Sedulurku tercinta, aku punya langganan dukun pijet kampung, namanya Jumian Tunggak, nama terakhir ini karena dia punya keahlian membongkar tunggak [akar bekas tebangan pohon], mungkin di antara teman fb yang pernah berkunjung ke Rumah Cinta pernah kesentuh tangan Jumian Tunggak ini sebagai pelepas lelah, salah satunya adalah Cak Haris Surabaya itu. Perawakannya kekar, suaranya lantang dan menggelegar, kalau aku membayangkan dia seperti Bimo alias Werkudoro itu, atau bagai singa padang pasir Sayyidina Umar bin Khotob itu.
Dia punya kebiasaan, manakala ada orang kampung meninggal maka dia libur bekerja dan menjadi penggali liang kuburnya, tanpa transaksi dan amat bagus serta rapi garapannya. Pekerjaan lain dia adalah pemecah batu di hutan serta tukang pijit lelah itu, bahkan galian pondasi serta meratakan tanah Pesantren lewat tangan kekar dia itu, kalau mulai bekerja dia berucap: Bismillah wolowolokuwato, ternyata kalimat yang terakhir itu maksudnya Laahaula walaaquwwata. Dengan seambrek pekerjaan itu menjadikan dia jarang di rumah walau sepanjang malam [dia kuwat melek], bahkan kalau aku minta pijit rata-rata setelah pulang pengajian, sekitar jam 3 pagi sampai subuh menjelang.
Nah, dari sinilah nampaknya menjadi sumber masalah dengan istrinya [anaknya empat], jarang di rumah. Orang segagah dan sekuat itu ternyata sedemikian mengalah dengan istrinya yang [masyaAllah] crewetnya [na'udzubillah], hal ini aku ketahui sendiri saat pas mijiti aku, istrinya meradang tanpa tedeng aling-aling: Kamu edan ya, sejak tadi siang tak nongol hidungmu ternyata seharian tidak kerja [kata tetangga] malah jajan di warung janda itu, kamu itu kalau ngomong ndobol dan suka berbohong, sejatinya aku ini muak dengan sikapmu, wong lanang tak tahu perasaan, kamu itu manusia apa bukan, setan kamu ya, aku menjadi istrimu kurang apa, ngeboti dapurmu apa untungnya, kamu selalu menyakiti hatiku, sejak dulu aku kan minta cerai sama kamu, sungguh bajingan kamu itu, sontoloyo kamu, suka berjanji mau kasih apa ternyata omong kosong, aku sudah tidak percaya dengan janjimu, kamu tak tahu di rumah berhadapan dengan anak-anakmu sedemikian repot, kalau mereka minta jajan kamu tidak kasih aku duit, dasar lelaki tak tahu diri, kamu terlalu asik dengan duniamu, kalau memang sudah tidak seneng sama aku ayo lepaskan aku, aku bisa hidup tanpa kamu, aku tak akan tergantung sama kamu, aku bisa mandiri, seandainya aku tidak berjodoh dengan kamu nasibku bisa menjadi lain, tahu nggak kamu, mana hasilnya kamu membelah batu, mana hasilnya kamu nuruti kemauan orang melulu kala menggali kubur itu, mana, mana, mana, mana, di rumah aku ini bukan budakmu, aku ini manusia yang berperasaan tahu nggak, aku ini bukan bonekamu, bukan robot, aku butuh bercengkerama dengan kamu dan anak-anakmu, sudah berapa kali kamu menipuku, melihat potonganmu aku menjadi jijik, mustinya kamu bisa membagi waktu, ini waktu bekerja, ini waktu duduk kubur, ini waktu di rumah, ini waktu pijit, apa dikira aku tidak butuh kamu, atau kamu sudah tidak butuh aku, kamu itu menggantung diriku, apa dikira aku takut sama Kiai, walau di depan Kiai dengarkan kata-kataku, tidak sekali dua kali ini, apa salahnya mijiti Kiai bilang dulu, bibirmu dimana, tahu rumahmu nggak, tahu rumahmu nggak, di warung lama-lama kalau di rumah hanya sesaat sebagai ampiran, apa aku ini gundikmu, mendekat hanya kalau kamu butuh setelah itu ngeloyor pergi, ayo omongo aku tampar mulutmu nanti....
Kawan-kawan, sepanjang aku dipijiti, Jumian Tunggak itu sepertinya tak mau meladeni amarah istrinya itu [bukan acuh tak acuh], mendengar kata-katanya aku menghawatirkan akan dia bogem istrinya itu, ternyata tidak, begitu usai mijiti [sementara tarkhim masjid bergema] Jumian Tunggak ini pamitan, aku melihat dia bagai kerbau dicocok hidungnya digiring sama istrinya pulang, masih aku dengar sayup-sayup antara tarkhim dan marah istrinya sepanjang jalan: kamu, kamu, kamu, kamu, kamu, kamu, kamu.
Aku pernah bilang sama Jumian Tunggak itu bahwa surgamu memang karena istrimu itu, bahkan dia bilang sendiri: sabar, sabar, sabar kalau diladeni malah menjadi berabe, biarlah aku yang menjadi sasaran daripada ke orang lain. Duh, andai aku yang mengalami belum tentu memiliki kesadaran setinggi itu, fajar itu aku memperoleh pelajaran amat sangat berharga, semoga demikian bagi anda, amin2 ya rabbal'alamin....
Rabu, 10 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar