Sedulurku tercinta, ketika sujud Kanjeng Nabi mengingatkan untuk nambahi do'a-do'a lain, karena sujud merupakan puncak kehambaan bagi manusia, dimana kepala diletakkan pada posisi dibawah tumit, ini menunjukkan kerendah hatian manusia sementara hatinya mendongak ke langit melintasi ketinggian derajat malaikat megetuk Arsy Tuhan.
Ketika aku mendengar kabar mBah Marijan meninggal dunia di dapur dalam posisi sujud ketika panggilan Cinta datang menjelang, siapapun jadi cemburu pada beliau untuk menginginkannya manakala panggilan Cinta tiba--termasuk aku. Bukan saja cemburu, tetapi malu karena banyak manusia sujud, bukan saja ribuan mungkin jutaan sampai "bathuknya" ada atsarissujud namun mereka tidak menemukan panggilan Cinta itu pada posisi sujud itu.
Walau beliau sujud tersungkur di dapur, bukankah bumi ini masjid sebagaimana sabda Kanjeng Nabi itu, maknanya bumi ini merupakan sajadah nan luas bagi manusia yang bersimpuh hatinya kepada Sang Khalik itu. Kalau sujud sebagai puncak dari kehambaan, maka hal yang musti disadari sebagai hamba adalah taat kepada Tuhan itu. Karena Tuhan itu memiliki sifat qiyamuhu binafsihi, dimana Dia berdiri sendiri--terangnya--tidak membutuhkan makhluk.
Cuma ada rumusan dimana manakala kehambaan itu diekspresikan dalam bentuk sujud itulah. Sujud secara bentuk bisa kita lihat sebagaimana dalam shalat, atau sujud-sujud yang lainnya semisal sujudnya mBah Marijan itu. Sementara sujud secara essensi terekspresi dalam pelayanan kepada milikNya ini semua--secara ikhlas. Dari sisi sujud kedua inilah aku melihat sujud Cinta ada dimana-mana, misalnya: petani yang setia menggarap sawah ladangnya, pelaut yang mengarungi samudra menjemput karunia atau petani tambak itu, tukang sol sepatu sandal yang mengais rejeki untuk keluarganya ala kadarnya, seorang guru yang telaten mncerdaskan anak-anak bangsa semisal Ibu Muslimah dalam kisah Laskar Pelangi itu, tukang becak yang selalu terjaga demi sesuap nasi keuarga sampai cilupba dengan satpol PP itu, bakul-bakul blanjan yang menelusuri gang-gang kampung dan lorong-lorong kota, penjual pecel atau sate yang membawa dagangannya dengan di"sunggi" di atas kepala sambil nenteng bawaan lainnya bagai akrobat itu, tukang pemungut sampah atau tukang sapu jalan kota yang bangun dini hari di tengah nyenyaknya orang-orang bermimpi, pengamen-pengamen yang bersahaja dalam asa dan cita asal dapur ngibul saja mereka sudah menemukan bahagia, kiai-kiai yang menghabiskan umurnya menemani umat dan masyarakat disamping momong anak-anak kampung itu dalam dekapan hangat akan cinta, dan lain sebagainya dengan ribuan bahkan jutaan gerak hidup, yang satu dengan yang lainnya saling bermatarantai dalam saling melayani secara setia dan ikhlas.
Andai mereka meninggal dalam perjalanan melayani itu, maka sama halnya dengan mBah Marijan dengan gagah berani menyongsong maut menjemput dengan bersujud itu, dan mati mereka adalah syahid ganjarannya--syahid Cinta....
Kawan-kawan, dalam menumbuhkan kehidupan selalu dibutuhkan bentuk dan essensi, dimana--kata Rumi--isi tanpa kulit tak akan bisa tumbuh, kulit tanpa isi tak akan bersemi. Dalam keberagamaan memiliki nuansa yang sama, bila beragama hanya kulitnya saja maka akan melahirkan kekosongan jiwanya, tetapi manakala beragama hanya isinya saja maka ia tidak akan melahirkan pesona hidup berbagi dan bertentangan dengan misi kekhalifahannya di bumi ini.
Bagi mBah Marijan jelas Cinta telah beliau tunaikan kedua-duanya: cinta kepada sesama makhluk beliau tuntaskan di lereng Merapi, cinta kepada Tuhannya ia puncaki kematiannya dalam posisi bersujud itu....
Selamat jalan mBah Marijan, seberkas cahaya Cinta telah kau tebarkan dan menjadi kesaksianmu itu....
Selasa, 02 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar