Sedulurku tercinta, betapa soal kegigihan dalam melibatkan diri kepada pekerjaan itu amat penting--bisa di sebut kesetiaan. Dalam drama agung kehidupan, manusia paling banter bisa mengambil satu peranan dalam ladang akhirat ini, ya mengambil satu peranan.
Banyak para guru sufi memiliki pekerjaan sebagai penghidupan mereka: tukang sol sepatu, memintal kain, berdagang dan lain sebagainya. Kemandirian adalah kuncinya, mereka tidak bergantung kepada siapapun kecuali memethik dengan segar rizki dari Allah. Misalnya seorang mistikus Abu Huseyn Nuuri: Setiap pagi dia berangkat dari rumah menuju tokonya, dan membeli beberapa iris roti di tengah jalan, dia memberikan roti itu sebagai sedekah, kemudian pergi ke masjid tempat dia menunaikan shalat sampai tiba shalat dhuhur, dia akan pergi dan membuka tokonya sementara masih berpuasa, para saudagar lain menganggap bahwa dia telah makan di rumah, sementara orang rumah menganggap dia sudah makan di pasar, dia dua puluh tahun melakukan jalan [lelaku] ini, dan melakukan pekerjaan itu.
Kisah ini bisa menebar wangi dalam bentuk: keterlibatan dalam sebuah pekerjaan, menghindari kemalasan dan pengangguran. Disamping itu sikap ini juga membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan kepada sesama umat manusia serta untuk mendukung perkembangan kualitas-kualitas manusia di antara saudara mereka, mereka menjunjung tinggi cita-cita yang amat luhur ini--berbagi itu.
Misalnya ada kisah lagi: ada seorang Waliyullah Ma'ruf Al-Karkhi mengumpulkan buah kurma, pekerjaan ini dilakukan hanya karena beliau melihat seorang anak menangis [anak yatim-piyatu], padahal hari itu hari raya, dimana semua anak diberi baju baru, sementara dia tidak, anak-anak yang lain bisa main kelereng sementara dia tidak, lalu Kiai Ma'ruf itu mengumpulkan buah kurma itu untuk dijual, untuk membelikan kelereng agar anak yatim-piyatu itu dapat bermain, sehingga dia tidak menangis lagi.
Ada lagi, biasanya dilakukan oleh santri "ndalem" [santri yang ikut di rumah Kiai]: tadinya anak orang kaya, ilmu punya, praktek spiritual sudah, meditasi sudah namun dia butuh mengalami terlepas dari semua itu, maka salah satu "jalan" dia adalah melakukan pelayanan kepada Kiainya itu--mengabdi, mulailah dia melakukan tugas pribadinya untuk membersihkan kamar mandi, memasak, mencari kayu bakar, belanja, bertani dan sebagainya, dimana dia melakukan dengan gigih dan ikhlas, dia menjadi terbiasa melakukan itu semua dan menyadari keberartian ruhaniyahnya, bahkan untuk kebutuhan Kiainya dia jual serbannya, jual sepatu mahalnya, jual kain bordir jubahnya, ketika ayahnya melihat dia seperti itu bertanya: Nak, putraku apa maksudmu dengan semuanya ini? Anak itu menjawab: lihatlah aku Ayah, tetapi jangan tanyakan tentang semua ini!
Malam ini juga ada kisah menarik dan menakjubkan, seorang anak yang kemaren aku kirim sajak lewat Kang Budi Santoso saat dia berulang tahun, namanya Nurul binti Awi Tasripin, dia membahasakan cinta yang telah ditunaikan, telah dibayar, aku melihat gambar fotonya nampak sedemikian semeleh hatinya bagai sosok seorang ibu yang santun [lihatlah sendiri fotonya], aku membayangkan dia punya perkataan yang halus, sikap yang menyenangkan, air muka yang gembira, sifat derma, toleran, sikap memaafkan bahkan rela mengabaikan kebajikannya [ciri keikhlasan], bahkan aku yakin ia akan punya cinta yang universal, amin….
Kawan-kawan,bacalah goresan jiwanya dalam tulisan yang amat sangat indahnya ini:
Setiap hari jaga adikku Shofa
Dan membantu Ibuku jam 12.00
Aku pulang sekolah jaga adikku lagi
Pantang menyerah itulah hidupku sehari-hari
Nurul, 20/10/10
Karena dia masih kecil, maka aku sebut bibit, dan karena cinta yang telah ia tunaikan seindah itu maka aku sebut bibit Cinta, dimana setiap orang tua memiliki harapan dan cita seperti itu, cita-cita adalah bagai benih itu dalam tanah, tumbuhnya hanya menunggu seiring musim, maka ia akan menjelma Cinta, berbahagialah Kang Awi, berbahagialah Kang Awi, berbahagialah….
Kamis, 21 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar