Sedulurku tercinta, bermula dari masa kecilku yang dilarang oleh pak guru Madrasah [ternyata dari dawuh Kanjeng Nabi saw] untuk tidak mengencingi lubang [leng, Jawa] karena di sana ada makhluk yang butuh tak diganggu, menjadikan hatiku sampai sekarang tidak tegaan jadinya. Sehingga pada puncak keimanan pun sebenarnya sejauh mana tangan dan lisan ini tidak mengganggu orang lain dan sejauhmana mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.
Aku tidak kuasa apa-apa, tetapi hati ini menjadi gemetaran saat mendengar pembantu rumah tangga dianiaya, melihat kuli bangunan diremeh-remehkan mandornya, anak-anak dihajar orang tuanya, dan silahkan cari penganiayaan yang lain, lalu [ini yang akan aku ceritakan] pelacur dikewer mucikarinya lalu dijambak rambutnya sambil didorong keras tubuhnya, lalu ditangkap pemesannya di sebuah hotel, tepat didepan pintu.
Aku langsung gemetaran, dan membayangkan andai dia punya suami, andai dia dilindungi keluarga, andai dia dilindungi pemerintah daerahnya, andai dia diurusi organisasi sosial agamanya, andai dia dirawat partai politiknya, andai dia dijamin negaranya andai dia, andai dia, andai dia, andai dia, andai dia, andai dia.
Kalau aku amati: orangnya cantik banget, tetapi sedemikian tidak berharga kehormatan dirinya. Ingin rasanya akan aku rebut dari pelanggannya dengan cara menebus kontraknya, bukan untuk keinginan menggaulinya, tetapi untuk membebaskannya itu dari penganiayaan yang entah kapan itu usainya, paling tidak saat aku melihat itu. Tetapi apa dayaku, aku tertunduk malu, dalam ranah Tauhid: ini juga kesalahanku, kesalahanku, kesalahanku!
Lalu aku teringat pesan Nabi saw sebelum meninggal: jagalah wanita, jagalah wanita, jagalah wanita, wanita adalah tiang negara, kalau mereka baik jayalah bangsa, kalau mereka buruk, hancurlah bangsa, sorga dibawah telapak kaki Ibu. Bahkan Gandhi pun menghargainya: tanpa wanita kemajuan tak akan bisa dicapai. Aku membayangkan apa yang terjadi di kamar itu, bisa menjadi ladang pembantaian nafsu, dia hanya dihargai tubuhnya tetapi tidak perasaannya, sedemikian kuat itu lembaran kertas yang namanya uang.
Banyak hal ini yang disalahkan adalah orang lain: salahnya sendiri!! Tetapi mana hidup ini yang sendiri, dalam kesatuan Wujud bukankah semua ini bersumber dari Satu Ruh, akhirnya aku beranikan menyalahkan diriku sendiri: aku salah, aku salah, aku salah!
Aku pahami dalam jeritan Tuhan pada Hadis Qudsi: Aku lapar kenapa kau tak memberiku makan, Aku sakit kenapa kau tak menjengukku, Aku haus kenapa kau tak memberiku minum, Aku telanjang kenapa kau tak memberiku pakaian, Aku, Aku, Aku, Aku.
Kalau demikian, dalam setiap perjalanan kita akan kita temui keadaan yang demikian, jeritan Tuhan ini hakekatnya adalah mewakili derita hambaNya. Citra keberagamaan kita sebenarnya diukur sejauhmana keterlibatan mengurusi derita umat ini, bukan pada indahnya pernik tasbih, bagusnya lembar sajadah dan kemegahan jubah-jubah itu, tetapi membebaskan derita hamba itulah bagian dari cara kita: mendekat atau taqarrub itu kepadaNya….
Kawan-kawan, jangankan soal-soal yang berat ini menyangkut manusia, bahkan ketika Kanjeng Nabi saw melihat seekor onta dibenani diluar batas kewajaran, beliau gemetar seluruh sendinya. Ow, ampuni aku ya Allah, ampuni aku ya Allah, ampuni aku ya Allah, aku hanya bisa melihat namun tak kuasa menolongnya….
Sabtu, 16 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar