Sedulurku tercinta, pada tanggal 17 Mei 1963 aku dilahirkan dari rahim seorang Ibu yang bernama Hajjah Rukhanah binti Haji Yusuf [semoga arwah beliau diwelasi Gusti Allah] dan dari seorang ayah bernama Soetikno bin Matrejo [semoga arwah beliau dirahmati Pengeran] yang memberiku nama Budi Harjono, di hari Senin Kliwon. Aku lahir di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan Purwodadi Jawa Tengah Indonesia, sebuah desa yang memberiku suasana cinta, sepenuhnya, di hatiku.
Ketika ayahku meninggal saat aku kelas dua SD, seorang Kakek bernama Matrejo [jabatannya Carik Desa] yang sudah berusia enam puluh tahun berkata padaku dan kepada saudara-saudaraku, "Cucu-cucuku, jangan bersedih dan jangan takut, selagi desahan nafasku masih ada, aku akan menemanimu semua, aku selalu bersamamu, aku mencintaimu semua." Kakek dan Nenek dari Ayah dan Ibu memelukku, disusul semua kerabat dekat juga memeluk saudara saudaraku [Sutarman, Sri Mulyati, Sri Sulistyowati, Sri Lestari], dekapan-dekapan itu seperti mengisyaraatkan bahwa aku dan saudaraku itu nanti tidak sendirian, dan hidup harus tetap berjalan, cinta dan kasih sayang tetap selalu tersedia, cahaya selalu ada, cita-cita menjelang setiap masa.
Sementara Ibuku aku lihat air matanya menetes tetapi bibirnya mengisyaratkan senyum, sepertinya beliau menganugrahkan padaku dan saudaraku ini dua sayap, antara harapan dan kecemasan, dan kami tergerak bersimpuh bersama di pangkuannya, bagai anak-anak ayam dalam dekapan induknya, dengan bibir bergetar dan suara lirih beliau bertutur; "Anak-anakku, aku mencintaimu semua." Sebuah kata cinta dan senyuman itu sampai sekarang aku bawa-bawa untuk apa dan siapa serta kapan saja, juga air mata itu yang lebih mewakili membahasakan derita, bagai tetesan-tetesan hujan yang terpisah dari samudra lalu menggesa dalam benturan peristiwa dan ujungnya mengendap di kedalaman sunyi samudra kembali, menjadi butiran-butiran mutiara.
Harapan dan kecemasan ini ternyata yang bisa membawaku terbang melintasi lorong-lorong waktu bersama saudaraku, bersama Ibuku yang menawan hati itu. Tidak lama juga, setelah merasakan manisnya derita dan kami menjadi dewasa, Ibuku berpulang ke haribaan Ilahi pada saat kami akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas cintanya. Kini hanya rasa malu yang mendera, karena kepada siapa lagi aku akan mencurahkan penebusan cinta yang telah tertunaikan itu. Sampai hari ini aku terkenang, menjelang tiga hari sebelum Ibuku meninggal, saat aku dini hari bersimpuh di pangkuannya sambill menyerahkan uang kepada beliau, Ibuku menolak seraya berbisik: "Uang untuk apa, berikanlah istrimu untuk belanja anak-anakmu, kalau sudah cukup berikanlah kepada siapa saja yang membutuhkan, aku tahu watakmu, aku sudah cukup Nak." Benar, Ibuku sudah tidak butuh uang karena saat beliau meninggal, uang yang aku taruh di bawah bantal itu masih utuh. Sepeninggal beliau, aku bagai sebuah anak panah yang terlepas dari busurnya, beliau aku pandang sebagai busurnya, dan aku menyadari sedalam keyakinanku, dibalik ini semua ada Sang Pembidik yang Maha Titis, akan diarahkan kemana aku ini. Aku merasa mendapat warisan yang mahalnya tiada tara, warisan yang bukan berwujud uang dan harta serta kekuasaan,yakni warisan Cinta.Pesan terkhir Ibuku mengisyaratkan akan Cinta itu,cinta yang telah membikin kuat dari segalah yang lemah,cinta yang telah mendekatkan segala yang jauh,cinta yang telah meringankan segala yang berat,cinta yang telah memaniskan segala yang pahit,cinta yang telah mensucikan segala yang najis,cinta ang telah meng-emaskan segala yang tembaga,cinta yang telah menjadikan duri terasa roti,cinta yang telah memberanikan raja menjadi sahaya.Ya,aku ini sahaya sepenuhnya,aku akan meneruskan jejak-jejak cinta Ibuku itu,yakni menjadi sahaya yang hanya ada satu kemungkinan melayani,melayani,melayanii.Aku tahu Ibuku meninggal saat beliau sedang membungkusi makanan pada suatu hajat di kampungku,beliau abaikan lelahnya,beliau abaikan sakitnya,beliau abaikan deritanya.Inilah tenaga hidupku,aku hanya perpanjangan dari usia Ibuku,aku hanya ingin menjadi perpanjangan dari cintanya.Cinta yang sudah aku kenal sejak kecil itu mendamaikan hati,keluarga dan akan aku tebarkan bagai benih-benih di hati siapa saja,tanpa sekat-sekat.Aku sendiri tak bisa menerangkan cinta itu,kalau ada orang yang bertanya tentang cinta,aku harap lihatlah wajah dan senyum Ibumu,Ibumu,Ibumu.Kalau Ibumu sudah meninggal,kenanglah senyum itu,bawalah kemana engkau pergi....
Rabu, 10 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
subhanallah..🙏🏻
BalasHapus