Sedulurku tercinta, ini kisah terjadi hidupku, saat aku sedang mutholaah (membaca buku) di kamar yang sempit dengan sebanyak itu anak-anakku,datanglah seekor kucing dengan luka menganga di punggung tubuhnya, berdarah-darah. Hidupku selalu disetiai oleh kucing2, gara2 saat ada anak kucing di jalanan, sopirku aku suruh berhenti dan menyingkirkan anak kucing yang mau tertabrak itu.
Ternyata anak kucing itu buta, makanya lambat menyeberang jalan. Dalam pandangan kesatuan wujud, aku suruh sopir kembali ke pondok untuk ditolong ini anak kucing, saya suruh ngrumati istriku, lalu aku berangkat lagi ke pengajian. Sejak itulah aku memiliki anak pinak kucing yang setia menjaga malam-malam sepanjang hidupku sampai sekarang, ya anak cucu kucing yang aku temukan itu. Tapi saat aku mutholaah itu, datang kucing terluka, dan menatap mataku tajam-tajam, sepeti membahasakan pertolongan darurat.
Dalam bahasa cintaku, aku tanya itu kucing dengan kelembutan kata, darimana kamu sampai terluka sedemikian parah, apa yang terjadi, kamu nakal ya? Terus datanglah kucing-kucing jinakku mendampingi kucing terluka ini. Kucing berdarah ini memutar pandangan kepada kucing-kucingku yang bersih-bersih itu, seperti meminta bolehkan aku bersahabat denganmu semua, di luar memang bisa bebas tapi dengan cara keliaranku, aku menjadi terbelenggu, tapi kamu semua di kamar kiai yang sempit ini merasakan kedamaian hidupmu, merdeka sekali.
Tak lama kemudian datanglah kiai kampung dengan membawa penthung (pemukul dari kayu, agak panjang), dengan amarah, dan bertanya apakah ada kucing yang masuk ke ruang kamarku, dia akan membunuhnya, karena selalu memakan kuthuk2 (anak2 ayam) ayam miliknya. Maka aku berbohong, demi menyelematkan kucing yang aku pandang mau bertobat ini, oh tidak ada mbah (kiainya sudah sepuh, tua)! Lalu mbah yai berlalu.
Aku duduk kembali ke semula dan kucing2 itu masih disitu sambil bertutur, nah kan tanpa aku berkata, kesaksianku jelas, aku nggak ingin kamu malu di depan kucing-kucingku ini, kalau kau ingin selamat--- kataku, damailah disini, tidak perlu aku bertutur banyak tirulah saja kucing-kucingku ini, apa saja yang mereka lakukan. Kucing itu begitu aku persilahkan bergabung, dia merunduk lama banget, seperti menyesali diri, dan menyatakan kegembiraan atas penerimaanku dan kucing-kucingku itu.
Aku lihat hariannya, begitu ada rejeki yang kuberikan, mereka makan bersama, begitu selesai mereka semua nglemprak (berbaringan) membersihkan bulu2nya, termasuk yang terluka menjilati lukanya sendiri, sampai sembuh. Pernah, ketika pas kami sama2 gak ada apa2, kucing terluka itu sepertinya mau keluar dari kebersamaan selama ini, terus aku sapa, hayo,, mau kemana ayo lapar kenyang kita bersama, apa hubungan kataku dengan kebisuannya, kok dia nurut lagi.
Malah ketika malam-malam aku bertongkat mengelilingi teritorial pesantren sambil jalan kaki, dia mengikuti, aku jalan dia jalan, aku mandek dia mandek. Seluruh kampung aman anak2 ayamnya setelah terkuak keburukannya, tinggal kesalehannya. Malah pernah aku saksikan, dia meradang kepada burung alap2 yang mau menyambar anak-anak ayam babon, sepertinya melindungi makhluk yang sama pernah ia bunuhi itu, sepertinya ia menantang, ayoo bunuhlah aku bunuhlah aku, sekiranya aku mati demi keselamatan anak-anak ayam ini, aku tidak perlu menunggu kematianku, ayo! Tentramlah anak-anak ayam itu.
Begitu malam tiba, ada tamu mengetuk kamarku (maaf, aku nggak punya rumah), eh ternyata mbah kiai kampung, membawa ember iwak ingkung (ikan ayam kampung, dua ekor, nggak begitu besar). Sambil menyerahkan iwak ingkung itu, mbah yai berkata, ini sukuran saya atas amannya anak2 ayam sampai besar2, dan saya sembelih untuk panjenengan Yai (aku). Seketika itu juga aku bopong itu kucing yang bertobat, dan aku tunjukkan kepadanya, kucing itu begitu menyerah tak ada ketakutan sedikit pun, ini kucing yang panjenengan mau bunuh itu, punten saya dulu ngapusi (berbohong) kepada panjenengan (anda).
Malah mbah Yai mengelus-elus kucing yang aku bopong itu, naah---katanya, kalau begitu kan baguus, tolong pak Yai (aku) kucing2nya dibagei (dikasih bagian), termasuk yang beling ini juga. Malam itu seluruh keluargaku, termasuk dengan kucing2 penjaga malam-malam itu, seperti slametan bersama, satu ekor untuk anak2ku, satu ekor untuk kucing2 itu.
Ternyata kucing bertobat itu nggak mau makan, dia hanya lihat2 saja, tetapi tetap menunggui kawan kawannya makan dengan lahap. Tidak tahunya, esok harinya saat aku berada di luar kota, istriku mengabarkan, tanpa sebab apa2 kucing bertobat itu, yang aku namai mbilung, mati,, Aku nggregel banget, sambil terbata-bata kataku memerintahkan anakku untuk mengubur kucing yang tadinya mbeling terus aku namai mbilung itu, di sebelah depan pesantrenku, dekat pohon jati,,, anakku, lewat telepon bilang, bah kucing ini khusnul khotimah ya,,,
(aku diam, air mataku yang keluar),,, selamat jalan kawan,,,,
Minggu, 30 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar