Nabi saw? Mereka serempak menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu memiliki perjuangan seperti tabi'ittabi'in? Mereka menjawab: tidak bisa. Mampukah dirimu mengimbangi ilmunya para Imam-Imam itu? Mereka menjawab: tidak mampu. Bisakah dirimu mengimbangi atau menyamai para wali-wali (kekasih) Allah itu? Mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu mengimbangi perjuangannya ulama' yang amilin itu? Mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu mengenal Tuhan yang cahayanya berbagi di hatimu? Mereka menjawab: tidak bisa.
Lalu aku bacakan senandung syair, yang artinya: Ceritakan atau kisahkanlah sejarah orang-orang shaleh dan sifat-sifat baiknya, dengan menutur sejarah dan kisah itu, engkau akan terpercik wewangian mereka, ceritakanlah fadhilah-fadhilah mereka, engkau akan memperoleh keberkahannya, dan terhadap kubur mereka--ziarahlah--engkau akan mendapat keberuntungan dunia akhiratmu.
Baru setelah ini aku uraikan tentang metodologi cinta kepada Tuhan, sebagaimana yang ditempuh oleh salafushshalihin itu. Beliau-beliau itu memiliki cinta ilahi melalui dua cara pada umumnya : 1) melalui daya tarik Ilahi (jazbah) dan 2) melalui pengembaraan dan kemajuan metodia di atas Jalan Suluk.
Dengan daya trik, cinta Tuhan akan muncul secara langsung, tanpa perantara, sehingga orangnya akan melupakan segalanya kecuali Allah. Realitas ini tidak dapat diketahu oleh metode-metode logis atau rasional. Tuhan harus didekati melalui cinta, dan hanya melaui keagungan dan rahmat Ilahi intimasi bersamaNYa bisa dicapai. Sepanjang dirimu, masih dirimu sendiri, maka siapapun tidak bisa mengenal Tuhan.
Selubung terbesar antara diri kita dan Tuhan adalah: dirimu itu. Hanya api cinta Ilahi yang dapat membakar egosentrisitas. Lebih-lebih, cinta Ilahi bisa muncul secara spontan, ia tidak dapat dipelajari melalui kajian. Sedangkan jalan kedua, yakni pengembaraan dan kemajuan metodis, dimana seseorang harus jatuh cinta pada guru spiritual, yang kemudian mengubah cinta ini menjadi cinta ilahi. Dari genggaman guru ini, di tangannya ada lentera, kemudian sang guru menghidupkan nyala lentera dengan nafas ruh sucinya, yang menyebabkan murid terbakar oleh cinta Ilahi.
Dalam syair tadi disebutkan, akan terpercik wewangiannya, memperoleh keberkahannya. Pada ujungnya sama dengan metode yang pertama: murid akan menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatinya, dan dalam harta itu telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai harganya, bernama Cinta. Setelah memperoleh magma Cinta ini, makanya yang namanya hati tidak hanya segumpal daging saja, cahaya cinta ini akan mewarnai segala sendi jasad dan hidupnya, sehingga seluruh tubuhnya menjadi hati, meluas seluruh semesta menjadi hati: apa saja mengantarkan pada wajah Tuhan....
Kawan-kawan, semesta selalu menanti orang-orang semacam itu, dan ia akan memperoleh belaian kasih sayangnya. Paling tidak diri kita memperoleh percikan dari tetesan samudra Cinta itu, atau percikan dari percikan tetesan samudra Cinta itu, atau percikan dari percikannya percikan tetesan samudra Cinta itu....
Lalu aku bacakan senandung syair, yang artinya: Ceritakan atau kisahkanlah sejarah orang-orang shaleh dan sifat-sifat baiknya, dengan menutur sejarah dan kisah itu, engkau akan terpercik wewangian mereka, ceritakanlah fadhilah-fadhilah mereka, engkau akan memperoleh keberkahannya, dan terhadap kubur mereka--ziarahlah--engkau akan mendapat keberuntungan dunia akhiratmu.
Baru setelah ini aku uraikan tentang metodologi cinta kepada Tuhan, sebagaimana yang ditempuh oleh salafushshalihin itu. Beliau-beliau itu memiliki cinta ilahi melalui dua cara pada umumnya : 1) melalui daya tarik Ilahi (jazbah) dan 2) melalui pengembaraan dan kemajuan metodia di atas Jalan Suluk.
Dengan daya trik, cinta Tuhan akan muncul secara langsung, tanpa perantara, sehingga orangnya akan melupakan segalanya kecuali Allah. Realitas ini tidak dapat diketahu oleh metode-metode logis atau rasional. Tuhan harus didekati melalui cinta, dan hanya melaui keagungan dan rahmat Ilahi intimasi bersamaNYa bisa dicapai. Sepanjang dirimu, masih dirimu sendiri, maka siapapun tidak bisa mengenal Tuhan.
Selubung terbesar antara diri kita dan Tuhan adalah: dirimu itu. Hanya api cinta Ilahi yang dapat membakar egosentrisitas. Lebih-lebih, cinta Ilahi bisa muncul secara spontan, ia tidak dapat dipelajari melalui kajian. Sedangkan jalan kedua, yakni pengembaraan dan kemajuan metodis, dimana seseorang harus jatuh cinta pada guru spiritual, yang kemudian mengubah cinta ini menjadi cinta ilahi. Dari genggaman guru ini, di tangannya ada lentera, kemudian sang guru menghidupkan nyala lentera dengan nafas ruh sucinya, yang menyebabkan murid terbakar oleh cinta Ilahi.
Dalam syair tadi disebutkan, akan terpercik wewangiannya, memperoleh keberkahannya. Pada ujungnya sama dengan metode yang pertama: murid akan menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatinya, dan dalam harta itu telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai harganya, bernama Cinta. Setelah memperoleh magma Cinta ini, makanya yang namanya hati tidak hanya segumpal daging saja, cahaya cinta ini akan mewarnai segala sendi jasad dan hidupnya, sehingga seluruh tubuhnya menjadi hati, meluas seluruh semesta menjadi hati: apa saja mengantarkan pada wajah Tuhan....
Kawan-kawan, semesta selalu menanti orang-orang semacam itu, dan ia akan memperoleh belaian kasih sayangnya. Paling tidak diri kita memperoleh percikan dari tetesan samudra Cinta itu, atau percikan dari percikan tetesan samudra Cinta itu, atau percikan dari percikannya percikan tetesan samudra Cinta itu....
Kata Cinta
Sedulurku tercinta, kalau kita sadari bahwa tersinggung itu bagian dari tanda masih bercokolnya ego atau keberadaan diri. Hal ini menunjukkan bahwa sosok itu masih seseorang yang sadar akan identitas dirinya, lahirlah sikap kesal lalu melakukan perlawanan. Kalau itu dilakukan orang yang bertauhid, berarti menunjukkan keterpisahan dengan Tuhan. Bagi orang yang bertauhid (menyatu dengan Tuhan), maka ia akan pasrah diri kepadaNya dan berpuas diri dengan kehendak Tuhan. Karena akan ada efek negatifnya kalau tidak ridho, maka hakekatnya ia akan menjadi orang yang tidak percaya atas kemenyeluruhan kehendakNya itu.
Bagi yang menapaki jalan Tauhid (kesatuan), apa pun penderitaan yang menimpa, atau apapun kehinaan yang ia terima, dia akan menganggapnya sebagai kado kiriman Tuhan. Pada wilayah lahiriyah, nampak sebagai penderitaan, namun dalam ranah batiniyah penderitaan akan melahirkan keterjagaan hati, ingat selalu denganNya. Aku percaya diantara kita pernah bahkan sering mengalami perlakuan buruk, namun semakin kita punya daya tahan akan perlakuan itu, maka kita akan semakin tidak egois.
Aku pernah mengalami hal kecil yang bisa menjadi tanjakan dalam meruntuhkan ego itu. Ketika aku sedang berpidato di Pondok Pesantren Al-'Asy'ari Ceweng, tiba-tiba nyelonong sms di hapeku: Kiai Budi nDobol. Aku tahan rasa kesal dan amarahku, lalu aku jawab dengan singkat: maturnuwun. Muncul lagi sms: Maturnuwun-maturnuwun nDasmu. Aku nikmati kata kasar itu, aku balas lagi dengan kalimat kerendahan hati: Maturnuwun. Seketika muncul lagi sms susulan: Wong kakean doso, sesuk ra usah poso. Di atas keimananku, aku menanggung celaan itu, aku gembira dalam luka: maturnuwun.
Penghinaan dengan sms itu sampai sebanyak 18 buah, dan 18 buah juga aku menjawab tanpa emosi: maturnuwun. Selebihnya, aku rela sedemikian rupa, tidak ada daya aku melakukan perlawanan atas perlakuan buruk itu. Dan aku tidak mau memburu siapa yang mengirim pelecehan ini. Aku merasa kafirlah kalau sampai tidak ridlo atas kado dari Tuhan ini.
Menurutku, justru kiriman ini menjadi batu pijakan untuk semakin tangguh daya tahanku ketika menerima perlakuan sedemikian kasar. Aku olah dalam samudra cintaku kata-kata kasar itu: kalau kata-kata itu benar, berarti aku tambah bisa meningkatkan kebaikan lagi, namun ketika kata-kata itu tidak benar--biarlah keburukan itu berhenti kepada yang sms. Sampai sekarang aku tidak ingin tahu siapa pengirimnya, aku pun tidak mendongkol.
Pernah aku akan dilantik menjadi anggota DPR di kota semarang--sudah ukur jaz--beberapa hari sebelum pelantikan, ada team yang datang ke rumah, meminta terus terang biar si fulan yang dilantik, tanpa beban aku serahkan semuanya dengan sedemikian entheng. Pernah, aku berkunjung mengisi pengajian di sebuah kampung, ada seorang yang lapor kepada santriku bahwa tokoh di sini pernah bilang: Kiai Budi itu bisa apa! Padahal aku mendengar kata-kata itu, kemudian santri mendekatiku dengan membisiki bahwa tokoh yang ada disebelahku ini pernah mengatakan: Kiai Budi itu bisa apa! Dalam gelombang samudra cintaku, kata-kata penghinaan ini aku olah menjadi kata-kata cinta: Oh, santriku kamu salah dengar, yang aku dengar dari pelapor itu adalah: Kiai Budi ilmunya berkah bisa apa saja....
Kawan-kawan, inilah seni kehidupan yang akan mengikis keegoan dengan palatihan-pelatihan semacam itu. Aku ceritakan ini semua bukan untuk riya', tetapi untuk cermin kita semua, sekelas anjing saja ketika diusir oleh tuannya, anjing itu pergi, ketika dipanggil tuannya lagi, dia datang, tanpa dendam, tanpa kemarahan, tanpa dendam....
Bagi yang menapaki jalan Tauhid (kesatuan), apa pun penderitaan yang menimpa, atau apapun kehinaan yang ia terima, dia akan menganggapnya sebagai kado kiriman Tuhan. Pada wilayah lahiriyah, nampak sebagai penderitaan, namun dalam ranah batiniyah penderitaan akan melahirkan keterjagaan hati, ingat selalu denganNya. Aku percaya diantara kita pernah bahkan sering mengalami perlakuan buruk, namun semakin kita punya daya tahan akan perlakuan itu, maka kita akan semakin tidak egois.
Aku pernah mengalami hal kecil yang bisa menjadi tanjakan dalam meruntuhkan ego itu. Ketika aku sedang berpidato di Pondok Pesantren Al-'Asy'ari Ceweng, tiba-tiba nyelonong sms di hapeku: Kiai Budi nDobol. Aku tahan rasa kesal dan amarahku, lalu aku jawab dengan singkat: maturnuwun. Muncul lagi sms: Maturnuwun-maturnuwun nDasmu. Aku nikmati kata kasar itu, aku balas lagi dengan kalimat kerendahan hati: Maturnuwun. Seketika muncul lagi sms susulan: Wong kakean doso, sesuk ra usah poso. Di atas keimananku, aku menanggung celaan itu, aku gembira dalam luka: maturnuwun.
Penghinaan dengan sms itu sampai sebanyak 18 buah, dan 18 buah juga aku menjawab tanpa emosi: maturnuwun. Selebihnya, aku rela sedemikian rupa, tidak ada daya aku melakukan perlawanan atas perlakuan buruk itu. Dan aku tidak mau memburu siapa yang mengirim pelecehan ini. Aku merasa kafirlah kalau sampai tidak ridlo atas kado dari Tuhan ini.
Menurutku, justru kiriman ini menjadi batu pijakan untuk semakin tangguh daya tahanku ketika menerima perlakuan sedemikian kasar. Aku olah dalam samudra cintaku kata-kata kasar itu: kalau kata-kata itu benar, berarti aku tambah bisa meningkatkan kebaikan lagi, namun ketika kata-kata itu tidak benar--biarlah keburukan itu berhenti kepada yang sms. Sampai sekarang aku tidak ingin tahu siapa pengirimnya, aku pun tidak mendongkol.
Pernah aku akan dilantik menjadi anggota DPR di kota semarang--sudah ukur jaz--beberapa hari sebelum pelantikan, ada team yang datang ke rumah, meminta terus terang biar si fulan yang dilantik, tanpa beban aku serahkan semuanya dengan sedemikian entheng. Pernah, aku berkunjung mengisi pengajian di sebuah kampung, ada seorang yang lapor kepada santriku bahwa tokoh di sini pernah bilang: Kiai Budi itu bisa apa! Padahal aku mendengar kata-kata itu, kemudian santri mendekatiku dengan membisiki bahwa tokoh yang ada disebelahku ini pernah mengatakan: Kiai Budi itu bisa apa! Dalam gelombang samudra cintaku, kata-kata penghinaan ini aku olah menjadi kata-kata cinta: Oh, santriku kamu salah dengar, yang aku dengar dari pelapor itu adalah: Kiai Budi ilmunya berkah bisa apa saja....
Kawan-kawan, inilah seni kehidupan yang akan mengikis keegoan dengan palatihan-pelatihan semacam itu. Aku ceritakan ini semua bukan untuk riya', tetapi untuk cermin kita semua, sekelas anjing saja ketika diusir oleh tuannya, anjing itu pergi, ketika dipanggil tuannya lagi, dia datang, tanpa dendam, tanpa kemarahan, tanpa dendam....
Sabtu, 03 Juli 2010
Rumah Cinta
Sedulurku tercinta, ketika Cak Nun dan Kiai Kanjeng melayani masyarakat di dekat Pesantrenku, pada dini hari beliau dan rombongan Kiai Kanjeng menyempatkan mampir. Aku gelarkan tikar di aula Pesantren, semua duduk melingkar, bersama sedulur Gambang Syafaat Semarang. Aku merasakan Cak Nun mengamati suasana, kemudian bertanya kepada semua yang hadir: apakan temen-temen tahu mengapa Kiai Budi menata struktur bangunan sederhana ini? Semua mengamati bentuk sambil bersila, tetapi tidak ada yang komentar, lalu Cak Nun menjawabnya sendiri: rumah dan bangunan Pesantren ini nuansanya Rumah Cinta.
Inilah sebenarnya titik momentum--yang diizinkan Allah--di mana aku sejak membaca puisi beliau judulnya Rumah Cinta, nuansanya aku sesuaikan dengan puisi beliau itu, ternyata yang memahkotai beliau sendiri--Rumah Cinta. Rumah dalam pandanganku ada dua, yakni rumah konkrit dan rumah abstrak. Rumah konkrit tentu bahannya terbuat dari batu, kayu dan lain sebagainya, serupa dengan tampilan rumah pada umumnya, tetapi bila direnungkan secara mendalam ternyata bangunan fisik pun memiliki makna penuh misteri. Halaman, beranda, ruang, pintu, jendela, kamar, atap serta wuwung (puncak rumah), semua memiliki makna yang mendalam.
Sementara rumah abstrak membangunnya dengan cahaya, sehingga rumah tidak hanya sekedar untuk menghitung uang, kumpul suami istri dan sebagainya yang bersifat kebendaan, tetapi diisi dengan kegiatan yang bersifat kemesraan dalam pengabdian-pengabdian. Makanya Kanjeng Nabi saw menyarankan: cahayailah rumahmu dengan shalat dan bacaan Qur'an, hiasilah rumahmu dengan shalat dan bacaan Qur'an. Hal ini menunjukkan bahwa di rumah inilah penerangan, pencerahan, kedamaian, kerukunan dan kebahagiaan itu berasal.
Dalam rumah cahaya, kita beri kebebasan atas kehadiran tanpa sekat-sekat perbedaan dengan cara memuliakan tamu-tamu itu. Di sinilah rumah akan nampak sebagai wajah kita, yang Cak Nun sebut Rumah Cinta itu. Ketika orang mengisi rumah dengan marah dan kebencian akan membentuk wajah suasana juga, yang berbeda dengan rumah yang diisi dengan kasih sayang dan cinta, serta saling memaafkan.
Rumah Cinta ini aku hiasi juga dengan cahaya: tempat untuk mengaji, tempat bersujud sebagai puncak rasa syukur, bercengkrama dengan siapa saja dalam ranah silaturrahmi, tanpa batas sekat kehidupan: partainya apa, ormasnya apa, warga negara mana, sampai pada agamanya apa. Rumput aku beri ruang tumbuh sebagai taman, burung-burung berdatangan di atas pohon sebelah rumah bernyanyi tentang cinta, anak-anakku bersama anak-anak kampung bermain bersama, ada ikan-ikan kegirangan di kolam, bunga mekar di sudut ruang halaman menebar wangi, ada dentang musik orkresta menggema, istri tersenyum--senyum rahasia.
Gambaran taman itu, merupakan taman hati juga, taman surgawi juga yang dihadirkan Tuhan di bumi. Gambaran yang lebih jelas tentu seperti yang ditulis Cak Nun dalam puisinya itu, Rumah Cinta. Sekarang aku persiapkan ruang-ruang penginapan sederhana untuk membaringkan kelelahan, bila kawan-kawan mampir ke Rumah Cinta ini, syukur dengan seluruh keluargamu, kan keluargaku juga....
Kawan-kawan, aku songsong dalam kehadiranmu ke Rumah Cinta ini, selamat datang, ini bukan rumahku, tetapi rumahmu juga. Biar sampai aku tulis alamatnya lengkap: Rumah Cinta, Komplek Pondok Pesantren Al-Ishlah, Jl.Ngumpulsari I No.11 RT O2 RW IV Kelurahan Bulusan, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.
Nomor Hp: 08122570032, 081390832007. Selamat datang, selamat datang, selamat datang: kami menunggumu....
Inilah sebenarnya titik momentum--yang diizinkan Allah--di mana aku sejak membaca puisi beliau judulnya Rumah Cinta, nuansanya aku sesuaikan dengan puisi beliau itu, ternyata yang memahkotai beliau sendiri--Rumah Cinta. Rumah dalam pandanganku ada dua, yakni rumah konkrit dan rumah abstrak. Rumah konkrit tentu bahannya terbuat dari batu, kayu dan lain sebagainya, serupa dengan tampilan rumah pada umumnya, tetapi bila direnungkan secara mendalam ternyata bangunan fisik pun memiliki makna penuh misteri. Halaman, beranda, ruang, pintu, jendela, kamar, atap serta wuwung (puncak rumah), semua memiliki makna yang mendalam.
Sementara rumah abstrak membangunnya dengan cahaya, sehingga rumah tidak hanya sekedar untuk menghitung uang, kumpul suami istri dan sebagainya yang bersifat kebendaan, tetapi diisi dengan kegiatan yang bersifat kemesraan dalam pengabdian-pengabdian. Makanya Kanjeng Nabi saw menyarankan: cahayailah rumahmu dengan shalat dan bacaan Qur'an, hiasilah rumahmu dengan shalat dan bacaan Qur'an. Hal ini menunjukkan bahwa di rumah inilah penerangan, pencerahan, kedamaian, kerukunan dan kebahagiaan itu berasal.
Dalam rumah cahaya, kita beri kebebasan atas kehadiran tanpa sekat-sekat perbedaan dengan cara memuliakan tamu-tamu itu. Di sinilah rumah akan nampak sebagai wajah kita, yang Cak Nun sebut Rumah Cinta itu. Ketika orang mengisi rumah dengan marah dan kebencian akan membentuk wajah suasana juga, yang berbeda dengan rumah yang diisi dengan kasih sayang dan cinta, serta saling memaafkan.
Rumah Cinta ini aku hiasi juga dengan cahaya: tempat untuk mengaji, tempat bersujud sebagai puncak rasa syukur, bercengkrama dengan siapa saja dalam ranah silaturrahmi, tanpa batas sekat kehidupan: partainya apa, ormasnya apa, warga negara mana, sampai pada agamanya apa. Rumput aku beri ruang tumbuh sebagai taman, burung-burung berdatangan di atas pohon sebelah rumah bernyanyi tentang cinta, anak-anakku bersama anak-anak kampung bermain bersama, ada ikan-ikan kegirangan di kolam, bunga mekar di sudut ruang halaman menebar wangi, ada dentang musik orkresta menggema, istri tersenyum--senyum rahasia.
Gambaran taman itu, merupakan taman hati juga, taman surgawi juga yang dihadirkan Tuhan di bumi. Gambaran yang lebih jelas tentu seperti yang ditulis Cak Nun dalam puisinya itu, Rumah Cinta. Sekarang aku persiapkan ruang-ruang penginapan sederhana untuk membaringkan kelelahan, bila kawan-kawan mampir ke Rumah Cinta ini, syukur dengan seluruh keluargamu, kan keluargaku juga....
Kawan-kawan, aku songsong dalam kehadiranmu ke Rumah Cinta ini, selamat datang, ini bukan rumahku, tetapi rumahmu juga. Biar sampai aku tulis alamatnya lengkap: Rumah Cinta, Komplek Pondok Pesantren Al-Ishlah, Jl.Ngumpulsari I No.11 RT O2 RW IV Kelurahan Bulusan, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.
Nomor Hp: 08122570032, 081390832007. Selamat datang, selamat datang, selamat datang: kami menunggumu....
Langganan:
Postingan (Atom)