Sedulurku tercinta, prasangka baik itu landasannya, lalu mata kepala dan mata hati akan memandang semua ciptaan ini penuh pesona, dariNya itu. Mozaik semesta raya tentu ada dinamika, lika liku, pasang surut--mulur mungkret itu, belum susah senang malah terkadang kesedihan yang biasanya orang menyebut tragedi.
Musim alam mengajarkan akan adanya eksotika suasana dengan landasan bahwa perubahan itu sebagai "ketetapan", jadi hidup itu yang "tetap" adalah berubah ini. Makanya orang harus tenang setenang-tenangnya, bukan karena hidup tanpa masalah, namun kecerdasan mengatasi masalah itulah kuncinya ketenangan, lalu silahkan menatap musim-musim jiwa.
Misalnya orang merasa kehilangan karena disebabkan merasa memiliki, padahal hakekatnya manusia tidak punya apa-apa, bahkan ia hakekatnya: tidak ada, yang ada hanya Dia, Dia, Dia. Orang merasa berat akan tanggung jawab, pekerjaan menumpuk dengan berbagai jenis dan jumlah, yang semuanya ini biasa aku sebut goresan hidup. Namun bila kesadaran akan semua ini adalah wilayahNya, lalu hati pun bagai matahari memandang lilin-lilin itu, hatipun bagai samudra memandang sungai-sungai itu, dan manusia akan menemukan kemegahan dalam proses perjuangannya. Andai goresan ini berbenuk tragedi, sebenarnya itu cara Dia menyibakkan tirai-tirai hidup bagai Dia menyibakkan kelopak bunga teratai yang ternyata setelah terbuka bunga itu nampak bermahkotakan seribu bunga itu, indah kan?
Demikian juga manakala orang memandang semua ciptaan ini, dimana dunia ini bagai sebuah gunung, soal baik dan tidaknya tergantung suara hati manusia memekik itu. Dalam banyak kasus aku sering menerima keluhan-keluhan soal persuami istrian, dimana pasangan itu sebenarnya musti saling bercermin, ternyata banyak yang melakukan perjalanan cintanya dengan saling menuntut itu, bukan saling memberi dan menerima.
Maka dengan asumsi dasar di atas, mari disyukuri karunia yang ada ini, karena kadang perjodohan ini bukan kehendak kita tapi kehendakNya, makanya sebagian tanda-tanda kekuasaanNya adalah perjodohan itu, bagi yang mau berfikir. Bukankah dari sudut pandang ini, suami atau istri itu amanat: Dia titip kepadamu, Dia titip kepadamu, Dia titip kepadamu. Apalagi yang perjodohan itu bagian dari kehendaknya sendiri, maka hal itu menyangkut tanggung jawab akan cintanya, jangan khawatir: siapapun yang berjalan dalam cinta maka ia akan selalu mendapat pertolongan, karena cinta itu percikan dari tetesan samudra cintaNya juga.
Aku pernah dikirimi foto sepasang suami istri, dimana suaminya sangat nggantheng dan gagah, sementara istrinya [amit sewu] buntung tak punya kaki, namun mereka begitu mesra dengan kedua anak mereka, dan tentu membayar dengan segala kerepotannya, serta suami itu tak malu menggandeng istrinya yang berladaskan papan beroda, atau menggendongnya kala menuju kemana-mana itu. Aku yakin suami itu memahami bahwa ia menjadi dutaNya dalam cinta yang bisa menjadi energi tak terhingga dalam pelayanan kepada istrinya dengan kesetiaan sepenuhnya. Aku melihat istrinya bisa tersenyum indah--menurutku--bagai senyum bidadari itu, indah, indah, indah.
Bukankah dimataNya, lelaki semacam itu menjadi saksi kasih sayangNya sementara perempuan itu menjadi saksi atas cintaNya juga, mereka saling bercermin--cermin cinta.
Berbeda dengan sang Sultan yang memandang Layla hanya sebatas barang dan tubuhnya, sementara ia tak melihat Dia yang sangat cantik, tersembunyi di hati Layla itu sehingga Layla menjadi merana di istana, bagai Ledy Diana itu yang merasa kerajaan bagai penjara bagi dia. Malah si Qois, walau bukan suaminya melihat dengan hatinya akan kecantikan Layla, sampai dia tergila-gila. Dalam kegilaan cintanya: ia tahan tidur, tahan lapar, tahan kehujanan dan kepanasan sampai goresan hidup apapun musnah di altar cintanya pada Layla. Sampai sajak-sajaknya bila didendangkan di waktu malam yang diterangi cahaya rembulan, bisa masuk dalam mimpi-mimpi Layla, dan Layla tahu itu, ada seseorang yang mencintai hatinya bukan tubuhnya.
Bahkan saking kangennya,Qois [si majnun itu] begitu ingin menatap wajah yang sangat amat dicintainya, biar tenteram hatinya, maka ia menunggu di pintu gerbang rumah Sultan itu sampai mengesampingkan waktu sudah berapa lama dia disitu. Ternyata saat pintu gerbang terbuka yang keluar bukan Layla, tetapi seekor anjing kurap, maka pada saat itu ia menggesa dengan bendendang puisi ria: Wahai Layla,betapa lama aku menunggu ingin menatap wajahmu, walau sekejab saja, aku sudah puas dan terima, namun yang keluar dari rumahmu ternyata anjing kurap ini, walau seburuk apapun anjing ini toh keluar dari rumahmu, maka akan aku cium dia, barangkali anjing ini pernah kau sentuh dengan tangan lembutmu.....
Kawan-kawan, metafor ini cukup kiranya menyadarkan kita akan keelokan sentuhan tanganNya, yang berwujud suami atau istri itu, sayangilah dia, cintailah dia, rengkuhlah dia, dekaplah dia biar hangat tubuh dan hatinya, biar tersenyum dia, maka Dia akan tersenyum kepadamu. Jangan kecewa, kalau dia kurang pandai memasak mungkin dia pandai merayumu, kalau dia kurang bisa mengurus apa-apa mungkin bisa kau pandang kecantikannya, kalau [punten] dia kurang cantik mungkin bisa kau rasakan dahsyat apanya [hahaha], kalau dia kurang sayang mungkin bisa kau buktikan bahwa dia sangat subur [alias metengan itu] sehingga permata hatimu banyak itu, kalau dia kurang apanya tetapi ia sangat rajin dan setia dan carilah sendiri kebaikannya sampai hilang keburukannya.
Dari sinilah Kanjeng Nabi berpesan: Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain....
Selamat Berbahagia kawan!!!
Selasa, 02 November 2010
Akhirat Cinta
Sedulurku tencinta, semenjak kecil aku diperdengarkan bahwa akhirat itu kekal, setelah tua ini aku ditunjukkan bahwa kekekalan itu bukan bentuk kenyamanan dan kebahagiaan yang mandeg atau statis itu. Kemudian keterangan tentang surga ternyata dikabarkan tentang bidadari, buah-buahan dan gemericik air sungai-sungai yang biasanya aku sebut kurnia itu. Dan neraka adalah tempat dimana Dia menyucikan hamba-hambaNya dari kesalahan-kesalahan itu.
Dunia ini yang "tetap" adalah perubahan--kata pemikir Iqbal, maka perubahan sebagai sesuatu yang permanen [abadi] merupakan pemahaman tentang perjalanan misteri yang tak bertepi ini. Akhirat lebih baik dari dunia ini, juga menunjukkan makna perubahan yang tetap itu, bagai gelombang samodra yang terus bergerak itu. Kemudian tentang manusia yang dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan telanjang dan dalam betuk sesuai dengan amalnya, mengindikasikan tentang kelahiran-kelahiran kehidupan ini. Kemudian padang mahsyar merupakan suasana dimana manusia akan dikumpulkan menurut kelompok-kelompok atau rombongan-rombongan menurut yang mereka cintai ini. Setelah itu akan ada timbangan yang akan menentukan surga neraka manusia itu.
Dari sudut ini aku pernah membaca keterangan Kanjeng Nabi bahwa ada suasana surga yang diturunkan di bumi dan ada suasana neraka yang diturunkan di bumi, bahkan Allah menyatakan dalam Al-Qur'an: bagaimana kamu bisa tidak percaya kepada Allah, tadinya kamu mati dihidupkanNya, lalu dimatikanNya, lalu dihidupkanNya kembali, hanya kepadaNya lah tempat kamu sekalian kembali.
Kalau orang memahami bahwa Tuhan juga ingin dikenal, dengan bentuk nyata tajalliNya ini, tentu berkaitan juga dengan pernyataanNya: semua yang tercipta tidak ada yang sia-sia dan tidak ada yang salah dalam semua ciptaan ini. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa hari-hari perhitungan dan surga maupun neraka terjadi dalam perjalanan abadi ini, dalam bentuk siang malam dan langit bumi, semua serba simbolik dan tentu perlu dicermati essensi atau hakekatnya itu. Rumi juga menyatakan bahwa manusia [kita] telah mengalami jutaan kematian dan jutaan kelahiran itu, menujuNya.
Ketika aku melihat tragedi, tentu ada empati dalam diriku namun dalam pemahaman bahwa tidak ada yang salah dalam dunia citaanNya itu, aku lalu memahami bahwa tragedi itu sekecil apapun dan sebesar apapun itu sebagai "neraka" yang bernuansa sebagi tebusan atas kesalahan-kesalahannya--yang aku tidak tahu secara kemenyeluruhan hidupnya, hanya Dia yang Maha Tahu itu.
Sebaliknya manakala manusia mengalami suasana Taman Kebahagiaan yang disebut "surga" itu bagian dari penghargaan atas amal-amal baik sebelum kehidupan sekarang ini, makanya kalau sekarang manusia sembrono atas karunia surga itu maka akan terhisap pada akhirnya pada traveling hidup berikutnya dengan apa yang disebut "neraka" itu.
Makanya kalau aku melihat orang gila dengan membawa sampah-sampah, aku terbayang kehidupan sebelumnya ia sebagai orang kaya yang tidak mendermakan hartanya, sebagian itu. Kalau aku melihat orang buta, terbayang bahwa boleh jadi ia sebelumnya tak mengenal Tuhan itu, atau kebiasaannya melihat kemaluan dirinya atau kemaluan orang lain itu. Kalau aku melihat pejabat yang tidak adil dan korupsi, terbayang olehku, itu merupakan "tiyang gantungannya" sebab sebelumnya ia tidak amanah itu.
Kalau aku melihat orang membayar tragedi sekarang, aku yakin mereka akan memiliki kehidupan di Taman Kebahagiaan di akhir nanti. Kalau orang dicipta bisu, boleh jadi merupakan indikasi ketika hidup sebelumnya ia suka mengktitik orang lain dengan sesuka-suka menurut egonya itu. Kalau rumah tangga tidak harmoni, ada indikasi boleh jadi diantara mereka sebelumnya suka menyakiti suami atau istrinya itu. Kalau ada yang cacat fisiknya [misalnya, amit sewu, apa saja bentuknya] ada indikasi sebelumnya ia telah berbuat aniaya kepada sesamanya itu....
Kawan-kawan, kalau sekarang engkau semua empati dan peduli membantu orang-orang yang menebus kesalahan-kesalahannya, itu bagian dari keindahan hidupmu yang memberi pertolongan atau "syafaat" itu. Dan aku yakin, hidupmu di akhir yang sedemikian terus, maka engkau akan menikmati suasana surga abadi, namun bagi yang tidak rela atas perhitungan di dunia ini, boleh jadi ia akan mengalami suasana neraka abadi.
Dari abstraksi ini, menjadikan aku harus selalu melihat diriku sendiri: keburukanku, kebodohanku, kehinaanku, kemalasanku, kebakhilanku, kesombonganku, ketidak adilanku, dan seterusnya agar memperbaiki diri, sebelum di akhirat nanti, agar nerakaku tidak abadi. Kemudian aku hanya melihat kebaikanmu semua kawan, aku membayangkan diperjalanan nan abadi ini memiliki anugrah mata yang indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, yang memiliki tatapan mata Cinta...
Sekarang kita ternyata dalam pengadilanNya, dan alangkah naifnya itu orang-orang yang mengadili orang lain yang sudah kuyup dalam perhitunganNya ini, kini gemetar segenap sendi tulangku, aku menangisi tragedi orang lain sebagi tangis kasih sayang, dan aku menangisi diriku sendiri atas aib-aibku ini, ampuni aku ya Rabb, ampuni aku, ampuni aku, ampuni aku....
Dunia ini yang "tetap" adalah perubahan--kata pemikir Iqbal, maka perubahan sebagai sesuatu yang permanen [abadi] merupakan pemahaman tentang perjalanan misteri yang tak bertepi ini. Akhirat lebih baik dari dunia ini, juga menunjukkan makna perubahan yang tetap itu, bagai gelombang samodra yang terus bergerak itu. Kemudian tentang manusia yang dibangkitkan dari kuburnya dalam keadaan telanjang dan dalam betuk sesuai dengan amalnya, mengindikasikan tentang kelahiran-kelahiran kehidupan ini. Kemudian padang mahsyar merupakan suasana dimana manusia akan dikumpulkan menurut kelompok-kelompok atau rombongan-rombongan menurut yang mereka cintai ini. Setelah itu akan ada timbangan yang akan menentukan surga neraka manusia itu.
Dari sudut ini aku pernah membaca keterangan Kanjeng Nabi bahwa ada suasana surga yang diturunkan di bumi dan ada suasana neraka yang diturunkan di bumi, bahkan Allah menyatakan dalam Al-Qur'an: bagaimana kamu bisa tidak percaya kepada Allah, tadinya kamu mati dihidupkanNya, lalu dimatikanNya, lalu dihidupkanNya kembali, hanya kepadaNya lah tempat kamu sekalian kembali.
Kalau orang memahami bahwa Tuhan juga ingin dikenal, dengan bentuk nyata tajalliNya ini, tentu berkaitan juga dengan pernyataanNya: semua yang tercipta tidak ada yang sia-sia dan tidak ada yang salah dalam semua ciptaan ini. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa hari-hari perhitungan dan surga maupun neraka terjadi dalam perjalanan abadi ini, dalam bentuk siang malam dan langit bumi, semua serba simbolik dan tentu perlu dicermati essensi atau hakekatnya itu. Rumi juga menyatakan bahwa manusia [kita] telah mengalami jutaan kematian dan jutaan kelahiran itu, menujuNya.
Ketika aku melihat tragedi, tentu ada empati dalam diriku namun dalam pemahaman bahwa tidak ada yang salah dalam dunia citaanNya itu, aku lalu memahami bahwa tragedi itu sekecil apapun dan sebesar apapun itu sebagai "neraka" yang bernuansa sebagi tebusan atas kesalahan-kesalahannya--yang aku tidak tahu secara kemenyeluruhan hidupnya, hanya Dia yang Maha Tahu itu.
Sebaliknya manakala manusia mengalami suasana Taman Kebahagiaan yang disebut "surga" itu bagian dari penghargaan atas amal-amal baik sebelum kehidupan sekarang ini, makanya kalau sekarang manusia sembrono atas karunia surga itu maka akan terhisap pada akhirnya pada traveling hidup berikutnya dengan apa yang disebut "neraka" itu.
Makanya kalau aku melihat orang gila dengan membawa sampah-sampah, aku terbayang kehidupan sebelumnya ia sebagai orang kaya yang tidak mendermakan hartanya, sebagian itu. Kalau aku melihat orang buta, terbayang bahwa boleh jadi ia sebelumnya tak mengenal Tuhan itu, atau kebiasaannya melihat kemaluan dirinya atau kemaluan orang lain itu. Kalau aku melihat pejabat yang tidak adil dan korupsi, terbayang olehku, itu merupakan "tiyang gantungannya" sebab sebelumnya ia tidak amanah itu.
Kalau aku melihat orang membayar tragedi sekarang, aku yakin mereka akan memiliki kehidupan di Taman Kebahagiaan di akhir nanti. Kalau orang dicipta bisu, boleh jadi merupakan indikasi ketika hidup sebelumnya ia suka mengktitik orang lain dengan sesuka-suka menurut egonya itu. Kalau rumah tangga tidak harmoni, ada indikasi boleh jadi diantara mereka sebelumnya suka menyakiti suami atau istrinya itu. Kalau ada yang cacat fisiknya [misalnya, amit sewu, apa saja bentuknya] ada indikasi sebelumnya ia telah berbuat aniaya kepada sesamanya itu....
Kawan-kawan, kalau sekarang engkau semua empati dan peduli membantu orang-orang yang menebus kesalahan-kesalahannya, itu bagian dari keindahan hidupmu yang memberi pertolongan atau "syafaat" itu. Dan aku yakin, hidupmu di akhir yang sedemikian terus, maka engkau akan menikmati suasana surga abadi, namun bagi yang tidak rela atas perhitungan di dunia ini, boleh jadi ia akan mengalami suasana neraka abadi.
Dari abstraksi ini, menjadikan aku harus selalu melihat diriku sendiri: keburukanku, kebodohanku, kehinaanku, kemalasanku, kebakhilanku, kesombonganku, ketidak adilanku, dan seterusnya agar memperbaiki diri, sebelum di akhirat nanti, agar nerakaku tidak abadi. Kemudian aku hanya melihat kebaikanmu semua kawan, aku membayangkan diperjalanan nan abadi ini memiliki anugrah mata yang indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, semakin indah, yang memiliki tatapan mata Cinta...
Sekarang kita ternyata dalam pengadilanNya, dan alangkah naifnya itu orang-orang yang mengadili orang lain yang sudah kuyup dalam perhitunganNya ini, kini gemetar segenap sendi tulangku, aku menangisi tragedi orang lain sebagi tangis kasih sayang, dan aku menangisi diriku sendiri atas aib-aibku ini, ampuni aku ya Rabb, ampuni aku, ampuni aku, ampuni aku....
Sujud Cinta
Sedulurku tercinta, ketika sujud Kanjeng Nabi mengingatkan untuk nambahi do'a-do'a lain, karena sujud merupakan puncak kehambaan bagi manusia, dimana kepala diletakkan pada posisi dibawah tumit, ini menunjukkan kerendah hatian manusia sementara hatinya mendongak ke langit melintasi ketinggian derajat malaikat megetuk Arsy Tuhan.
Ketika aku mendengar kabar mBah Marijan meninggal dunia di dapur dalam posisi sujud ketika panggilan Cinta datang menjelang, siapapun jadi cemburu pada beliau untuk menginginkannya manakala panggilan Cinta tiba--termasuk aku. Bukan saja cemburu, tetapi malu karena banyak manusia sujud, bukan saja ribuan mungkin jutaan sampai "bathuknya" ada atsarissujud namun mereka tidak menemukan panggilan Cinta itu pada posisi sujud itu.
Walau beliau sujud tersungkur di dapur, bukankah bumi ini masjid sebagaimana sabda Kanjeng Nabi itu, maknanya bumi ini merupakan sajadah nan luas bagi manusia yang bersimpuh hatinya kepada Sang Khalik itu. Kalau sujud sebagai puncak dari kehambaan, maka hal yang musti disadari sebagai hamba adalah taat kepada Tuhan itu. Karena Tuhan itu memiliki sifat qiyamuhu binafsihi, dimana Dia berdiri sendiri--terangnya--tidak membutuhkan makhluk.
Cuma ada rumusan dimana manakala kehambaan itu diekspresikan dalam bentuk sujud itulah. Sujud secara bentuk bisa kita lihat sebagaimana dalam shalat, atau sujud-sujud yang lainnya semisal sujudnya mBah Marijan itu. Sementara sujud secara essensi terekspresi dalam pelayanan kepada milikNya ini semua--secara ikhlas. Dari sisi sujud kedua inilah aku melihat sujud Cinta ada dimana-mana, misalnya: petani yang setia menggarap sawah ladangnya, pelaut yang mengarungi samudra menjemput karunia atau petani tambak itu, tukang sol sepatu sandal yang mengais rejeki untuk keluarganya ala kadarnya, seorang guru yang telaten mncerdaskan anak-anak bangsa semisal Ibu Muslimah dalam kisah Laskar Pelangi itu, tukang becak yang selalu terjaga demi sesuap nasi keuarga sampai cilupba dengan satpol PP itu, bakul-bakul blanjan yang menelusuri gang-gang kampung dan lorong-lorong kota, penjual pecel atau sate yang membawa dagangannya dengan di"sunggi" di atas kepala sambil nenteng bawaan lainnya bagai akrobat itu, tukang pemungut sampah atau tukang sapu jalan kota yang bangun dini hari di tengah nyenyaknya orang-orang bermimpi, pengamen-pengamen yang bersahaja dalam asa dan cita asal dapur ngibul saja mereka sudah menemukan bahagia, kiai-kiai yang menghabiskan umurnya menemani umat dan masyarakat disamping momong anak-anak kampung itu dalam dekapan hangat akan cinta, dan lain sebagainya dengan ribuan bahkan jutaan gerak hidup, yang satu dengan yang lainnya saling bermatarantai dalam saling melayani secara setia dan ikhlas.
Andai mereka meninggal dalam perjalanan melayani itu, maka sama halnya dengan mBah Marijan dengan gagah berani menyongsong maut menjemput dengan bersujud itu, dan mati mereka adalah syahid ganjarannya--syahid Cinta....
Kawan-kawan, dalam menumbuhkan kehidupan selalu dibutuhkan bentuk dan essensi, dimana--kata Rumi--isi tanpa kulit tak akan bisa tumbuh, kulit tanpa isi tak akan bersemi. Dalam keberagamaan memiliki nuansa yang sama, bila beragama hanya kulitnya saja maka akan melahirkan kekosongan jiwanya, tetapi manakala beragama hanya isinya saja maka ia tidak akan melahirkan pesona hidup berbagi dan bertentangan dengan misi kekhalifahannya di bumi ini.
Bagi mBah Marijan jelas Cinta telah beliau tunaikan kedua-duanya: cinta kepada sesama makhluk beliau tuntaskan di lereng Merapi, cinta kepada Tuhannya ia puncaki kematiannya dalam posisi bersujud itu....
Selamat jalan mBah Marijan, seberkas cahaya Cinta telah kau tebarkan dan menjadi kesaksianmu itu....
Ketika aku mendengar kabar mBah Marijan meninggal dunia di dapur dalam posisi sujud ketika panggilan Cinta datang menjelang, siapapun jadi cemburu pada beliau untuk menginginkannya manakala panggilan Cinta tiba--termasuk aku. Bukan saja cemburu, tetapi malu karena banyak manusia sujud, bukan saja ribuan mungkin jutaan sampai "bathuknya" ada atsarissujud namun mereka tidak menemukan panggilan Cinta itu pada posisi sujud itu.
Walau beliau sujud tersungkur di dapur, bukankah bumi ini masjid sebagaimana sabda Kanjeng Nabi itu, maknanya bumi ini merupakan sajadah nan luas bagi manusia yang bersimpuh hatinya kepada Sang Khalik itu. Kalau sujud sebagai puncak dari kehambaan, maka hal yang musti disadari sebagai hamba adalah taat kepada Tuhan itu. Karena Tuhan itu memiliki sifat qiyamuhu binafsihi, dimana Dia berdiri sendiri--terangnya--tidak membutuhkan makhluk.
Cuma ada rumusan dimana manakala kehambaan itu diekspresikan dalam bentuk sujud itulah. Sujud secara bentuk bisa kita lihat sebagaimana dalam shalat, atau sujud-sujud yang lainnya semisal sujudnya mBah Marijan itu. Sementara sujud secara essensi terekspresi dalam pelayanan kepada milikNya ini semua--secara ikhlas. Dari sisi sujud kedua inilah aku melihat sujud Cinta ada dimana-mana, misalnya: petani yang setia menggarap sawah ladangnya, pelaut yang mengarungi samudra menjemput karunia atau petani tambak itu, tukang sol sepatu sandal yang mengais rejeki untuk keluarganya ala kadarnya, seorang guru yang telaten mncerdaskan anak-anak bangsa semisal Ibu Muslimah dalam kisah Laskar Pelangi itu, tukang becak yang selalu terjaga demi sesuap nasi keuarga sampai cilupba dengan satpol PP itu, bakul-bakul blanjan yang menelusuri gang-gang kampung dan lorong-lorong kota, penjual pecel atau sate yang membawa dagangannya dengan di"sunggi" di atas kepala sambil nenteng bawaan lainnya bagai akrobat itu, tukang pemungut sampah atau tukang sapu jalan kota yang bangun dini hari di tengah nyenyaknya orang-orang bermimpi, pengamen-pengamen yang bersahaja dalam asa dan cita asal dapur ngibul saja mereka sudah menemukan bahagia, kiai-kiai yang menghabiskan umurnya menemani umat dan masyarakat disamping momong anak-anak kampung itu dalam dekapan hangat akan cinta, dan lain sebagainya dengan ribuan bahkan jutaan gerak hidup, yang satu dengan yang lainnya saling bermatarantai dalam saling melayani secara setia dan ikhlas.
Andai mereka meninggal dalam perjalanan melayani itu, maka sama halnya dengan mBah Marijan dengan gagah berani menyongsong maut menjemput dengan bersujud itu, dan mati mereka adalah syahid ganjarannya--syahid Cinta....
Kawan-kawan, dalam menumbuhkan kehidupan selalu dibutuhkan bentuk dan essensi, dimana--kata Rumi--isi tanpa kulit tak akan bisa tumbuh, kulit tanpa isi tak akan bersemi. Dalam keberagamaan memiliki nuansa yang sama, bila beragama hanya kulitnya saja maka akan melahirkan kekosongan jiwanya, tetapi manakala beragama hanya isinya saja maka ia tidak akan melahirkan pesona hidup berbagi dan bertentangan dengan misi kekhalifahannya di bumi ini.
Bagi mBah Marijan jelas Cinta telah beliau tunaikan kedua-duanya: cinta kepada sesama makhluk beliau tuntaskan di lereng Merapi, cinta kepada Tuhannya ia puncaki kematiannya dalam posisi bersujud itu....
Selamat jalan mBah Marijan, seberkas cahaya Cinta telah kau tebarkan dan menjadi kesaksianmu itu....
Syirik Cinta
Sedulurku tercinta, simaklah kata-kata ini: Tradisi adalah agama! Begitulah yang berlaku di tengah masyarakat kita, begitu banyak "amalan-amalan" yang diatas namakan agama namun setelah diteliti ternyata tidak ada yang asal-usulnya adalah dari agama, amalan-amalan itu tak lebih hanyalah tradisi yang sudah mengakar dan mendarah daging di tengah manusia, manakala berusaha diluruskan mendadak, mereka akan menunjukkan reaksi seolah-olah telah melanggar sebuah ritual yang sangat sakral, kompensasinya dikucilkan dan dijauhi masyarakat, realitas di atas banyak kita jumpai saat ini, menjamurnya amalan-amalan antah brantah ini menimbulkan keprihatinan kita, apalagi sebagian dari amalan-amalan tersebut kebanyakan berbau syirik!
Orang yang bilang ini menyebut selainnya tetep menganggap saudara, kata-kata menghakiminya ini mereka sebut sebagai nasehat, dengan cara: menuduh pihak saudaranya dengan argumen dalil-dalil, sementara dalil-dalil saudaranya dituduh palsu dan lemah, dalil mereka yang shoheh, memakai hadis palsu dan lemah sama artinya berdusta atas nama bagi Nabi saw. Berdusta atas nama Rasul adalah perbuatan haram yang dilarang dan termasuk dosa besar, apapun alasannya, apakah untuk memancing orang supaya giat beramal ataupun yang lainnya, tambah lagi hal itu sebagai kebohongan terhadap Allah, semua menyesatkan manusia, maka amalan itu menyiapkan tempatnya di neraka.
Aku sangat salut kepadanya atas nasehat [katanya] ini, betapa mereka sangat memiliki kepedulian kepada saudaranya sesama muslim ini sampai menyita waktu hidupnya, demi saudaranya--katanya. Tetapi [mohon maaf] mereka melupakan adab sopan santun dalam mu'amalah kemanusiaan ini, dimana seharusnnya mereka melihat dirinya supaya mereka melihat Tuhannya dan kemudian memiliki keluasan pandangan, tetapi justru mereka memakai dalil-dalil Tuhan [bukan untuk melihat dirinya] yang belum sempurna itu, tetapi menghakimi saudaranya yang sama-sama ingin menuju kesempurnaan iman itu.
Ketika menghakimi, dengan demikian menjadi tanda bahwa dalam jiwanya yang ada hanya "kuasa", bukan kerendah hatian itu. Ranah kuasa itu wilayah ego, yang pada ujungnya akan mengemuka dikenal dunia, bukan dikenalNya, mereka ingin menang dan juara diatas jeritan derita saudaranya, yang sebenarnya mewujud sikap ananiyah atau ke"aku"an itu. Memang mereka menghadap kiblat, pegangannya Qur'an, busananya bagus, rajin beribadah dan tidak menyembah berhala atau tidak syirik itu, namun ketahuilah [kalau boleh aku berpendapat] bahwa mereka itu menuduh syirik tetapi melakukan syirik juga, dalam bentuk nyata merasa ke "aku" annya itulah hakekat keberhalaan dalam hatinya itu.
Sementara dalam satu sisi ada yang jiwanya selalu mencari, sehingga tidak sempat menghakimi kedirian orang lain dalam menuju kesempurnaan iman itu, karena Tuhan telah menyodorkan adab sopan santun dalam proses kerinduan kepadaNya itu: bagimu agamamu, bagiku agamaku, bagimu amalanmu, bagiku amalanku. Apa salah orang ketika melihat "ciptaan"Nya [apa saja] lalu karena keterpesonaannya sudah menjadikan hatinya luruh, ambruk dan lembut, kemudian menjaga moralitas kebersamaan kemakhlukan ini? Itulah syirik Cinta.
Andai salah bukankah resiko kedirian itu akan dipertanggungjawabkan sendiri dihadapanNya itu? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak mnghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bagi yang pongah adab sopan santunnya, bisa menyimak kata-kata Rumi: penyembah berhala dengan tingkat kegairahan "mencari" itu lebih baik daripada bersimpuh di masjid tetapi merasa sok suci atau benar sendiri.
Atau misalnya, seorang perempuan tawanan perang yang menceritakan kebaikan ayahnya, yang menunaikan Cinta dalam bentuk pelayanan sosial, namun dia belum beriman secara formal, ternyata Kanjeng Nabi menyatakan: ayahnya itu besok di akhirat termasuk orang yang dekat dengan Allah, padahal ayah itu dalam tanda pethik--masih kafir itu….
Kawan-kawan, dalam kafilah hidup ini, sebagai anak-anak cucu Adam kita harus menyadari bahwa manusia sama-sama dalam menujuNya dan menatapNya, tidak selayaknya secara adab saling menghakimi satu sama lain karena masing-masing kita berjuang dalam proses menujuNya itu. Aku tidak putus asa atas ini semua, di tngah puing sejarah sekalipun, aku tetap berharap bahwa drama agung kehidupan ini sebenarnya bagian dari kehendakNya, dimana Adam diturunkan ke dunia menjadi tujuanNya, supaya "nggendong" seluruh anak-cucu Adam untuk kembali ke surga itu lagi, surga akan di huni bersama sesuai dengan amalnya masing-masing, andai kita lihat kejahatan dan kesalahan, tetap kita beramar makruf nahi mungkar dengan ketulusan tanpa dicampuri ke"aku"an yang hakekatnya, keakuan itu adalah keberhalaan itu sendiri, yang nyata.
Atas CintaNya yang suci, kejahatan dan kesalahan akan ditataNya dengan kehalusan tanganNya, menuju kesucian mereka. Kejahatan dan kesalahan musti diganjar dan dihukum--coba pikirkan kembali--firmanNya: marahKU kalah oleh cintaKU, maknanya kesalahan dan kejahatan yang sering menjadi bahan olok-olokan itu sebenarnya akan dimaafkan Tuhan, namun apakah diri ini akan berkelas dimaafkan, bukan berkelas dirindukan itu....
Punten, wallaahua'lam bishshowab....
Orang yang bilang ini menyebut selainnya tetep menganggap saudara, kata-kata menghakiminya ini mereka sebut sebagai nasehat, dengan cara: menuduh pihak saudaranya dengan argumen dalil-dalil, sementara dalil-dalil saudaranya dituduh palsu dan lemah, dalil mereka yang shoheh, memakai hadis palsu dan lemah sama artinya berdusta atas nama bagi Nabi saw. Berdusta atas nama Rasul adalah perbuatan haram yang dilarang dan termasuk dosa besar, apapun alasannya, apakah untuk memancing orang supaya giat beramal ataupun yang lainnya, tambah lagi hal itu sebagai kebohongan terhadap Allah, semua menyesatkan manusia, maka amalan itu menyiapkan tempatnya di neraka.
Aku sangat salut kepadanya atas nasehat [katanya] ini, betapa mereka sangat memiliki kepedulian kepada saudaranya sesama muslim ini sampai menyita waktu hidupnya, demi saudaranya--katanya. Tetapi [mohon maaf] mereka melupakan adab sopan santun dalam mu'amalah kemanusiaan ini, dimana seharusnnya mereka melihat dirinya supaya mereka melihat Tuhannya dan kemudian memiliki keluasan pandangan, tetapi justru mereka memakai dalil-dalil Tuhan [bukan untuk melihat dirinya] yang belum sempurna itu, tetapi menghakimi saudaranya yang sama-sama ingin menuju kesempurnaan iman itu.
Ketika menghakimi, dengan demikian menjadi tanda bahwa dalam jiwanya yang ada hanya "kuasa", bukan kerendah hatian itu. Ranah kuasa itu wilayah ego, yang pada ujungnya akan mengemuka dikenal dunia, bukan dikenalNya, mereka ingin menang dan juara diatas jeritan derita saudaranya, yang sebenarnya mewujud sikap ananiyah atau ke"aku"an itu. Memang mereka menghadap kiblat, pegangannya Qur'an, busananya bagus, rajin beribadah dan tidak menyembah berhala atau tidak syirik itu, namun ketahuilah [kalau boleh aku berpendapat] bahwa mereka itu menuduh syirik tetapi melakukan syirik juga, dalam bentuk nyata merasa ke "aku" annya itulah hakekat keberhalaan dalam hatinya itu.
Sementara dalam satu sisi ada yang jiwanya selalu mencari, sehingga tidak sempat menghakimi kedirian orang lain dalam menuju kesempurnaan iman itu, karena Tuhan telah menyodorkan adab sopan santun dalam proses kerinduan kepadaNya itu: bagimu agamamu, bagiku agamaku, bagimu amalanmu, bagiku amalanku. Apa salah orang ketika melihat "ciptaan"Nya [apa saja] lalu karena keterpesonaannya sudah menjadikan hatinya luruh, ambruk dan lembut, kemudian menjaga moralitas kebersamaan kemakhlukan ini? Itulah syirik Cinta.
Andai salah bukankah resiko kedirian itu akan dipertanggungjawabkan sendiri dihadapanNya itu? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak mnghakimi? Bukankah cukup Allah yang berhak menghakimi? Bagi yang pongah adab sopan santunnya, bisa menyimak kata-kata Rumi: penyembah berhala dengan tingkat kegairahan "mencari" itu lebih baik daripada bersimpuh di masjid tetapi merasa sok suci atau benar sendiri.
Atau misalnya, seorang perempuan tawanan perang yang menceritakan kebaikan ayahnya, yang menunaikan Cinta dalam bentuk pelayanan sosial, namun dia belum beriman secara formal, ternyata Kanjeng Nabi menyatakan: ayahnya itu besok di akhirat termasuk orang yang dekat dengan Allah, padahal ayah itu dalam tanda pethik--masih kafir itu….
Kawan-kawan, dalam kafilah hidup ini, sebagai anak-anak cucu Adam kita harus menyadari bahwa manusia sama-sama dalam menujuNya dan menatapNya, tidak selayaknya secara adab saling menghakimi satu sama lain karena masing-masing kita berjuang dalam proses menujuNya itu. Aku tidak putus asa atas ini semua, di tngah puing sejarah sekalipun, aku tetap berharap bahwa drama agung kehidupan ini sebenarnya bagian dari kehendakNya, dimana Adam diturunkan ke dunia menjadi tujuanNya, supaya "nggendong" seluruh anak-cucu Adam untuk kembali ke surga itu lagi, surga akan di huni bersama sesuai dengan amalnya masing-masing, andai kita lihat kejahatan dan kesalahan, tetap kita beramar makruf nahi mungkar dengan ketulusan tanpa dicampuri ke"aku"an yang hakekatnya, keakuan itu adalah keberhalaan itu sendiri, yang nyata.
Atas CintaNya yang suci, kejahatan dan kesalahan akan ditataNya dengan kehalusan tanganNya, menuju kesucian mereka. Kejahatan dan kesalahan musti diganjar dan dihukum--coba pikirkan kembali--firmanNya: marahKU kalah oleh cintaKU, maknanya kesalahan dan kejahatan yang sering menjadi bahan olok-olokan itu sebenarnya akan dimaafkan Tuhan, namun apakah diri ini akan berkelas dimaafkan, bukan berkelas dirindukan itu....
Punten, wallaahua'lam bishshowab....
Kalau Cinta
Sedulurku tercinta, ada dua puluh jenis bahaya mulut atau lisan, seandainya orang menyadari effeknya yang teramat buruk dunia akhiratnya, maka orang akan memilih diam sebenarnya daripada tidak bisa omong yang baik. Semula dari seseorang lalu menjadi beberapa orang kemudian menjadi kelompok orang atau gerombolan orang--yang bahasanya arabnya Majlis atau Jama'ah atau apa sajalah namanya, itu kan hanya "aran" atau nama, tetapi effek mulut atau lisannya itu [apalagi dibantu alat radio, tv dan sarana yang lain] ternyata merambah sedemikian dahsyat buruknya, di kampung-kampung, di desa-desa dan kota-kota itu.
Tali-tali kebudayaan banyak yang putus, aku sebut tali kebudayaan karena wilayah yang diharam-haramkan atau dibid'ah-bid'ahkan atau ditakhayulkan atau dikhurofatkan ini [misalnya slametan, tahlilan, manaqiban, istighatsahan, mujahadahan, maulidan dan shalawatan dan sebagainya] adalah wilayah mu'amalah [interaksi sosial] yang telah diserahkan oleh Kanjeng Nabi saw [antum a'lamu biumuuriddunyakum] itu.
Kebudayaan itu seni hidup yang terbangun oleh interaksi sosial antar manusia, individu maupun kelompok sehingga negara pun tidak seharusnya berurusan dengan kebudayaan, karena memang kebudayaan itu representasi emansipasi manusia ke arah yang lebih survive, inovatif dan kreatif. Makanya intervensi gerombolan dengan mengatas namakan agama ini menjadi sangat primitif sikapnya, interaksi sosial yang memethik wewangian dari ajaran-ajaran menjadi bubar, jagong menjadi perdebatan yang tidak ahsan, hal ini mereka tidak menyadari efek dari mulutnya [jawa kasarnya: cangkeme].
Kalau mereka Nabi dan Rosul, sudah sepantasnya menuding-nuding dengan Cinta itu, kalau mereka itu keluarga Nabi aku sadari kesuciannya itu, kalau mereka sahabat Nabi aku akui adab sopan santunnya itu, kalau mereka tabi'in aku fahami ketawadlu'annya itu, kalau mereka tabi'ittabi'in aku acungkan jempol amaliyahnya itu, kalau mereka Imam-imam aku sukai karena kewira'iannya itu, kalau mereka wali-waliNya aku dekap karena pelayanan Cintanya itu, kalau, kalau, kalau, kalau, kalau, kalau.
Ternyata kalau ditelusuri mereka seperti aku: bodoh dalam banyak hal, seandainya tahu itupun sedikit dari sedikitnya hal atau percikan dari percikannya ilmu. Mustinya mereka lebih baik seperti anak-anak kecil yang besar ingin tahunya bukan memberikan fatwa karena masih banyak yang belum dikuasainya itu [biso rumongso bukan rumongso biso]. Dengan memberikan fatwa pada wilayah mu'amalah ini berarti kata-kata mereka melebihi kata-kata Kanjeng Nabi itu, teramat buruk bagai suara khimar itu--sabda beliau.
Lain soal kalau mereka menasehati dalam teritorial mahdhoh [ritual: shalat, puasa dan haji dan sebagainya] bila ada yang tak sesuai dengan contoh baku dari Kanjeng Nabi itu, itu pun bentuknya saling menasehati, kalau debat pun harus dengan cara yang baik, bukan memperolok-olok dan menghina-hina satu sama lain....
Kawan-kawan, kalau sikap yang tak bersahabat itu terus dilakukan pada hakekatnya di dadanya tak ada Cinta, yang ada hanya kuasa bagai Fir'aun itu, dimana pada ujungnya bukan Tuhan bermahkota di hatinya, tetapi egonyalah yang menjadi raja di hatinya, inilah bentuk berhala abstrak yang seandainya mereka sadari, bukan mereka jijik kepada orang lain tetapi mereka akan jijik dengan dirinya sendiri karena merasa benar sendiri, merasa suci sendiri namun hatinya penuh dengan berhala-berhala abstrak yang berbentuk sifat-sifat tercela itu, efek sikapnya akan nyata di dalam kehidupan: bikin onar, kekerabatan masyarakat hancur, peguyuban kebudayaan musnah.
Kalau manusia punya hati, ketahuilah masyarakat juga punya hati, dan hatinya masyarakat itu adalah kebudayaan sebagai seni hidup atau the art of living ini yang telah diserahkan oleh Kanjeng Nabi saw: kamu lebih tahu tentang urusan duniamu. Walau ini level keduniaan, bukankah semua ini tergantung niatnya itu. Beliau mengajarkan: Banyak amalan yang nampaknya amalan akkhirat tetapi dengan niat yang buruk ujungnya menjadi amalan duniawi semata, tetapi banyak amalan yang nampaknya amalan dunia tetapi dengn niat yang baik, maka akan menjadi amalan akhirat....
Punten, wallahua'lam bishshowab....
Tali-tali kebudayaan banyak yang putus, aku sebut tali kebudayaan karena wilayah yang diharam-haramkan atau dibid'ah-bid'ahkan atau ditakhayulkan atau dikhurofatkan ini [misalnya slametan, tahlilan, manaqiban, istighatsahan, mujahadahan, maulidan dan shalawatan dan sebagainya] adalah wilayah mu'amalah [interaksi sosial] yang telah diserahkan oleh Kanjeng Nabi saw [antum a'lamu biumuuriddunyakum] itu.
Kebudayaan itu seni hidup yang terbangun oleh interaksi sosial antar manusia, individu maupun kelompok sehingga negara pun tidak seharusnya berurusan dengan kebudayaan, karena memang kebudayaan itu representasi emansipasi manusia ke arah yang lebih survive, inovatif dan kreatif. Makanya intervensi gerombolan dengan mengatas namakan agama ini menjadi sangat primitif sikapnya, interaksi sosial yang memethik wewangian dari ajaran-ajaran menjadi bubar, jagong menjadi perdebatan yang tidak ahsan, hal ini mereka tidak menyadari efek dari mulutnya [jawa kasarnya: cangkeme].
Kalau mereka Nabi dan Rosul, sudah sepantasnya menuding-nuding dengan Cinta itu, kalau mereka itu keluarga Nabi aku sadari kesuciannya itu, kalau mereka sahabat Nabi aku akui adab sopan santunnya itu, kalau mereka tabi'in aku fahami ketawadlu'annya itu, kalau mereka tabi'ittabi'in aku acungkan jempol amaliyahnya itu, kalau mereka Imam-imam aku sukai karena kewira'iannya itu, kalau mereka wali-waliNya aku dekap karena pelayanan Cintanya itu, kalau, kalau, kalau, kalau, kalau, kalau.
Ternyata kalau ditelusuri mereka seperti aku: bodoh dalam banyak hal, seandainya tahu itupun sedikit dari sedikitnya hal atau percikan dari percikannya ilmu. Mustinya mereka lebih baik seperti anak-anak kecil yang besar ingin tahunya bukan memberikan fatwa karena masih banyak yang belum dikuasainya itu [biso rumongso bukan rumongso biso]. Dengan memberikan fatwa pada wilayah mu'amalah ini berarti kata-kata mereka melebihi kata-kata Kanjeng Nabi itu, teramat buruk bagai suara khimar itu--sabda beliau.
Lain soal kalau mereka menasehati dalam teritorial mahdhoh [ritual: shalat, puasa dan haji dan sebagainya] bila ada yang tak sesuai dengan contoh baku dari Kanjeng Nabi itu, itu pun bentuknya saling menasehati, kalau debat pun harus dengan cara yang baik, bukan memperolok-olok dan menghina-hina satu sama lain....
Kawan-kawan, kalau sikap yang tak bersahabat itu terus dilakukan pada hakekatnya di dadanya tak ada Cinta, yang ada hanya kuasa bagai Fir'aun itu, dimana pada ujungnya bukan Tuhan bermahkota di hatinya, tetapi egonyalah yang menjadi raja di hatinya, inilah bentuk berhala abstrak yang seandainya mereka sadari, bukan mereka jijik kepada orang lain tetapi mereka akan jijik dengan dirinya sendiri karena merasa benar sendiri, merasa suci sendiri namun hatinya penuh dengan berhala-berhala abstrak yang berbentuk sifat-sifat tercela itu, efek sikapnya akan nyata di dalam kehidupan: bikin onar, kekerabatan masyarakat hancur, peguyuban kebudayaan musnah.
Kalau manusia punya hati, ketahuilah masyarakat juga punya hati, dan hatinya masyarakat itu adalah kebudayaan sebagai seni hidup atau the art of living ini yang telah diserahkan oleh Kanjeng Nabi saw: kamu lebih tahu tentang urusan duniamu. Walau ini level keduniaan, bukankah semua ini tergantung niatnya itu. Beliau mengajarkan: Banyak amalan yang nampaknya amalan akkhirat tetapi dengan niat yang buruk ujungnya menjadi amalan duniawi semata, tetapi banyak amalan yang nampaknya amalan dunia tetapi dengn niat yang baik, maka akan menjadi amalan akhirat....
Punten, wallahua'lam bishshowab....
Gagasan Cinta
Sedulurku tercinta, do'a sapu jagad: Wahai Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan dunia dan berilah kami kebahagiaan akhirat dan jauhkan kami dari siksa neraka, ternyata memiliki sebuah gagasan yang sangat besar tentang Cinta, dimana do'a ini sebagai inti ibadah membutuhkan dua hal seketika: keintiman dan tawa.
Keintiman bisa difahami sebagai kesempatan menikmati kehadiran Dia yang dicintai, sementara tawa sebagai manifestasi menemukan kenikmatan di dunia tempat kita berbagi. Keintiman membawa konsekuensi cinta Ilahi bahwa semua menjadi terfokus pada satu arah, yang berkonsentrasi kepada Tuhan semata, mencari Dia semata, merindukan keintimanNya, maka ujung hasilnya bisa dirasakan: seolah-olah telah menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatinya, dan harta itu telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai bernama"Cinta". Mata mereka ini "melihat" sesuatu, sesuatu itu melepaskan dari diri mereka dan semua kekuatan dikembalikan kepada Dia, Dia, Dia, Dia.
Hal ini misalnya Nyai Rubi'ah mengatakan dalam mimpinya ketemu Kanjeng Nabi, beliau bertanya apakah dia mencintai beliau, lalu dijawab Nyai Rubi'ah: siapa yang tidak mencintaimu, begitu besar aku mencintaimu, tetapi hatiku begitu total terbawa oleh cinta Tuhan sehingga tak ada tempat untuk cinta atau kebencian kepada yang lain, cinta Sang Khaliq menjauhkan dari cinta makhluk-makhlukNya.
Inilah keintiman hati atas kehadiranNya itu, hal ini bisa ditemukan setiap orang [cuma sayangnya] manakala manusia menemukan kesusahan dan itupun hanya sesaat saja, ya sesaat saja, sebaiknya justru ketika manusia menemukan kegembiraan kurnia ini mustinya menyeret hati pada titik keintiman itu, kalau bisa senantiasa karena mana sih nikmat Dia yang bisa didustakan ini? Mana? Mana? Mana?
Semua mengabarkan tentang Dia, dan Dia punya "pelapor" dimana-mana ini, sampai ada yang mengatakan: tidak ada sesuatu pun dibalik jubahku selain Allah, perkenalkan aku sebagai: "Bukan siapa-siapa putra dari bukan siap-siapa." Ada juga yang mengatakan: Aku melihat semua keindahanMu, ketika aku buka mataku, seluruh tubuhku menjadi hati yang bercakap denganMu, aku menganggap haram untuk berbicara dengan yang lain, ketika pembicaraan beralih kepadaMu, aku berbicara panjang lebar.
Hal ini bisa dirasakan ketika melihat keajaiban-keajaiban, lalu melahirkan ketakjuban-ketakjuban, sampai pada akhirnya terkatub bibirnya saat-saat sekaratul maut--di hari kematian. Sebelum sampai pada hari kematian itulah, permata yang tak ternilai yang bernama Cinta harus ditebarkan, bagai benih dalam gudang harus ditanamkan, di ladang akhirat yang bernama dunia ini. Dengan semangat hati yang terbakar oleh cinta akan melahirkan sikap sayang kepada semua milikNya, dengan ini akan menjadi tenaga tak terhingga yang menghapus segala derita dan kelelahan dalam pelayanan, sampai pada titik mengabaikan kebajikan dirinya dan merelakan ketidak adilan orang, sampai pada puncaknya: sungguh kafirlah dirinya bila melakukan perlawanan, karena semesta dengan segala isinya adalah manifestasi dari WajahNya itu.
Di dada orang yang terbakar api Cinta ini, sikapnya akan spontan dan Cinta adalah sesuatu yang muncul sendiri, ia tidak diajarkan, makanya Kanjeng Nabi menyatakan: Hai manusia lakukan apa yang bersuara di dhamirmu itu. Pada sisi yang lain beliau menyatakan juga: barangsiapa yang mengetahui akan dirinya maka ia akan mengetahui siapa Tuhannya itu. Kalau sudah sampai disini orang akan menjadi berani mencari "kesyahidan" hidupnya, dimana kesyahidan dalam Cinta adalah syahid yang lebih mulia, makanya manakala orang yang mati didalam keasyikan pelayanan itu matinya adalah "syahid".
Kemudian kita simak penyataan kekasih Allah itu: Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang hidupnya lebih bermanfaat bagi sesama manusia, atau sebaik manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi sesama manusia, bahkan pekerjaan yang paling dicintai Allah adalah pekerjaan yang manakala diselesaikan bisa membikin orang lain senang, cintailah apa yang di bumi pasti yang dilangit akan mencintaimu....
Kawan-kawan, ketika aku menemui tukang ngamen di bus dan aku tanyakan untuk siapa, ternyata mereka menjawab: untuk dapur keluarga bisa ngibul itu, ketika aku tanyakan kepada sopir-sopir mereka menjawab: untuk anak-anaknya, ketika aku tanyakan kepada, kepada, kepada siapa saja mereka menjawab untuk keluarganya, untuk keluarganya, untuk keluarganya.
Aku menemukan Cinta dimana-mana, aku menyaksikan Cinta kapan saja, aku tidak melihat kejahatan, aku tidak melihat keburukan, aku tidak mendengar kata-kata jahat dan buruk, aku melihat semuanya baik-baik saja karena Dia menyatakan: tidak ada yang salah dalam dunia ciptaan ini, semua bertasbih. semua bertasbih, semua bertasbih, semua bertasbih...
Aku pandang dan aku dengar dan aku taat padaMu, Duh Gusti….
Keintiman bisa difahami sebagai kesempatan menikmati kehadiran Dia yang dicintai, sementara tawa sebagai manifestasi menemukan kenikmatan di dunia tempat kita berbagi. Keintiman membawa konsekuensi cinta Ilahi bahwa semua menjadi terfokus pada satu arah, yang berkonsentrasi kepada Tuhan semata, mencari Dia semata, merindukan keintimanNya, maka ujung hasilnya bisa dirasakan: seolah-olah telah menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatinya, dan harta itu telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai bernama"Cinta". Mata mereka ini "melihat" sesuatu, sesuatu itu melepaskan dari diri mereka dan semua kekuatan dikembalikan kepada Dia, Dia, Dia, Dia.
Hal ini misalnya Nyai Rubi'ah mengatakan dalam mimpinya ketemu Kanjeng Nabi, beliau bertanya apakah dia mencintai beliau, lalu dijawab Nyai Rubi'ah: siapa yang tidak mencintaimu, begitu besar aku mencintaimu, tetapi hatiku begitu total terbawa oleh cinta Tuhan sehingga tak ada tempat untuk cinta atau kebencian kepada yang lain, cinta Sang Khaliq menjauhkan dari cinta makhluk-makhlukNya.
Inilah keintiman hati atas kehadiranNya itu, hal ini bisa ditemukan setiap orang [cuma sayangnya] manakala manusia menemukan kesusahan dan itupun hanya sesaat saja, ya sesaat saja, sebaiknya justru ketika manusia menemukan kegembiraan kurnia ini mustinya menyeret hati pada titik keintiman itu, kalau bisa senantiasa karena mana sih nikmat Dia yang bisa didustakan ini? Mana? Mana? Mana?
Semua mengabarkan tentang Dia, dan Dia punya "pelapor" dimana-mana ini, sampai ada yang mengatakan: tidak ada sesuatu pun dibalik jubahku selain Allah, perkenalkan aku sebagai: "Bukan siapa-siapa putra dari bukan siap-siapa." Ada juga yang mengatakan: Aku melihat semua keindahanMu, ketika aku buka mataku, seluruh tubuhku menjadi hati yang bercakap denganMu, aku menganggap haram untuk berbicara dengan yang lain, ketika pembicaraan beralih kepadaMu, aku berbicara panjang lebar.
Hal ini bisa dirasakan ketika melihat keajaiban-keajaiban, lalu melahirkan ketakjuban-ketakjuban, sampai pada akhirnya terkatub bibirnya saat-saat sekaratul maut--di hari kematian. Sebelum sampai pada hari kematian itulah, permata yang tak ternilai yang bernama Cinta harus ditebarkan, bagai benih dalam gudang harus ditanamkan, di ladang akhirat yang bernama dunia ini. Dengan semangat hati yang terbakar oleh cinta akan melahirkan sikap sayang kepada semua milikNya, dengan ini akan menjadi tenaga tak terhingga yang menghapus segala derita dan kelelahan dalam pelayanan, sampai pada titik mengabaikan kebajikan dirinya dan merelakan ketidak adilan orang, sampai pada puncaknya: sungguh kafirlah dirinya bila melakukan perlawanan, karena semesta dengan segala isinya adalah manifestasi dari WajahNya itu.
Di dada orang yang terbakar api Cinta ini, sikapnya akan spontan dan Cinta adalah sesuatu yang muncul sendiri, ia tidak diajarkan, makanya Kanjeng Nabi menyatakan: Hai manusia lakukan apa yang bersuara di dhamirmu itu. Pada sisi yang lain beliau menyatakan juga: barangsiapa yang mengetahui akan dirinya maka ia akan mengetahui siapa Tuhannya itu. Kalau sudah sampai disini orang akan menjadi berani mencari "kesyahidan" hidupnya, dimana kesyahidan dalam Cinta adalah syahid yang lebih mulia, makanya manakala orang yang mati didalam keasyikan pelayanan itu matinya adalah "syahid".
Kemudian kita simak penyataan kekasih Allah itu: Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang hidupnya lebih bermanfaat bagi sesama manusia, atau sebaik manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi sesama manusia, bahkan pekerjaan yang paling dicintai Allah adalah pekerjaan yang manakala diselesaikan bisa membikin orang lain senang, cintailah apa yang di bumi pasti yang dilangit akan mencintaimu....
Kawan-kawan, ketika aku menemui tukang ngamen di bus dan aku tanyakan untuk siapa, ternyata mereka menjawab: untuk dapur keluarga bisa ngibul itu, ketika aku tanyakan kepada sopir-sopir mereka menjawab: untuk anak-anaknya, ketika aku tanyakan kepada, kepada, kepada siapa saja mereka menjawab untuk keluarganya, untuk keluarganya, untuk keluarganya.
Aku menemukan Cinta dimana-mana, aku menyaksikan Cinta kapan saja, aku tidak melihat kejahatan, aku tidak melihat keburukan, aku tidak mendengar kata-kata jahat dan buruk, aku melihat semuanya baik-baik saja karena Dia menyatakan: tidak ada yang salah dalam dunia ciptaan ini, semua bertasbih. semua bertasbih, semua bertasbih, semua bertasbih...
Aku pandang dan aku dengar dan aku taat padaMu, Duh Gusti….
Langganan:
Postingan (Atom)