Sabtu, 16 Oktober 2010

Kafarat Cinta

Sedulurku tercinta, ketika aku melihat semua bentuk derita, terbayangkan di baliknya adalah cahayaNya, sementara mereka yang tak tahu di balik penderitaan itu selalu mengeluh dengan bermacam ungkapan, lucu sebenarnya. Sikapku ini bukan tidak empati kepada derita dan kepayahan namun keprihatinan itu sebenarnya selubung dan di baliknya adalah kehendak baikNya itu, di balik kulit ada isi yang segar.

Kalau manusia merasakan kegembiraan dengan berbagai warna, waspadalah bahwa ujungnya bisa berubah kepahitan dan tragedi. Sekaliber singgasana Fir'aun, tragedinya adalah melahirkan supremasi dirinya itu di hadapan Tuhan, imperium diperoleh tetapi ia kehilangan di hatinya singgasana Tuhan, dia sendiri yang mengaku Tuhan. Namun bagi yang menderita dalam kepahitan, pahamilah pada ujungnya terasa sebagai manisan, memang tak merasakan kenyamanan dalam imperium itu, tetapi ia akan mendapatkan imperium lain yang Maha: Dia bermahkota di hatinya.

Aku bergembira selalu dipertemukan Tuhan kepada mereka-mereka yang nampak menderita, tetapi tidak sebenarnya, sebaliknya aku sering menemukan banyak orang yang nampak gembira tetapi hakekatnya menderita, derita yang dibungkus ketawa dan senyuman.

Misalnya pagi ini, aku dipertemukan seorang penjual jamu gendong ketika sedang jalan-jalan pagi, sambil jajan nasi pecel minumnya jamu paling pahit darinya itu [barangkali berguna bagi tubuhku]. Di samping penjual pecel dan jamu gendong ini, ada tukang sapu jalan, tukang becak, penjual kelontong kaki lima, satpan perusahaan, sopir truk yang kepayahan dan deru kendaraan yang lalu lalang dengan menjemput derita masing-masing. Aku sebut derita masing-masing, karena dunia ini batu gosok sementara manusianya dengan berbagai level adalah pedangnya, dan tentu yang menggenggam itu Tuhan, seburuk apapun mereka, iya kan?

Aku tak mampu menceritakan semua derita penggosokan ini, maka akan aku ceritakan satu saja: tukang jual jamu gendong yang aku reguk dari adonan tangannya yang paling pahit itu. Namanya Ibu Maryati [indah kan], alamatnya tidak sempat aku tanyakan, usianya 55 tahun, anaknya tujuh [semua di Jakarta], berkerudung sederhana, baju kebaya Jawa, pakai tapeh [jarit], sudah 25 tahun berjualan jamu gendong, [oh,iya] sandalnya jepit.

Dia berdinas mulai sehabis subuhan sampai jam sebelas siang, menjelang dhuhur, keuntungan bersih limapuluh ribu rupiyah. Ya, cara dia berjualan itu sederhana: ia hanya berjalan terus dari gang ke gang, dari kampung ke kampung, ternyata merekalah yang memanggil dia, bukan dia yang bengak-bengok [gembar-gembor] menawarkan. Dia tidak mau bantuan anak-anak yang dibesarkan itu, walau sukes di Jakarta.

Kemandiriannya itu yang aku takjubi, ya dia tak mau mandek namun terus bergerak, sampai ajal tiba--katanya. Senyum tetap mengembang: sepanjang jalan. Sesaat aku termenung oleh kata-kata Iqbal: semesta ini penempaan, semua bergerak: matahari, bulan, bintang-bintang dan gugusan bintang-bintang, kalau kau tak bergerak maka mingggirlah karena kau tak siap dalam dunia penempaan ini, jadilah kau bunga tanpa aroma dan gelak tanpa tawa.

Aku lebih terpikat pesona Ibu Maryati ini dibanding khabar-khabar besar di televisi dan koran yang nggegirisi itu: anda tahu sendiri kan? Aku melihat dia: senja yang bertaburan akan fajar, ia menyongsong sang ajal dengan semangat yang menyala, tetap bekerja, tetap bekerja. Aku bayangkan betapa bening hatinya, karena derita kerja dengan kesungguhan dan kesetiaan itu mengantarkan dia pada ampunan Tuhan.

Kanjeng Nabi saw menyatakan: kerja keras itu menjadi kafarat dosa, yakni menjadi tebusan dosa. Bahkan sekecil kena ujung jarum saja menjadi kafarat dosa. Akhirnya dalam hatiku menjerit-njerit: Wahai saudara-sadaraku yang dilanda musibah, saudara-saudaraku penyapu jalan kota yang sungguh-sungguh, saudara-saudaraku tukang becak yang megah kesabarannya, saudara-saudaraku yang teraniaya, saudara-saudaraku para sopir yang hati-hati, saudara-saudaraku siapapun kamu yang merasa menderita, jangan bersedih dan mengeluh, ayo teruslah melaju dalam penantian nan indah ini, menuju kepadaNya, lebih berharga mana kau tanpa derita tetapi hatimu kosong tanpa Dia tuan rumahnya, dibanding imperium tak kau punya tetapi dipuncak deritamu Dia bermahkota di hatimu, ayo, ayo, ayo, ayo......

Sedulurku, begitu jeritan hatiku terhenti, Ibu Maryati berpamitan dariku dengan setumpuk do'a: mas, mugi panjenengan pinaringan sehat panjang umur murah rejeki, pinaringan anak-anak ingkang sae-sae, pengeran ndandosi lahir batin panjenengan sarono manah ingkang sae lan suci, soho pinter olehe nyukuri kanikmatan, pareng-pareng....

Suaranya masih terngiang entah sampai kapan ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar