Selasa, 02 November 2010

Akhirat Cinta

Sedulurku tencinta, semenjak kecil aku diperdengarkan bahwa akhirat itu kekal, setelah tua ini aku ditunjukkan bahwa kekekalan itu bukan bentuk kenyamanan dan kebahagiaan yang mandeg atau statis itu. Kemudian keterangan tentang surga ternyata dikabarkan tentang bidadari, buah-buahan dan gemericik air sungai-sungai yang biasanya aku sebut kurnia itu. Dan neraka adalah tempat dimana Dia menyucikan hamba-hambaNya dari kesalahan-kesalahan itu.

Dunia ini yang "tetap" adalah perubahan--kata pemikir Iqbal, maka perubahan sebagai sesuatu yang permanen [abadi] merupakan pemahaman tentang perjalanan misteri yang tak bertepi ini. Akhirat lebih baik dari dunia ini, juga menunjukkan makna perubahan yang tetap itu, bagai gelombang samodra yang terus bergerak itu. Kemudian tentang manusia yang dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan telanjang dan dalam betuk sesuai dengan amalnya, mengindikasikan tentang kelahiran-kelahiran kehidupan ini. Kemudian padang mahsyar merupakan suasana dimana manusia akan dikumpulkan menurut kelompok-kelompok atau rombongan-rombongan menurut yang mereka cintai ini. Setelah itu akan ada timbangan yang akan menentukan surga neraka manusia itu.

Dari sudut ini aku pernah membaca keterangan Kanjeng Nabi bahwa ada suasana surga yang diturunkan di bumi dan ada suasana neraka yang diturunkan di bumi, bahkan Allah menyatakan dalam Al-Qur'an: bagaimana kamu bisa tidak percaya kepada Allah, tadinya kamu mati dihidupkanNya, lalu dimatikanNya, lalu dihidupkanNya kembali, hanya kepadaNya lah tempat kamu sekalian kembali.

Kalau orang memahami bahwa Tuhan juga ingin dikenal, dengan bentuk nyata tajalliNya ini, tentu berkaitan juga dengan pernyataanNya: semua yang tercipta tidak ada yang sia-sia dan tidak ada yang salah dalam semua ciptaan ini. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa hari-hari perhitungan dan surga maupun neraka terjadi dalam perjalanan abadi ini, dalam bentuk siang malam dan langit bumi, semua serba simbolik dan tentu perlu dicermati essensi atau hakekatnya itu. Rumi juga menyatakan bahwa manusia [kita] telah mengalami jutaan kematian dan jutaan kelahiran itu, menujuNya.

Ketika aku melihat tragedi, tentu ada empati dalam diriku namun dalam pemahaman bahwa tidak ada yang salah dalam dunia citaanNya itu, aku lalu memahami bahwa tragedi itu sekecil apapun dan sebesar apapun itu sebagai "neraka" yang bernuansa sebagi tebusan atas kesalahan-kesalahannya--yang aku tidak tahu secara kemenyeluruhan hidupnya, hanya Dia yang Maha Tahu itu.

Sebaliknya manakala manusia mengalami suasana Taman Kebahagiaan yang disebut "surga" itu bagian dari penghargaan atas amal-amal baik sebelum kehidupan sekarang ini, makanya kalau sekarang manusia sembrono atas karunia surga itu maka akan terhisap pada akhirnya pada traveling hidup berikutnya dengan apa yang disebut "neraka" itu.

Makanya kalau aku melihat orang gila dengan membawa sampah-sampah, aku terbayang kehidupan sebelumnya ia sebagai orang kaya yang tidak mendermakan hartanya, sebagian itu. Kalau aku melihat orang buta, terbayang bahwa boleh jadi ia sebelumnya tak mengenal Tuhan itu, atau kebiasaannya melihat kemaluan dirinya atau kemaluan orang lain itu. Kalau aku melihat pejabat yang tidak adil dan korupsi, terbayang olehku, itu merupakan "tiyang gantungannya" sebab sebelumnya ia tidak amanah itu.

Kalau aku melihat orang membayar tragedi sekarang, aku yakin mereka akan memiliki kehidupan di Taman Kebahagiaan di akhir nanti. Kalau orang dicipta bisu, boleh jadi merupakan indikasi ketika hidup sebelumnya ia suka mengktitik orang lain dengan sesuka-suka menurut egonya itu. Kalau rumah tangga tidak harmoni, ada indikasi boleh jadi diantara mereka sebelumnya suka menyakiti suami atau istrinya itu. Kalau ada yang cacat fisiknya [misalnya, amit sewu, apa saja bentuknya] ada indikasi sebelumnya ia telah berbuat aniaya kepada sesamanya itu....

Kawan-kawan, kalau sekarang engkau semua empati dan peduli membantu orang-orang yang menebus kesalahan-kesalahannya, itu bagian dari keindahan hidupmu yang memberi pertolongan atau "syafaat" itu. Dan aku yakin, hidupmu di akhir yang sedemikian terus, maka engkau akan menikmati suasana surga abadi, namun bagi yang tidak rela atas perhitungan di dunia ini, boleh jadi ia akan mengalami suasana neraka abadi.

Dari abstraksi ini, menjadikan aku harus selalu melihat diriku sendiri: keburukanku, kebodohanku, kehinaanku, kemalasanku, kebakhilanku, kesombonganku, ketidak adilanku, dan seterusnya agar memperbaiki diri, sebelum di akhirat nanti, agar nerakaku tidak abadi. Kemudian aku hanya melihat kebaikanmu semua kawan, aku membayangkan diperjalanan nan abadi ini memiliki anugrah mata yang indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, yang memiliki tatapan mata Cinta...

Sekarang kita ternyata dalam pengadilanNya, dan alangkah naifnya itu orang-orang yang mengadili orang lain yang sudah kuyup dalam perhitunganNya ini, kini gemetar segenap sendi tulangku, aku menangisi tragedi orang lain sebagi tangis kasih sayang, dan aku menangisi diriku sendiri atas aib-aibku ini, ampuni aku ya Rabb, ampuni aku, ampuni aku, ampuni aku....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar