Sedulurku tercinta, orang ini aku kenal di traffic light kota Wali Demak, aku kenal pekerjaannya, jualan kacang godok di bangjo itu. Dengan caping kropak, tubuh tegap dan hitam legam kulitnya, senyumnya yang ikhlas ia berjihad menjemput rejeki Allah. Siapapun bisa menemui dia di tempat itu, setiap hari kerjanya yang rutin itu untuk menyuapi anak istrinya dengan halalan mubarokan thayyiban.
Saat mobilku berhenti di bangjo itu, aku membeli senyumnya yang bening itu dengan mengulurkan uang selembar lima ribuan, namun ia serahkan segepok kacang godok bungkusan plastik bening sambil uluk salam padaku, dan menyebut bungkusku--ini hadiah untuk pak Yai dan mohon berkahnya, katanya. Tentu aku amini sedalam hatiku, semoga Allah memberkahi orang sederhana namun rajin bekerja ini, sepertinya mengenalku.
Ternyata benar adanya, pada saat aku mengisi pengajian di daerah kota Wali itu, aku disambutnya dengan senyum yang sama saat aku membeli kacang godoknya, malah memintaku untuk mampir di rumahnya karena lokasinya tidak jauh dari tempat pengajian itu. Kali ini, tentu lain penampilannya, peci putih, baju koko putih juga, sarung hitam, serban merah melintang di pundaknya. Dan memperkenalkan bahwa dia di pengajian itu sebagai penabuh rebana yang mendampingiku. Soal permintaanya untuk mampir itu aku iyakan, seperti biasanya usai pengajian aku buat melek2 dengan silaturrahmi kenalan-kenalan.
Begitu usai pengajian dan ramah-tamah, aku pamit dan dipandunya menuju rumahnya. Betapa gembira dia begitu aku masuk rumah yang sederhana itu. Istrinya keluar dengan menyuguhkan kopi dan dua anaknya sudah bobok. Dengan semangat tukang asong ini bercerita, dan yang diceritakan ternyata dia simak apa yang pernah aku sampaikan tentang bekerja dengan cara keikhlasan, produknya akan menyenangkan hati manusia.
Teori ini dia pakai dalam menabuh rebana dengan ikhlas, ternyata tidak sekedar menyenangkan hati banyak orang, tetapi Rasulullah sendiri berkenan. Saat dia menabuh rebana pada suatu acara, demikian lama kasidah-kasidah itu didendangkan, yang ia tatap bukan rebana tetapi Rasulullah berkenan itu. Dia menabuh rebana sambil memejamkan mata, tidak tahunya ada seorang yang melihat tangannya berdarah-darah, namun tukang asongan itu sendiri tidak merasa pendarahan itu, ia asyik dan larut dalam menatap Rasulullah saw. Begitu usai acara, katanya, seseorang yang melihat pendarahan tangannya itulah yang menghadiainya bisa menunaikan ibadah haji, dan tentu yang menjadikan dia bisa berziarah ke pusara kekasih Allah itu, Rasulullah saw, Nabi yang membawa agama cinta itu,,,
Kawan, aku mendengar dan melihat, airmatanya mengucur deras, tapi bibirnya mengguratkan senyum,,, Aku pamit menjelang Shubuh, dan membawa oleh2, senyumnya yang bening, sama beningnya saat aku lihat di bangjo itu,,,
Minggu, 30 Mei 2010
Kucing Cinta
Sedulurku tercinta, ini kisah terjadi hidupku, saat aku sedang mutholaah (membaca buku) di kamar yang sempit dengan sebanyak itu anak-anakku,datanglah seekor kucing dengan luka menganga di punggung tubuhnya, berdarah-darah. Hidupku selalu disetiai oleh kucing2, gara2 saat ada anak kucing di jalanan, sopirku aku suruh berhenti dan menyingkirkan anak kucing yang mau tertabrak itu.
Ternyata anak kucing itu buta, makanya lambat menyeberang jalan. Dalam pandangan kesatuan wujud, aku suruh sopir kembali ke pondok untuk ditolong ini anak kucing, saya suruh ngrumati istriku, lalu aku berangkat lagi ke pengajian. Sejak itulah aku memiliki anak pinak kucing yang setia menjaga malam-malam sepanjang hidupku sampai sekarang, ya anak cucu kucing yang aku temukan itu. Tapi saat aku mutholaah itu, datang kucing terluka, dan menatap mataku tajam-tajam, sepeti membahasakan pertolongan darurat.
Dalam bahasa cintaku, aku tanya itu kucing dengan kelembutan kata, darimana kamu sampai terluka sedemikian parah, apa yang terjadi, kamu nakal ya? Terus datanglah kucing-kucing jinakku mendampingi kucing terluka ini. Kucing berdarah ini memutar pandangan kepada kucing-kucingku yang bersih-bersih itu, seperti meminta bolehkan aku bersahabat denganmu semua, di luar memang bisa bebas tapi dengan cara keliaranku, aku menjadi terbelenggu, tapi kamu semua di kamar kiai yang sempit ini merasakan kedamaian hidupmu, merdeka sekali.
Tak lama kemudian datanglah kiai kampung dengan membawa penthung (pemukul dari kayu, agak panjang), dengan amarah, dan bertanya apakah ada kucing yang masuk ke ruang kamarku, dia akan membunuhnya, karena selalu memakan kuthuk2 (anak2 ayam) ayam miliknya. Maka aku berbohong, demi menyelematkan kucing yang aku pandang mau bertobat ini, oh tidak ada mbah (kiainya sudah sepuh, tua)! Lalu mbah yai berlalu.
Aku duduk kembali ke semula dan kucing2 itu masih disitu sambil bertutur, nah kan tanpa aku berkata, kesaksianku jelas, aku nggak ingin kamu malu di depan kucing-kucingku ini, kalau kau ingin selamat--- kataku, damailah disini, tidak perlu aku bertutur banyak tirulah saja kucing-kucingku ini, apa saja yang mereka lakukan. Kucing itu begitu aku persilahkan bergabung, dia merunduk lama banget, seperti menyesali diri, dan menyatakan kegembiraan atas penerimaanku dan kucing-kucingku itu.
Aku lihat hariannya, begitu ada rejeki yang kuberikan, mereka makan bersama, begitu selesai mereka semua nglemprak (berbaringan) membersihkan bulu2nya, termasuk yang terluka menjilati lukanya sendiri, sampai sembuh. Pernah, ketika pas kami sama2 gak ada apa2, kucing terluka itu sepertinya mau keluar dari kebersamaan selama ini, terus aku sapa, hayo,, mau kemana ayo lapar kenyang kita bersama, apa hubungan kataku dengan kebisuannya, kok dia nurut lagi.
Malah ketika malam-malam aku bertongkat mengelilingi teritorial pesantren sambil jalan kaki, dia mengikuti, aku jalan dia jalan, aku mandek dia mandek. Seluruh kampung aman anak2 ayamnya setelah terkuak keburukannya, tinggal kesalehannya. Malah pernah aku saksikan, dia meradang kepada burung alap2 yang mau menyambar anak-anak ayam babon, sepertinya melindungi makhluk yang sama pernah ia bunuhi itu, sepertinya ia menantang, ayoo bunuhlah aku bunuhlah aku, sekiranya aku mati demi keselamatan anak-anak ayam ini, aku tidak perlu menunggu kematianku, ayo! Tentramlah anak-anak ayam itu.
Begitu malam tiba, ada tamu mengetuk kamarku (maaf, aku nggak punya rumah), eh ternyata mbah kiai kampung, membawa ember iwak ingkung (ikan ayam kampung, dua ekor, nggak begitu besar). Sambil menyerahkan iwak ingkung itu, mbah yai berkata, ini sukuran saya atas amannya anak2 ayam sampai besar2, dan saya sembelih untuk panjenengan Yai (aku). Seketika itu juga aku bopong itu kucing yang bertobat, dan aku tunjukkan kepadanya, kucing itu begitu menyerah tak ada ketakutan sedikit pun, ini kucing yang panjenengan mau bunuh itu, punten saya dulu ngapusi (berbohong) kepada panjenengan (anda).
Malah mbah Yai mengelus-elus kucing yang aku bopong itu, naah---katanya, kalau begitu kan baguus, tolong pak Yai (aku) kucing2nya dibagei (dikasih bagian), termasuk yang beling ini juga. Malam itu seluruh keluargaku, termasuk dengan kucing2 penjaga malam-malam itu, seperti slametan bersama, satu ekor untuk anak2ku, satu ekor untuk kucing2 itu.
Ternyata kucing bertobat itu nggak mau makan, dia hanya lihat2 saja, tetapi tetap menunggui kawan kawannya makan dengan lahap. Tidak tahunya, esok harinya saat aku berada di luar kota, istriku mengabarkan, tanpa sebab apa2 kucing bertobat itu, yang aku namai mbilung, mati,, Aku nggregel banget, sambil terbata-bata kataku memerintahkan anakku untuk mengubur kucing yang tadinya mbeling terus aku namai mbilung itu, di sebelah depan pesantrenku, dekat pohon jati,,, anakku, lewat telepon bilang, bah kucing ini khusnul khotimah ya,,,
(aku diam, air mataku yang keluar),,, selamat jalan kawan,,,,
Ternyata anak kucing itu buta, makanya lambat menyeberang jalan. Dalam pandangan kesatuan wujud, aku suruh sopir kembali ke pondok untuk ditolong ini anak kucing, saya suruh ngrumati istriku, lalu aku berangkat lagi ke pengajian. Sejak itulah aku memiliki anak pinak kucing yang setia menjaga malam-malam sepanjang hidupku sampai sekarang, ya anak cucu kucing yang aku temukan itu. Tapi saat aku mutholaah itu, datang kucing terluka, dan menatap mataku tajam-tajam, sepeti membahasakan pertolongan darurat.
Dalam bahasa cintaku, aku tanya itu kucing dengan kelembutan kata, darimana kamu sampai terluka sedemikian parah, apa yang terjadi, kamu nakal ya? Terus datanglah kucing-kucing jinakku mendampingi kucing terluka ini. Kucing berdarah ini memutar pandangan kepada kucing-kucingku yang bersih-bersih itu, seperti meminta bolehkan aku bersahabat denganmu semua, di luar memang bisa bebas tapi dengan cara keliaranku, aku menjadi terbelenggu, tapi kamu semua di kamar kiai yang sempit ini merasakan kedamaian hidupmu, merdeka sekali.
Tak lama kemudian datanglah kiai kampung dengan membawa penthung (pemukul dari kayu, agak panjang), dengan amarah, dan bertanya apakah ada kucing yang masuk ke ruang kamarku, dia akan membunuhnya, karena selalu memakan kuthuk2 (anak2 ayam) ayam miliknya. Maka aku berbohong, demi menyelematkan kucing yang aku pandang mau bertobat ini, oh tidak ada mbah (kiainya sudah sepuh, tua)! Lalu mbah yai berlalu.
Aku duduk kembali ke semula dan kucing2 itu masih disitu sambil bertutur, nah kan tanpa aku berkata, kesaksianku jelas, aku nggak ingin kamu malu di depan kucing-kucingku ini, kalau kau ingin selamat--- kataku, damailah disini, tidak perlu aku bertutur banyak tirulah saja kucing-kucingku ini, apa saja yang mereka lakukan. Kucing itu begitu aku persilahkan bergabung, dia merunduk lama banget, seperti menyesali diri, dan menyatakan kegembiraan atas penerimaanku dan kucing-kucingku itu.
Aku lihat hariannya, begitu ada rejeki yang kuberikan, mereka makan bersama, begitu selesai mereka semua nglemprak (berbaringan) membersihkan bulu2nya, termasuk yang terluka menjilati lukanya sendiri, sampai sembuh. Pernah, ketika pas kami sama2 gak ada apa2, kucing terluka itu sepertinya mau keluar dari kebersamaan selama ini, terus aku sapa, hayo,, mau kemana ayo lapar kenyang kita bersama, apa hubungan kataku dengan kebisuannya, kok dia nurut lagi.
Malah ketika malam-malam aku bertongkat mengelilingi teritorial pesantren sambil jalan kaki, dia mengikuti, aku jalan dia jalan, aku mandek dia mandek. Seluruh kampung aman anak2 ayamnya setelah terkuak keburukannya, tinggal kesalehannya. Malah pernah aku saksikan, dia meradang kepada burung alap2 yang mau menyambar anak-anak ayam babon, sepertinya melindungi makhluk yang sama pernah ia bunuhi itu, sepertinya ia menantang, ayoo bunuhlah aku bunuhlah aku, sekiranya aku mati demi keselamatan anak-anak ayam ini, aku tidak perlu menunggu kematianku, ayo! Tentramlah anak-anak ayam itu.
Begitu malam tiba, ada tamu mengetuk kamarku (maaf, aku nggak punya rumah), eh ternyata mbah kiai kampung, membawa ember iwak ingkung (ikan ayam kampung, dua ekor, nggak begitu besar). Sambil menyerahkan iwak ingkung itu, mbah yai berkata, ini sukuran saya atas amannya anak2 ayam sampai besar2, dan saya sembelih untuk panjenengan Yai (aku). Seketika itu juga aku bopong itu kucing yang bertobat, dan aku tunjukkan kepadanya, kucing itu begitu menyerah tak ada ketakutan sedikit pun, ini kucing yang panjenengan mau bunuh itu, punten saya dulu ngapusi (berbohong) kepada panjenengan (anda).
Malah mbah Yai mengelus-elus kucing yang aku bopong itu, naah---katanya, kalau begitu kan baguus, tolong pak Yai (aku) kucing2nya dibagei (dikasih bagian), termasuk yang beling ini juga. Malam itu seluruh keluargaku, termasuk dengan kucing2 penjaga malam-malam itu, seperti slametan bersama, satu ekor untuk anak2ku, satu ekor untuk kucing2 itu.
Ternyata kucing bertobat itu nggak mau makan, dia hanya lihat2 saja, tetapi tetap menunggui kawan kawannya makan dengan lahap. Tidak tahunya, esok harinya saat aku berada di luar kota, istriku mengabarkan, tanpa sebab apa2 kucing bertobat itu, yang aku namai mbilung, mati,, Aku nggregel banget, sambil terbata-bata kataku memerintahkan anakku untuk mengubur kucing yang tadinya mbeling terus aku namai mbilung itu, di sebelah depan pesantrenku, dekat pohon jati,,, anakku, lewat telepon bilang, bah kucing ini khusnul khotimah ya,,,
(aku diam, air mataku yang keluar),,, selamat jalan kawan,,,,
Anjing Cinta
Sedulurku tercinta, semua yang ada ini tiada yang sia-sia, kecuali yang menyia-nyiakannya. Robbana maa kholaqta haadzaa baathilaa (duhai Tuhanku, tiada yang Kau cipta ini dengan sia-sia). Dalam ranah tasawuf, mana yang tidak mengabarkan tentang Dia. Anjing (asu, bhs jawa) misalnya, yang sering dijadikan bahan untuk merendah-rendahkan manusia, seperti anjing.
Padahal dalam pandangan kemenyuluruhan ciptaan, ia salah satu kreasi Tuhan yang indah, yang memiliki sifat-sifat terpuji, yang belum tentu manusia memilikinya. Diantara sifat-sifat terpuji anjing itu adalah bahwa ia kuat terjaga malam (sedikit tidur), sifat ini dimiliki manusia yang peringkatnya mutahajjidin (orang yang sungguh2 merindu Tuhan dengan sembahyang malamnya).
Lalu anjing itu juga memiliki watak kuat menahan lapar, sifat ini disandarkan pada manusia yang baik2 (sholikhin), di mana hidupnya menghindari menyakiti hati orang lain, malah selalu berbuat menyenangkan hati orang lain, tidak rakus. Kemudian anjing itu rela manakala ditempatkan dengan ala kadarnya, padahal sifat ini disandarkan bagi manusia yang hatinya selalu ridlo atas kehendak-kehendakNya. Terus anjing itu manakala diusir oleh tuannya, walau berkali-kali, ia akan tetap kembali tanpa dendam sedikitpun, sifat ini disandarkan bagi manusia yang memiliki peringkat pecinta atau asyikiin. Bila ia pergi, anjing itu ngeloyor begitu saja, dengan keyakinan, walau tanpa bawaan apa-apa, di mana-mana tetep mantep ada taburan rizki dari Tuhan, sifat ini disandarkan pada orang dengan level tawakkal (mutawakkiliin). Manakala dikasih sesuatu oleh tuannya, walau sedikit dan ala kadarnya,anjing itu menanti dengan harap dan memakananya dengan lahap, sifat ini disandarkan kepada manusia yang selalu bersyukur atas kurnia Tuhan (syaakiriin). Ketika diperintah tuannya ia laksanakan dengan sepenuhnya tanpa meperhitungkan resikonya, sifat ini disandarkan kepada manusia dengan tingkatan kehambaan kepada Tuhan (Aabidiin). Dan masih banyak lagi sifat terpuji anjing kreasi Allah ini yang bisa dipetik hikmahnya.
Ada seorang kiai, sepulang dari pengajian membawa brekat (oleh2 dari acara), namun tak ada santri satupun yang terjaga malam itu, termasuk warga kampung sekitar pesantrennya. Lalu didekatinya seekor anjing yang ada di sekitar pembuangan sampah kampung, dengan bergumam, karena tak seorangpun terjaga wahai anjing, yang ada malam ini engkau yang melek (terjaga), maka terimalah brekat ini sebagai rejekimu. Kiai itu melihat anjing makan dengan lahap dan sesekali anjing itu menatap mata kiai, seperti mengucapkan terimakasihnya atas rejeki ini.
Menjelang sholat berjamaah, kiai keluar rumah menuju masjid, ternyata di depan rumah dengan jongkok, anjing ini sepertinya menyongsong kiai. Dan ternyata mengikuti di belakang jejak-jejak kiai sampai halaman masjid, menunggui terompahnya. Selesai berjamaah, kiai memberi pelajaran kepada santri-santrinya, bahwa selama ini beliau telah melayani santri dengan begitu intens, namun kenapa malam ini tak seorang pun terjaga malam, menyongsong cahaya Tuhan.
Lihatlah di luar sana, tadi malam brekat aku berikan baru sekali itu kepada seekor anjing, yang sering kau kejar-kejar karena kenajisannya, ia menyongsong aku keluar dan mengikuti jejek-jejekku di belakang, lalu lihatlah, ia sekarang menunggui terompahku, sepertinya mengucapkan terimakasih yang tiada tara kepadaku....
Padahal dalam pandangan kemenyuluruhan ciptaan, ia salah satu kreasi Tuhan yang indah, yang memiliki sifat-sifat terpuji, yang belum tentu manusia memilikinya. Diantara sifat-sifat terpuji anjing itu adalah bahwa ia kuat terjaga malam (sedikit tidur), sifat ini dimiliki manusia yang peringkatnya mutahajjidin (orang yang sungguh2 merindu Tuhan dengan sembahyang malamnya).
Lalu anjing itu juga memiliki watak kuat menahan lapar, sifat ini disandarkan pada manusia yang baik2 (sholikhin), di mana hidupnya menghindari menyakiti hati orang lain, malah selalu berbuat menyenangkan hati orang lain, tidak rakus. Kemudian anjing itu rela manakala ditempatkan dengan ala kadarnya, padahal sifat ini disandarkan bagi manusia yang hatinya selalu ridlo atas kehendak-kehendakNya. Terus anjing itu manakala diusir oleh tuannya, walau berkali-kali, ia akan tetap kembali tanpa dendam sedikitpun, sifat ini disandarkan bagi manusia yang memiliki peringkat pecinta atau asyikiin. Bila ia pergi, anjing itu ngeloyor begitu saja, dengan keyakinan, walau tanpa bawaan apa-apa, di mana-mana tetep mantep ada taburan rizki dari Tuhan, sifat ini disandarkan pada orang dengan level tawakkal (mutawakkiliin). Manakala dikasih sesuatu oleh tuannya, walau sedikit dan ala kadarnya,anjing itu menanti dengan harap dan memakananya dengan lahap, sifat ini disandarkan kepada manusia yang selalu bersyukur atas kurnia Tuhan (syaakiriin). Ketika diperintah tuannya ia laksanakan dengan sepenuhnya tanpa meperhitungkan resikonya, sifat ini disandarkan kepada manusia dengan tingkatan kehambaan kepada Tuhan (Aabidiin). Dan masih banyak lagi sifat terpuji anjing kreasi Allah ini yang bisa dipetik hikmahnya.
Ada seorang kiai, sepulang dari pengajian membawa brekat (oleh2 dari acara), namun tak ada santri satupun yang terjaga malam itu, termasuk warga kampung sekitar pesantrennya. Lalu didekatinya seekor anjing yang ada di sekitar pembuangan sampah kampung, dengan bergumam, karena tak seorangpun terjaga wahai anjing, yang ada malam ini engkau yang melek (terjaga), maka terimalah brekat ini sebagai rejekimu. Kiai itu melihat anjing makan dengan lahap dan sesekali anjing itu menatap mata kiai, seperti mengucapkan terimakasihnya atas rejeki ini.
Menjelang sholat berjamaah, kiai keluar rumah menuju masjid, ternyata di depan rumah dengan jongkok, anjing ini sepertinya menyongsong kiai. Dan ternyata mengikuti di belakang jejak-jejak kiai sampai halaman masjid, menunggui terompahnya. Selesai berjamaah, kiai memberi pelajaran kepada santri-santrinya, bahwa selama ini beliau telah melayani santri dengan begitu intens, namun kenapa malam ini tak seorang pun terjaga malam, menyongsong cahaya Tuhan.
Lihatlah di luar sana, tadi malam brekat aku berikan baru sekali itu kepada seekor anjing, yang sering kau kejar-kejar karena kenajisannya, ia menyongsong aku keluar dan mengikuti jejek-jejekku di belakang, lalu lihatlah, ia sekarang menunggui terompahku, sepertinya mengucapkan terimakasih yang tiada tara kepadaku....
Burdah Cinta
Sedulurku tercinta, ketika kata burdah aku sebutkan, mengingatkan kepada panjeneng semua,akan maestro pecinta, Imam Busyiri yang mengarang kidung Cinta, yang beliau sebut BURDAH. Nama burdah ini di jadikan judul kidung Cintanya, karena Imam Busyiri saat sakit lumpuh, beliau di temui Rasulullah SAW dalam mimpinya dan kanjeng nabi menghadiainya burdah (semacem jubah separo badan), seketika terjaga Imam Busyiri bisa sembuh penyakit lumpuhnya.
Di balik kisah ini ada seorang perindu sejati kepada kanjeng Nabi SAW, sedetikpun hatinya tidak melupakan kanjeng Nabi dengan cara membasah kuyupi bibir dan hatinya dengan bersholawat. Dia tidak pernah ketemu Rasulullah SAW, tetapi ia temukan jejak jejak cintanya melalui ajaran ajaran yang ia terima dan ia setiai dengan cara merangkul sekuat kuatnya atas ajaran itu. Kanjeng Nabi adalah orang yang tak pernah membikin kecewa umatnya.
Pada saat beliau sakit menjelang wafatnya, beliau wasiat kepada menantunya Sayyidina Ali, bahwa setelah sepeninggal beliau jubahnya itu (Burdah) sampaikan kepada orang yang bernama Uwaisy Al Qorni, sebagai hadiah atas keintiman hati walau tidak pernah menemui beliau. Amanat ini di laksanakan menantunya sepeninggal beliau dengan mencari tempat yang pernah di tunjukkan Rasulullah SAW. Sampai di dusun yang di maksud Sayyidina Ali bertanya tanya ke setiap orang orang kampung, apakah ada orang yang namanya Uwaisy Al Qorny?. Semua orang menjawab tidak kenal, malah berbalik bertanya, ciri ciri dan karakter Uwaisy Al Qorny. Setelah panjang lebar di terangkan bahwa ciri cirinya, ia berpegang teguh pada ajaran ajaran Nabi SAW, bagai sepenuh cinta bayi menyusui puting susu ibunya dan ia selalu berdendang kerinduan dengan bersholawat atas Nabi SAW bagai seruling yang menjerit jerit dengan pilu dan menyayat hati, ingin bertemu. Setelah keterangan ini, orang orang kampung paham betul akan Uwaisy Al Qorny itu, ternyata di kampung itu ia bernama Plompong dan punya saudara satu yang bernama Plompang.
Segera Sayyidina Ali menuju rumahnya Plompong. Ternyata sebelum Sayyidina Ali masuk kerumahnya, Plompong itu keluar menyambut kedatangan Sayyidina Ali dan langsung, sebelum Sayyidina Ali menyerahkan burdah itu, Plompong meminta kepada Sayyidina Ali, mana jubahku... titipan kekasihku Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Kawan kawan, kita kita ini semua sama seperti Uwaisy Al Qorny, tak pernah ketemu beliau namun kita temukan jejak jejak cintanya yang bertaburan memenuhi semesta raya. Dan nama nama kita di kampung ini adalah Agung, Sarno, Sumini, Suminten, dan Sintenremen. Namun karena hatimu merindu sekelas Uwaisy Al Qorny maka aku membayangkan dalam pandangan yang indah, sebagai kesaksian, engkau semua di hadiahi Burdah oleh Rasulullah SAW melalui tangan-tangan pecinta dan perindu cinta....... Terimalah kawan ...........
Di balik kisah ini ada seorang perindu sejati kepada kanjeng Nabi SAW, sedetikpun hatinya tidak melupakan kanjeng Nabi dengan cara membasah kuyupi bibir dan hatinya dengan bersholawat. Dia tidak pernah ketemu Rasulullah SAW, tetapi ia temukan jejak jejak cintanya melalui ajaran ajaran yang ia terima dan ia setiai dengan cara merangkul sekuat kuatnya atas ajaran itu. Kanjeng Nabi adalah orang yang tak pernah membikin kecewa umatnya.
Pada saat beliau sakit menjelang wafatnya, beliau wasiat kepada menantunya Sayyidina Ali, bahwa setelah sepeninggal beliau jubahnya itu (Burdah) sampaikan kepada orang yang bernama Uwaisy Al Qorni, sebagai hadiah atas keintiman hati walau tidak pernah menemui beliau. Amanat ini di laksanakan menantunya sepeninggal beliau dengan mencari tempat yang pernah di tunjukkan Rasulullah SAW. Sampai di dusun yang di maksud Sayyidina Ali bertanya tanya ke setiap orang orang kampung, apakah ada orang yang namanya Uwaisy Al Qorny?. Semua orang menjawab tidak kenal, malah berbalik bertanya, ciri ciri dan karakter Uwaisy Al Qorny. Setelah panjang lebar di terangkan bahwa ciri cirinya, ia berpegang teguh pada ajaran ajaran Nabi SAW, bagai sepenuh cinta bayi menyusui puting susu ibunya dan ia selalu berdendang kerinduan dengan bersholawat atas Nabi SAW bagai seruling yang menjerit jerit dengan pilu dan menyayat hati, ingin bertemu. Setelah keterangan ini, orang orang kampung paham betul akan Uwaisy Al Qorny itu, ternyata di kampung itu ia bernama Plompong dan punya saudara satu yang bernama Plompang.
Segera Sayyidina Ali menuju rumahnya Plompong. Ternyata sebelum Sayyidina Ali masuk kerumahnya, Plompong itu keluar menyambut kedatangan Sayyidina Ali dan langsung, sebelum Sayyidina Ali menyerahkan burdah itu, Plompong meminta kepada Sayyidina Ali, mana jubahku... titipan kekasihku Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Kawan kawan, kita kita ini semua sama seperti Uwaisy Al Qorny, tak pernah ketemu beliau namun kita temukan jejak jejak cintanya yang bertaburan memenuhi semesta raya. Dan nama nama kita di kampung ini adalah Agung, Sarno, Sumini, Suminten, dan Sintenremen. Namun karena hatimu merindu sekelas Uwaisy Al Qorny maka aku membayangkan dalam pandangan yang indah, sebagai kesaksian, engkau semua di hadiahi Burdah oleh Rasulullah SAW melalui tangan-tangan pecinta dan perindu cinta....... Terimalah kawan ...........
Sabtu, 22 Mei 2010
Ziarah Cinta
Sedulurku tercinta, seorang guru selalu mengajarkan cara pandang dengan dua mata, pertama mata kepala yang kedua mata hati. Pertama pandangan kongkrit, yang kedua pandangan abstrak. Untuk mengajarkan pandangan kedua, yakni melihat Tuhan bermahkota di hati, baitullah abstrak, maka beliau mengajak perjalanan fisikli menuju Mekkah, dimusim haji, pandangan kongkrit.
Bekal sudah dipersiapkan dalam menempuh perjalanan yang panjang, kendaraannya seekor khimar, seorang santri bertugas menuntunnya selama perjalanan. Siang malam berlalu, murid yang menuntun itu sakit agak serius, maka berkatalah guru kepada anak itu bahwa dia disuruh naik khimar, sementara gurunya yang menuntunnya.
Dengan berat hati anak itu naik khimar sambil selalu memandang keikhlasan gurunya bukan ranah kata tetapi adabnya. Penyakit tak sembuh2, maka guru itu menjual perbekalannya sampai habis untuk berobat muridnya, sayang penyakit tak kunjung mereda.
Dalam istirahat perjalanan, murid bertanya kepada gurunya, guruku, bekal sudah habis untuk kesembuhanku, khimar juga sudah engkau jual untuk pengobatanku, sementara perjalanan ke baitullah masih amat panjang, sekitar puluhan kilo meter lagi, sementara penyakitku ini tak kunjung mereda, lalu bagaimana kita nanti akan sampai ke baitullah itu.
Guru dengan senyumnya bening, sebening embun, sebening kaca menjawab kepada santrinya itu, oh gampang nak, nanti engkau aku gendong sampai kesana. Sambil menerangkan kepada murid, sambil guru itu banyak berpetuah yang intinya bahwa terhadap segala kejadian hidup ini pecinta tak boleh mengeluh, dan gampang merasa sampai atas perjalanan yang tak bertepi ini, kalau pecinta sampai ke baitullah secara kongkrit sangat mudah, sebentar lagi dalam hitungan hari cepat sampai, namun baitullah yang abstrak yang ada dalam dada setiap manusia lebih amat sulit, kalau rintangan kongkrit saja sedemikian beratnya maka lebih berat lagi rintangan abstrak, yang juga butuh pandangan abstrak.
Anakku, kata guru lebih lanjut, setiap simbul semesta, ketahuilah, itu miniatur untuk menerangkan hal-hal yang batiniyah, sebagaimana perjalanan ini, kalau ke baitullah bisa berulangkali, namun untuk ke baitullah yang abstrak, wujudnya adalah pelayanan kepada manusia tanpa sekat, agama tidak hanya nampak dalam pernik-pernik tasbih, lembaran sajadah dan kemegahan jubah, kenapa kepada pelayanan manusia, karena penggapaian Tuhan yang tak bertepi bisa ditempuh tangganya melalui membahagiakan makhlukNya, kalau ini dilakukan justru segala yang di langit turun menyayangi pecinta itu.
Murid sakitnya tak terasa sebab terpesona segala kisah petuah gurunya, sang guru walau menggendong melulu sepanjang perjalanan juga tidak merasa penat, duhai, karena memandang muridnya tersenyum, yang beliau rasakan tentu senyum Tuhan, Allah yang punya nama2 indah itu. Kawan, ujung kisah aku mendoakanmu semua, kapan2 Allah mengizinkanmu bisa ziarah ke baitullah itu...
Amin2 ya Allah...
Bekal sudah dipersiapkan dalam menempuh perjalanan yang panjang, kendaraannya seekor khimar, seorang santri bertugas menuntunnya selama perjalanan. Siang malam berlalu, murid yang menuntun itu sakit agak serius, maka berkatalah guru kepada anak itu bahwa dia disuruh naik khimar, sementara gurunya yang menuntunnya.
Dengan berat hati anak itu naik khimar sambil selalu memandang keikhlasan gurunya bukan ranah kata tetapi adabnya. Penyakit tak sembuh2, maka guru itu menjual perbekalannya sampai habis untuk berobat muridnya, sayang penyakit tak kunjung mereda.
Dalam istirahat perjalanan, murid bertanya kepada gurunya, guruku, bekal sudah habis untuk kesembuhanku, khimar juga sudah engkau jual untuk pengobatanku, sementara perjalanan ke baitullah masih amat panjang, sekitar puluhan kilo meter lagi, sementara penyakitku ini tak kunjung mereda, lalu bagaimana kita nanti akan sampai ke baitullah itu.
Guru dengan senyumnya bening, sebening embun, sebening kaca menjawab kepada santrinya itu, oh gampang nak, nanti engkau aku gendong sampai kesana. Sambil menerangkan kepada murid, sambil guru itu banyak berpetuah yang intinya bahwa terhadap segala kejadian hidup ini pecinta tak boleh mengeluh, dan gampang merasa sampai atas perjalanan yang tak bertepi ini, kalau pecinta sampai ke baitullah secara kongkrit sangat mudah, sebentar lagi dalam hitungan hari cepat sampai, namun baitullah yang abstrak yang ada dalam dada setiap manusia lebih amat sulit, kalau rintangan kongkrit saja sedemikian beratnya maka lebih berat lagi rintangan abstrak, yang juga butuh pandangan abstrak.
Anakku, kata guru lebih lanjut, setiap simbul semesta, ketahuilah, itu miniatur untuk menerangkan hal-hal yang batiniyah, sebagaimana perjalanan ini, kalau ke baitullah bisa berulangkali, namun untuk ke baitullah yang abstrak, wujudnya adalah pelayanan kepada manusia tanpa sekat, agama tidak hanya nampak dalam pernik-pernik tasbih, lembaran sajadah dan kemegahan jubah, kenapa kepada pelayanan manusia, karena penggapaian Tuhan yang tak bertepi bisa ditempuh tangganya melalui membahagiakan makhlukNya, kalau ini dilakukan justru segala yang di langit turun menyayangi pecinta itu.
Murid sakitnya tak terasa sebab terpesona segala kisah petuah gurunya, sang guru walau menggendong melulu sepanjang perjalanan juga tidak merasa penat, duhai, karena memandang muridnya tersenyum, yang beliau rasakan tentu senyum Tuhan, Allah yang punya nama2 indah itu. Kawan, ujung kisah aku mendoakanmu semua, kapan2 Allah mengizinkanmu bisa ziarah ke baitullah itu...
Amin2 ya Allah...
Sarung Cinta
Sedulurku tercinta, seperti biasanya seorang guru mengajak santri santrinya melakukan perjalanan spiritual agar para santri itu memiliki taburan ketajaman mata batinnya. Dalam Perjalanan ini 3 santri yang di ajak dengan ziarah dari satu makam wali ke makam wali yang lain. Amalan ini akan mengajarkan, dalam perjalanan menuju Tuhan para santri harus mengenal ilmu ketiadaan, mana kala perjalanan itu dinyatakan lulus maka santri itu berhak memperoleh titel sarjana kuburan ( Sarkub ).
Dalam lintasan perjalan itu Guru dan santrinya menginap di surau yang sudah reyot dengan dinding dindingnya berlubang tanpa pintu. Karena kelelahan santri santri itu disenyap malam terlelap tidur setelah di dongeng dongengkan oleh sang guru. Dalam lelapnya tidur salah satu santrinya terbangun ( ngelilir ) dan melihat gurunya masih terjaga di tengah pintu dengan melebarkan sarungnya sambil berdiri di tengah pintu. Waktu berlalu, santri satunya terbangun juga dan melihat gurunya sebagaimana yang dilihat santri pertama. sebelum subuh tiba santri ketiga terbangun juga dan menyaksikan gurunya pada posisi yang sama sebagai mana dilihat dua santri lainnya.
Usai berjamaah subuh ketiga santri itu menanyakan kenapa guru berdiri sepanjang malam di tengah pintu Mushola ( langgar ) ini ? dengan tersenyum yang indah guru itu menjawab, anak anakku sepanjang malam udara begitu dingin dan mengigit sementara surau ini banyak lubang dindingnya dan tanpa pintu, aku berdiri dengan melebarkan sarungku hanyalah ingin supaya tidurmu bisa nyenyak dan terhindar dari desiran angin malam, biar hangat tidurmu untuk menebus kelelahanmu yang berhari hari itu.
Kawan kawan kisah ini menjadi fakta dimata para santrinya bahwa manakala orang mencintai seseorang maka cintanya itu harus dibayar dengan penderitaan. dan derita guru itu bertaburan cinta dimata hati para santrinya. selembar sarung bisa menebar kehangatan cinta.
Dalam lintasan perjalan itu Guru dan santrinya menginap di surau yang sudah reyot dengan dinding dindingnya berlubang tanpa pintu. Karena kelelahan santri santri itu disenyap malam terlelap tidur setelah di dongeng dongengkan oleh sang guru. Dalam lelapnya tidur salah satu santrinya terbangun ( ngelilir ) dan melihat gurunya masih terjaga di tengah pintu dengan melebarkan sarungnya sambil berdiri di tengah pintu. Waktu berlalu, santri satunya terbangun juga dan melihat gurunya sebagaimana yang dilihat santri pertama. sebelum subuh tiba santri ketiga terbangun juga dan menyaksikan gurunya pada posisi yang sama sebagai mana dilihat dua santri lainnya.
Usai berjamaah subuh ketiga santri itu menanyakan kenapa guru berdiri sepanjang malam di tengah pintu Mushola ( langgar ) ini ? dengan tersenyum yang indah guru itu menjawab, anak anakku sepanjang malam udara begitu dingin dan mengigit sementara surau ini banyak lubang dindingnya dan tanpa pintu, aku berdiri dengan melebarkan sarungku hanyalah ingin supaya tidurmu bisa nyenyak dan terhindar dari desiran angin malam, biar hangat tidurmu untuk menebus kelelahanmu yang berhari hari itu.
Kawan kawan kisah ini menjadi fakta dimata para santrinya bahwa manakala orang mencintai seseorang maka cintanya itu harus dibayar dengan penderitaan. dan derita guru itu bertaburan cinta dimata hati para santrinya. selembar sarung bisa menebar kehangatan cinta.
Kamis, 20 Mei 2010
Menghidupkan Cinta
Sedulurku tercinta, pada suatu saat ada seorang juru masak kampung yang hidupnya dihabiskan dalam menyenangkan hati manusia dengan cara melayani umat, dan dia seorang yang hatinya berbunga rindu kepada kekasih Allah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Setiap ada majelis yang disitu disebut sebut nama kekasih Allah maka ia bersimpuh dan larut dalam bahtera cinta tanpa batas itu. Dia melakukan demikian karena di dadanya mengenang semua kucuran cinta dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW dalam banyak hal, makrifatullah, panduan cinta alquran, syafaat agung di hari yang tiada terperi ruwetnya itu.
Dalam suatu waktu seorang ibu juru masak itu lupa akan janjinya memasakkan untuk jamuan makan pada seseorang, karena larut dalam menghadiri majelis sholawatan. Pada saat usai majelis itu dia baru ingat akan janjinya untuk memasakkan, maka berlarilah dia dengan pontang panting dan cincing cincing untuk menyusul ketempat yang menyusuh masak. Dengan menghiba hiba dan disertai derai air mata dia memohon ampun atas kelalaiannya itu. Ternyata yang punya gawe itu malah mohon maaf juga dan sambil tersenyum menyambutnya dengan berkata bahwa semua urusannya sudah diselesaikan oleh seorang perempuan dan dia berharap jangan menangis jangan bersedih, karena segala urusan dia harus kerjakan sudah beres semua oleh perempuan itu.
Lalu juru masak itu bertanya, siapa gerangan yang telah bersedia membereskan urusannya. Kemudian dijawab oleh yang punya gawe bahwa perempuan itu adalah Fatimah Azzahra binti Rasullulah SAW (pada hal beliau sudah meninggal). Siti Fatimah Azzahra itu ketika urusannya sudah selesai pamit dari yang punya gawe bahwa beliau memasak ini sebenarnya mewakili tukang juru masak, karena dia menghormati dan berhitmah kepada Ayahanda Rasullulah SAW maka dia menghormati juru masak tadi mewakili tugas tugasnya sampai selesai.
Kawan kawanku aku yakin seyakin-yakinnya mana kala panjenengan semua melakukan hal yang sama seperti juru masak itu, yang fana pada saat kabar kabar indah dari kekasih Allah bagai mengisi kedahagaan cinta atas rindu itu, maka segala urusanmu, Allah akan menggerakkan semesta untuk membereskan hidupmu. Manakala kau serap percikan kisah cinta ini maka kita pahami cinta bisa menghidupkan dari yang mati. dengarkanlah kawan dengan telinga hatimu dendangku.... Annabi dzakal arus dzikruhu yuhyinnufus, anasara walmajus aslamu baina yadaih.... jawablah kawan, sebagai pantulan cintaku padamu....
Dalam suatu waktu seorang ibu juru masak itu lupa akan janjinya memasakkan untuk jamuan makan pada seseorang, karena larut dalam menghadiri majelis sholawatan. Pada saat usai majelis itu dia baru ingat akan janjinya untuk memasakkan, maka berlarilah dia dengan pontang panting dan cincing cincing untuk menyusul ketempat yang menyusuh masak. Dengan menghiba hiba dan disertai derai air mata dia memohon ampun atas kelalaiannya itu. Ternyata yang punya gawe itu malah mohon maaf juga dan sambil tersenyum menyambutnya dengan berkata bahwa semua urusannya sudah diselesaikan oleh seorang perempuan dan dia berharap jangan menangis jangan bersedih, karena segala urusan dia harus kerjakan sudah beres semua oleh perempuan itu.
Lalu juru masak itu bertanya, siapa gerangan yang telah bersedia membereskan urusannya. Kemudian dijawab oleh yang punya gawe bahwa perempuan itu adalah Fatimah Azzahra binti Rasullulah SAW (pada hal beliau sudah meninggal). Siti Fatimah Azzahra itu ketika urusannya sudah selesai pamit dari yang punya gawe bahwa beliau memasak ini sebenarnya mewakili tukang juru masak, karena dia menghormati dan berhitmah kepada Ayahanda Rasullulah SAW maka dia menghormati juru masak tadi mewakili tugas tugasnya sampai selesai.
Kawan kawanku aku yakin seyakin-yakinnya mana kala panjenengan semua melakukan hal yang sama seperti juru masak itu, yang fana pada saat kabar kabar indah dari kekasih Allah bagai mengisi kedahagaan cinta atas rindu itu, maka segala urusanmu, Allah akan menggerakkan semesta untuk membereskan hidupmu. Manakala kau serap percikan kisah cinta ini maka kita pahami cinta bisa menghidupkan dari yang mati. dengarkanlah kawan dengan telinga hatimu dendangku.... Annabi dzakal arus dzikruhu yuhyinnufus, anasara walmajus aslamu baina yadaih.... jawablah kawan, sebagai pantulan cintaku padamu....
Samudera Cinta
Sedulurku tercinta, kala engkau bersholawat, Allah mengutus salah satu malaikatNya, malaikat itu kepalanya dibawah arsy, kakinya menapak bumi sedalam lapis tujuh, sayapnya terbentang timur dan barat, jumlah bulu sayapnya sejumlah makhlukNya. Malaikat ini lalu menyelam di samudra cinta ilahi, saat muncul bulu2 itu menetes, wujud tetesannya adalah istighfar. Dan istighfar ini ternyata dihadiahkan kepada siapa saja yang bershalawat kepada Kanjeng Nabi saw, untuk menutupi aib-aib umatnya. Hal ini karena Kanjeng Nabi saw tidak ingin umatnya kewirangan di hari perhitungan. Kalau sampai ada yang kewirangan, beliau ikut-ikut malu dihadapan Sang Kekasih, Allah azza wajalla. Tentu Allah juga tidak akan mempermalukan kekasihNya, Muhammad saw. Setelah aku paparkan ini kawan, bershalawatlah Nurul Mushthafa, Nurul Musthafa mala al akwan, mala al akwan, habibi, Muhammad, Muhammad, Muhammad, khoiril mursaliin... aku ingin dengar suaramu kawan...
Lingkaran Cinta
بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam struktur diri manusia, yang paling luar adalah jasad, dalam jasad ada shudur (صدور), dlm shudur ada fuad (فوأد), dlm fuad ada qalbu (قلب), dlm qalbu ada tsaqof (ثقف), dalam tsaqaf ada Lubb (لب) di dlm Lubb ada sir (سر), di dlm sirr ada AKU (في السر انا).
Mana kala diantara kita akan memahami makna CINTA maka unsur2 di atas hrs memiliki harmoni sehingga manakala harmoni itu terjadi maka itulah yang disebut Qimiyatus Sa'adah (kimia kebahagiaan). Jika harmoni ini mewujud dalam ranah sosial maka akan mengemuka kerukunan tanpa batas dimana setiap keberadaan bisa mengambil peran untuk menciptakan kebahagiaan2 itu. Suasana ini menjadi kerinduan setiap jiwa-jiwa karena sekat-sekat dalam wujud perbedaan hanyalah kemah-kemah kehidupan yang berbeda tetapi jiwa hanya satu. Untuk alasan inilah Alloh SWT menyatakan: "Kalau bukan karena Engkau Muhammad niscaya tidak akan Aku ciptakan semesta ini. Berdasar ini semua kejadian tidak ada yang sia-sia karena dlm suluk jiwa yang SATU itu semua akan mengarah kesana. Cuma prosesi itu dibagi menjadi dua: eksistensi & Non Eksistensi. Kalau yang Eksistensi jelas dalam ranah arrahim Tuhan, sedangkan yang non eksistensi pada ranah Arrohman_Nya.
Dalam struktur diri manusia, yang paling luar adalah jasad, dalam jasad ada shudur (صدور), dlm shudur ada fuad (فوأد), dlm fuad ada qalbu (قلب), dlm qalbu ada tsaqof (ثقف), dalam tsaqaf ada Lubb (لب) di dlm Lubb ada sir (سر), di dlm sirr ada AKU (في السر انا).
Mana kala diantara kita akan memahami makna CINTA maka unsur2 di atas hrs memiliki harmoni sehingga manakala harmoni itu terjadi maka itulah yang disebut Qimiyatus Sa'adah (kimia kebahagiaan). Jika harmoni ini mewujud dalam ranah sosial maka akan mengemuka kerukunan tanpa batas dimana setiap keberadaan bisa mengambil peran untuk menciptakan kebahagiaan2 itu. Suasana ini menjadi kerinduan setiap jiwa-jiwa karena sekat-sekat dalam wujud perbedaan hanyalah kemah-kemah kehidupan yang berbeda tetapi jiwa hanya satu. Untuk alasan inilah Alloh SWT menyatakan: "Kalau bukan karena Engkau Muhammad niscaya tidak akan Aku ciptakan semesta ini. Berdasar ini semua kejadian tidak ada yang sia-sia karena dlm suluk jiwa yang SATU itu semua akan mengarah kesana. Cuma prosesi itu dibagi menjadi dua: eksistensi & Non Eksistensi. Kalau yang Eksistensi jelas dalam ranah arrahim Tuhan, sedangkan yang non eksistensi pada ranah Arrohman_Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)