Sedulurku tercinta, simaklah kata-kata ini: Tradisi adalah agama! Begitulah yang berlaku di tengah masyarakat kita, begitu banyak "amalan-amalan" yang diatas namakan agama namun setelah diteliti ternyata tidak ada yang asal-usulnya adalah dari agama, amalan-amalan itu tak lebih hanyalah tradisi yang sudah mengakar dan mendarah daging di tengah manusia, manakala berusaha diluruskan mendadak, mereka akan menunjukkan reaksi seolah-olah telah melanggar sebuah ritual yang sangat sakral, kompensasinya dikucilkan dan dijauhi masyarakat, realitas di atas banyak kita jumpai saat ini, menjamurnya amalan-amalan antah brantah ini menimbulkan keprihatinan kita, apalagi sebagian dari amalan-amalan tersebut kebanyakan berbau syirik!
Orang yang bilang ini menyebut selainnya tetep menganggap saudara, kata-kata menghakiminya ini mereka sebut sebagai nasehat, dengan cara: menuduh pihak saudaranya dengan argumen dalil-dalil, sementara dalil-dalil saudaranya dituduh palsu dan lemah, dalil mereka yang shoheh, memakai hadis palsu dan lemah sama artinya berdusta atas nama bagi Nabi saw. Berdusta atas nama Rasul adalah perbuatan haram yang dilarang dan termasuk dosa besar, apapun alasannya, apakah untuk memancing orang supaya giat beramal ataupun yang lainnya, tambah lagi hal itu sebagai kebohongan terhadap Allah, semua menyesatkan manusia, maka amalan itu menyiapkan tempatnya di neraka.
Aku sangat salut kepadanya atas nasehat [katanya] ini, betapa mereka sangat memiliki kepedulian kepada saudaranya sesama muslim ini sampai menyita waktu hidupnya, demi saudaranya--katanya. Tetapi [mohon maaf] mereka melupakan adab sopan santun dalam mu'amalah kemanusiaan ini, dimana seharusnnya mereka melihat dirinya supaya mereka melihat Tuhannya dan kemudian memiliki keluasan pandangan, tetapi justru mereka memakai dalil-dalil Tuhan [bukan untuk melihat dirinya] yang belum sempurna itu, tetapi menghakimi saudaranya yang sama-sama ingin menuju kesempurnaan iman itu.
Ketika menghakimi, dengan demikian menjadi tanda bahwa dalam jiwanya yang ada hanya "kuasa", bukan kerendah hatian itu. Ranah kuasa itu wilayah ego, yang pada ujungnya akan mengemuka dikenal dunia, bukan dikenalNya, mereka ingin menang dan juara diatas jeritan derita saudaranya, yang sebenarnya mewujud sikap ananiyah atau ke"aku"an itu. Memang mereka menghadap kiblat, pegangannya Qur'an, busananya bagus, rajin beribadah dan tidak menyembah berhala atau tidak syirik itu, namun ketahuilah [kalau boleh aku berpendapat] bahwa mereka itu menuduh syirik tetapi melakukan syirik juga, dalam bentuk nyata merasa ke "aku" annya itulah hakekat keberhalaan dalam hatinya itu.
Sementara dalam satu sisi ada yang jiwanya selalu mencari, sehingga tidak sempat menghakimi kedirian orang lain dalam menuju kesempurnaan iman itu, karena Tuhan telah menyodorkan adab sopan santun dalam proses kerinduan kepadaNya itu: bagimu agamamu, bagiku agamaku, bagimu amalanmu, bagiku amalanku. Apa salah orang ketika melihat "ciptaan"Nya [apa saja] lalu karena keterpesonaannya sudah menjadikan hatinya luruh, ambruk dan lembut, kemudian menjaga moralitas kebersamaan kemakhlukan ini? Itulah syirik Cinta.
Andai salah bukankah resiko kedirian itu akan dipertanggungjawabkan sendiri dihadapanNya itu? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak mnghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bagi yang pongah adab sopan santunnya, bisa menyimak kata-kata Rumi: penyembah berhala dengan tingkat kegairahan "mencari" itu lebih baik daripada bersimpuh di masjid tetapi merasa sok suci atau benar sendiri.
Atau misalnya, seorang perempuan tawanan perang yang menceritakan kebaikan ayahnya, yang menunaikan Cinta dalam bentuk pelayanan sosial, namun dia belum beriman secara formal, ternyata Kanjeng Nabi menyatakan: ayahnya itu besok di akhirat termasuk orang yang dekat dengan Allah, padahal ayah itu dalam tanda pethik--masih kafir itu….
Kawan-kawan, dalam kafilah hidup ini, sebagai anak-anak cucu Adam kita harus menyadari bahwa manusia sama-sama dalam menujuNya dan menatapNya, tidak selayaknya secara adab saling menghakimi satu sama lain karena masing-masing kita berjuang dalam proses menujuNya itu. Aku tidak putus asa atas ini semua, di tngah puing sejarah sekalipun, aku tetap berharap bahwa drama agung kehidupan ini sebenarnya bagian dari kehendakNya, dimana Adam diturunkan ke dunia menjadi tujuanNya, supaya "nggendong" seluruh anak-cucu Adam untuk kembali ke surga itu lagi, surga akan di huni bersama sesuai dengan amalnya masing-masing, andai kita lihat kejahatan dan kesalahan, tetap kita beramar makruf nahi mungkar dengan ketulusan tanpa dicampuri ke"aku"an yang hakekatnya, keakuan itu adalah keberhalaan itu sendiri, yang nyata.
Atas CintaNya yang suci, kejahatan dan kesalahan akan ditataNya dengan kehalusan tanganNya, menuju kesucian mereka. Kejahatan dan kesalahan musti diganjar dan dihukum--coba pikirkan kembali--firmanNya: marahKU kalah oleh cintaKU, maknanya kesalahan dan kejahatan yang sering menjadi bahan olok-olokan itu sebenarnya akan dimaafkan Tuhan, namun apakah diri ini akan berkelas dimaafkan, bukan berkelas dirindukan itu....
Punten, wallaahua'lam bishshowab....
Selasa, 02 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar